Kamis, 18 September 2008

Kebenaran Pemberitaan Pers Bukan Kebenaran Hukum


Jika ada perkara pemberitaan oleh pers sampai ke meja hijau, hal itu terjadi karena ada orang yang tidak senang dengan pemberitaan media massa.

Contoh yang terjadi, Letnan Jendral Purnawirawan Soeyono divonis 3 bulan penjara masa percobaan akibat pernyataannya di majalah Male Emperium (ME) pada tahun 2005 yang lalu. Kalimat yang dikatakan Soeyono kepada reporter ME adalah. "Mereka sudah mendapatkan balasan yang setimpal. Seperti anak Jendral Hartono mati karena kasus narkoba." Faktanya, anak Hartono bukan mati karena kasus narkoba, melainkan sebab penyakit lain. Akibat pernyataan ini, Soeyono dituntut oleh Jendaral (P) Hartono dengan tuduhan pencemaran nama baik. Sehingga akibat pemberitaan majalah ME tersebut, Soeyono divonis tiga bulan hukuman dalam masa percobaan oleh Pengadilan Negeri Jakarta.

Ini adalah salah satu contoh kasus yang disebabkan pemberitaan pers pada zaman reformasi. Dalam proses persidangan kasus ini, Atmakusuma daro Dewan Pers diminta pengadilan sebagai saksi ahli dari Dewan Pers. Dia katakan di dalam persidangan, kedua belah pihak yakni Soeyono dan majalah ME melakukan kesalahan. Untuk majalah ME, kesalahan yang dilakukan karena tidak melakukan cek dan ricek atas kebenaran anak Hartono mati karena narkoba.Mereka memuat berita tidak berimbang.Bahkan Hartono tidak dikonfirmasi saat berita itu dimuat.Sedangkan dari Soeyono, sebagai orang intelektual yang menjadi narasumber, tidak seharusnya dia melontarkan ucapatan seperti itu.

Pada kasus ini, wartawan ME juga tidak memilih informasi yang layak dimuat. Menurut Atmakusumah yang juga salah satu perumus undang-undang pers ini, wartawan harus bisa memilih informasi dari wawancara untuk dimuat dan tidak dimuat sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik yang mengalami revisi.Tidak semua hasil dari wawancara dari narasumber untuk dimuat dalam tulisan secara keseluruhan. Karena wartawan bukanlah notulen yang mencatat semua yang dikatakan nara sumber pada saat wawancara. Wartawan harus bisa memilih informasi yang layak dimuat dan tidak layak dimuat dari hasil wawancara sesuai dengan hati nurani tanpa mengabaikan kode etik.

Berbagai perkara hukum akibat suatu pemberitaan terjadi karena, pihak yang diberitakan merasa sakit hari dan terhina oleh pemberitaan tersebut. Sehingga obyek yang diberitakan harus diberikan ruang untuk membela diri pada saat berita itu dinaikkan oleh redaksi. Pada saaat berita negatif tentang seseorang diterbitkan tanpa konfirmasi, tingkat emosional orang yang diberitakan 100 persen marah, jika diberikan ruang khusus untuk membela diri,bisa jadi 50 persen dia tak marah atas pemberitaan tersebut.

Jika ada berita mengenai kasus korupsi, pihak yang diberitakan harus dikonfirmasi mengenai kebenaran pemberitaan tersebut. Biarkan masyarakat yang menilai benar atau salah suatu pemberitaan. Bukan wartawan yang menentukannya dengan memvonis dalam suatu pemberitaan.

Jika pers memberitakan dengan berimbang, walaupun dibawa sampai ke proses hukum, maka pengadilan akan mempertimbangkan sesuai dengan Undang-Undang tentang Pers Tahun 1999 No 40 dan Kode Etik Jurnalisatik. Dewan Pers bukan semata-mata melindungi pekerja pers dari pemberitaan, melainkan membantu masyarakat umum yang dirugikan akibat pemberitaan pers. Mana mungkin Dewan Pers bisa memantau 800-an media yang ada di Indonesia,padahal anggota Dewan Pers cuma 9 orang. Oleh karena itu, Dewan Pers bertindak jika ada laporan masyarakat yang dirugikan dari pemberitaan pers.

Dalam kasus tuduhan korupsi yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto, oleh Majalah Time, Pengadilan Tinggi Jakarta akhirnya menyatakan Majalah Time tidak bersalah atas gugatan Soehato dalam pemberitaan tersebut karena telah melakukan perimbangan berita. Tetapi, dalam banding di MA, Soeharto dimenangkan MA.

Dan pada kasus Majalah Tempo memberitakan miring pengusaha Tommy Winata, pada tingkat pengadilan Tempo kalah, namun pada putusan kasasi Mahkamah Agung Tempo dimenangkan. Dan pimpinan redaksi Tempo Bambang Harimurti pun dibebaskan kembali.

"Itu semua terjadi karena Tempo sudah memberikan ruang kepada Tomi Winata untuk membela diri pada edisi yang bersamaan. Bagitu juga dengan kasus Majalah Time, Soeharto juga sudah diberikan peluang untuk menanggapi tuduhan dari pihak lain. Sehingga penegak hukum pun menyatakan Time dan Tempo tidak bersalah dalam pemberitaan.Walaupun Tomi sudah diberikan ruang untuk membela diri,namun proses hukum tetap berjalan, apalagi tidak memberikan ruang untuk membela diri, "kata Atmakusumah.

Hak jawab

Nara sumber ataupun pihak lain yang merasa dirugikan atas suatu pemberitaan bisa meminta hak jawab dan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Bersama DPR, Dewan Pers merumuskan untuk mengatasi masalah akibat pemberitaan, maka dapat ditempuh dengan empat cara, pertama melalui hak jawab. Objek pemberitaan bisa melakukan hak jawab dari suatu pemberitaan, kedua menggunakan Dewan Pers sebagai mediator agar hak jawab itu dimuat oleh media yang bersangkutan.Karena pemuatan hak jawab merupakan hak mutlak dari media yang bersangkutan berdasarkan pertimbangan profesionalisme, bukan karena tekanan.

Sedangkan yang ketiga, pihak yang dirugikan bisa menempuh jalur hukum untuk membela diri.Untuk cara yang ketiga ini banyak terjadi di Indonesia.Yang keempat, pihak yang dirugikan bisa memboikot media yang bersangkutan untuk tidak dibeli dan membacanya.Karena media tersebut tidak jujur dalam pemberitaan. Namun aksi boikot itu tak dilakukan dengan kekerasan.

Mengikuti putusan kasasi dari Mahkamah Agung sewaktu menangani perkara pemberitaan, kebenaran pemberitaan pers, bukanlah kebenaraan absolut, kebenaran pemberitaan menurut pers bukanlah kebenaran menurut hukum, kebenaran menurut pemberitaan pers adalah kebenaran menurut narasumber dan kebenaran pemberitaan pers adalah kebenaran ilusive (sulit dipegang) licin seperti belut.

Aparat penegak hukum tentunya berdasarkan kode jurnalisatik dan Undang-Undang Pers dalam menentukan putusan hukum. Jika pekerja pers bekerja sesuai dengan kode etik,maka media tersebut akan selamat. (robby patria)

Tidak ada komentar: