Selasa, 02 September 2008

Saat Kebenaran Pers Vs Ismeth Abdullah



Kebebasan Pers yang diatur oleh UU No 40 tahun 1999, bukan berarti pers semena-mena memberitakan sesuatu.Banyak kebebasan pers disalah artikan dengan sebebas-bebasnya.Sehingga pers dikatakan banyak pihak kebablasan.Mulai dari politisi, pejabat, penegak hukum, mulai ketakutan dengan wartawan.

Tak jarang, berita dipelintir, pajabat publik ditulis miring dengan memberitakan hal yang seharusnya tidak laik untuk diberitakan. Aib seseorang dibongkar atas nama kepentingan publik. Bukankah, dengan membongkar aip seseoang, suatu saat aip kita yang akan dibongkar di hari Pengadilan Tuhan? Ya, itu pasti. Tapi kenapa pers selalu saja tertarik memberitakan tentang aip? Memang, secara lahiriah, sesuatu dengan berkaitan dengan kepentingan seks selalu menarik untuk dikonsumsi publik.Dimana perbedaan masalah privasi yang di dalamnya mengandung aip. Apakah itu kepentingan untuk kepentingan umum?

Apakah selingkuh pejabat publik laik untuk diberitakan? Dimana hak privasi seseorang?
Dalam hal ini, mantan Ketua Dewan Pers Atmakusuma pernah mengatakan kepada penulis, dalam pelatihan yang diadakan Dewan Pers bersama dengan UNISCO, seorang pejabat publik harus bisa menjaga sikap dengan baik sesuai dengan norma yang ada jika tidak ingin diberitakan.Artinya, jika tidak ingin diberitakan oleh pers, jangan melakukan hal yang aneh- aneh, pergi ke diskotik membawa wanita cantik dan lain-lainya.

Bukankah sudah banyak yang terjadi di Kepualauan Riau, seorang pejabat melakukan hal yang sepatutnya tidak mereka lakukan. Karena jika ketahuan oleh pers, maka akan menjadi konsumsi publik.Dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme Oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, mereka menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.Bagaimana kebenaran sebenarnya?

Andreas Harsono dari Pantau mengatakan Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa? Apakah G-30 SPKI itu benar? Apak Supersemar itu benar adanya? Atau hanya retorika belaka?

Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?

Dalam putusan patwa Mahkamah Agung saat menangani kasus Harian Garuda di Medan, kebenaran menurut pers adalah kebenaran absulut.Kebenan menurut pers adalah kebenaran menurut narasumber. Dan kebenaran menurut pers adalah kebenaran ilusif licin seperti belut yang tak dapat dipegang.

Dalam kasus yang masih hangat saat ini, seperti diberitakan harian nasional di Jakarta dan Batam Pos sendiri, Tabloid Investigasi tak terbukti mencemarkan nama Gubernur Kepri Ismteh Abdullah. Apakah artinya Ismeth benar melakukan Korupsi? Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan pemimpin redaksi tabloid dua mingguan “Investigasi” Eddy Soemarsono tidak mencemarkan nama baik Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah.

Saat itu, Jaksa mendakwa Eddy dengan pasal pencemaran nama baik, penistaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan melanggar Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Jaksa menuntut Eddy dengan hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun dan denda Rp 10 juta subsider tiga bulan penjara.

Kasus ini bermula ketika Ismeth merasa pemberitaan yang diterbitkan Investigasi edisi 11 tahun I tanggal 17-30 Agustus 2006 berjudul 'Warisan Korupsi Ismeth di Otorita Batam'.

Menurut hakim, berita tersebut telah dibantah melalui hak jawab. Juga telah dicek ke berbagai sumber

untuk memenuhi kode etik jurnalistik, sehingga berita tersebut tidak merupakan penistaan terhadap

Ismeth.

Bahkan, selesai sidang, Eddy berharap, ada tindak lanjut dari aparat penegak hukum atas hasil

investigasi tersebut.Apakah benar Ismeth Korupsi? Berdasarkan berita tersebut, Tabloit Investigasi

memberitakan kasus korupsi Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah. Dalam pemberitaannya,

Investigasi membeberkan data dan fakta bahwasanya terjadi dugaan kasus korupsi di Otorita Batam.

Namun, Ismeth Abdullah yang diberitakan tidak terima dengan pemberitaan tersebut dan menuntut

Investigasi.

Dalam mencari kebenaran, masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut

kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim

menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.

Namun, apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan

hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi. Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar.

Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Pempinan Redaksi Batam Pos, Hasan Aspahani bilang, "dalam mencari judul, media bisa menggunakan sampai sepuluh lapisan tafsiran yang menyatakan kebenaran berita.Tentunya didukung dengan fakta." Sebagai contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu

mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes

kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran

sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap. Mengetahui mana yang benar dan

mana yang salah saja tak cukup.


Pers juag tidak bisa obyektif.Pers lebih bersifat subyetif. Saat wartawan turun ke lapangan dan

mencari narasumber, tentunya, wartawan akan mencari nara sumber yang menurut wartawan itu laik

menjadi nara sumber.Sehingga bukan lagi obyektif.Sampai di meja redaktur, maka, kutipan yang ditulis wartawan semula ada 17, oleh redaktur dipenggal menjadi 9 kutipan. Pemenggalan itu berdasarkan subyektifitas sang redaktur. Sehingga berita itu terbit boleh jadi berdasarkan selera redaktur.
Memang ada metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan keliru.

Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai

istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.

Bahkan dikatakan Andreas Harsono," Saya kira di Indonesia juga banyak dosen-dosen komunikasi yang

berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan

pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi."

Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Banyak wartawan kebanyakan hanya mendefinisikan

hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), fairness serta akurat.

Tapi berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi

bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga

bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap

pembaca?



Namun dibalik itu, wartawan dituntut untuk disiplin yang membuat wartawan menyaring desas-desus,

gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi

inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan

entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus

pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat

yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.

Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi setitik pun. Seperti contoh pengalaman Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.

Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-

olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu “pada dasarnya akurat” karena

Wallace memang takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace

berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.

Tetapi dalam analisis Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton.Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada

banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagai objektifitas.
Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan,

etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?
Pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan

menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.

Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai

piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.

Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.

Jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh “saksi mata yang tak terlatih.” Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga tidak cukup.
Bylines diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas.

Bill Kovach saat ditanyakan tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Apalagi ketika mengerjakan suatu liputan, dimana keluarga wartawan berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.

Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan “tidak mencari teman, tidak mencari musuh.”

Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.Wartawan juga manusia!Seorang wartawan adalah mahluk ciptaan Tuhan.

Tidak ada komentar: