Rabu, 17 September 2008

Mengejar Mimpi atau 'Latah' Berpolitik


Oleh: Robby Patria, SE


Pemilu tinggal tujuh bulan. Partai politik sudah mendaftarkan kader partai untuk bertempur mendapatkan kursi panas di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten. Sangat disayangkan, dalam pencalegan kali ini, ada dugaan terjadi Korupsi Kolusi Nepotisme(KKN) politik parpol baik itu yang terjadi di pusat sampai ke daerah.

Isteri ketua parpol dimasukkan menjadi caleg. Suami jadi kepala daerah, isteri jadi pejabat negara, anak juga dijagokan jadi anggota DPR. Satu keluarga kalau bisa jadi pejabat semuanya. Apakah sumber daya manusia di Kepulauan Riau ini tak berkualitas. Sehingga untuk posisi strategis, harus keluarga tertentu yang mengendalikannya?

Jika memang iya, maka sesungguhnya Kepri masih jadi komoditas pasar untuk oknum tertentu saja. Masyarakat Kepri, hanya jadi penonton dalam suatu adegan film. Saya tentunya akan malu, sebagai anak negeri hanya duduk diam tanpa harus terlibat banyak dalam pembangunan. Sungguh ironis jika masalah itu terjadi. Partai besar di daerah ini sepertinya tak memiliki sistem pengkaderan yang dengan baik. Tetapi untuk kasus pencalegan kali ini, memang unik. Terkesan mereka latah-ikut-ikutan jadi caleg. Padahal, kemampuan berpolitik masih masih diragukan.Walaupun katanya, lulusan luar negeri dari universitas ternama.

Contoh nyata pencalegan anak pejabat itu terjadi di Golkar. Dani Ismeth berada di urutan dua untuk caleg DPR-RI. Padahal, di Kepri hanya ada tiga kursi untuk duduk di DPR. Berdasarkan pengalaman pemilu 2004, kursi DPR diraih oleh Golkar, PDIP dan PAN. Kemungkinan yang ada, pemilu tahun 2009 juga tak banyak berubah. Pasar pemilih tradisional di Kepri masih mengirim wakilnya ke Senayan melalui PDIP, Golkar dan kursi ketiga bisa direbut PKS, PAN dan PPP.

Harry Azhar Aziz dipasang Jusuf Kalla di nomor satu dapil Kepri. Tetapi, mantan ketua umum PB HMI ini juga masih ragu, dengan suara yang akan diraihnya dalam pemilu kali ini. Sebab, Golkar menggunakan sistem suara terbanyak. Artinya, Dani Ismeth bisa berpeluang menang dengan menggalang dan didukung dengan dana yang tak terhitung. Ismeth sebagai penguasa di daerah ini takkan tinggal diam ketika anaknya bertarung merebut kursi di DPR-RI. Ismeth juga tak tinggal diam ketika isterinya Aida berjuang kembali menjadi anggota DPD-RI untuk kedua kalinya. Pergerakan Dani mulai terlihat. Ibu dan anak mulai melakukan kegiatan sosial terjun ke pemilih.

Jika nantinya Dani menang dan duduk di DPR, maka prestasi akan diukir. Bisa jadi, mendapat museum rekor Indonesia (Muri) dari Jaya Suprana. Karena bapak jadi gubernur, isteri jadi anggota DPD, dan anak jadi anggota DPR. Hal itu sungguh jarang terjadi di Indonesia. Penghargaan tersebut pernah diraih Bupati Jembrana I Gedhe Winasa. Tetapi Winasa telah tujuh penghargaan MURI berhasil disabet Winasa. Pertama, karena memperoleh suara terbanyak dalam Pilkada Bupati 2005 (88,9 persen). Kedua, menggelar parade kesenian Jegog terbanyak, saat acara pelantikan dirinya sebagai Bupati Jembrana untuk kali kedua. Ketiga,pemrakarsa sekolah gratis pertama (2004). Keempat, program kesehatan gratis pertama (2003).Kelima, proyek pengolahan air laut. Keenam, membebaskan pajak bumi dan bangunan bagi lahan dan sawah. Dan ketujuh, pasangan suami istri Bupati pertama kali di Indonesia. Seperti diketahui, Ratna Ani Lestari, Bupati Banyuwangi adalah istri Winasa.Bali, karena isterinya jadi Bupati dan berhasil menjalankan program pendidikan gratis.

Wabah anak ikut bapak menjadi anggota DPR kini memang dipelopori pengurus parpol di jajaran elit partai. Trend tersebut kini merambah ke daerah. Di jajaran elit partai, kita bisa melihat putra Amien Rais maju jadi caleg dari Partai Amanat Nasional. Dave Laksono, putra Agung Laksono maju jadi caleg dari Golkar. Putra Nababan (PDIP) anak Panda Nababan, Putri Paundrianagari (PDIP) anak Guntur Soekarnoputra, Agus Haz (PPP) anak Hamzah Haz, Anindya Bakrie (Golkar) anak Aburizal Bakrie, Maruarar Sirait (PDIP) anak Sabam Sirait, Puan Maharani (PDIP) anak Megawati Soekarno Putri, Muhammad Iqbal (PPP) anak Bachtiar Chamsyah, Edi Baskoro Yudhoyono (PD) anak Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam konteks lokal, ada isteri Ketua DPRD Kota Batam Soerya Respationo, Rekaveni maju menjadi caleg anggota DPRD Batam. Isteri Ahars Sulaiman dari PPP juga maju. Dan menariknya, Saidul Khudri dan isteri sudah duluan duduk di kursi DPRD dari PKB. Yang paling menonjol saat ini, tentunya wakil DPR ada Dani anak Ismeth Abdullah yang akan bersaing dengan Harry Azhar Aziz untuk memperebutkan satu kursi utusan wakil Kepri di DPR.,Masuknya anak maupun istri pejabat yang tak lain jadi menimbulkan bermacam macam tanggapan.

Apakah masuknya anak pejabat jadi caleg sebagai bentuk pelanggaran etika moral? Karena tak membiarkan orang di sampingnya yang memiliki kemampuan untuk maju. Padahal, jika saja isteri pejabat tersebut tak maju, tentulah, kader partai yang berjuang mati-matian membesarkan partai bisa maju.

Tetapi, dengan dicalonkannya anak ketua partai, isteri ketua parpol, maka, tak ada pilihan lain, kader partai yang memiliki kemampuan harus mengundurkan diri dengan teratur. Ya, bisa saja masih diberikan kepercayaan, tapi nomor urut sepatu.

Kenapa partai politik sebagai perwakilan masyarakat hanya terdiam. Seharusnya tindakan semacam itu harus di lawan apabila caleg yang diajukan tak berkualitas. Apalagi, sang caleg tersebut tak memiliki kemampuan sama sekali. Bagaimana nantinya mereka akan berjuang kepentingan masyarakat di dewan. Sedangkan mereka tak memiliki kemampuan. Apa yang akan mereka berikan untuk rakyat yang sudah memberikan gaji besar untuk bekerja membela kepentingan rakyat.

Bukankah, menjadi anggota DPR, DPRD banyak berurusan dengan pembuatan perundang-undangan. Yang akan terjadi nantinya, caleg karbitan tersebut akan duduk manis di kursi dewan. Menerima gaji, duduk dan pulang. Apakah caleg karbitan ini harus dipilih? Saya rasa tidak.

Rakyat akan menderita jika memilih caleg yang tak memiliki kemampuan baik dari akademis dan politik. Terlalu mudah mereka mencari kekayaan, jabatan dan nama dengan menjadi caleg.Bukankah pendiri bangsa ini menjadi pemimpin melalui proses yang panjang. Soekarno harus keluar masuk penjara untuk menjadi presiden. Rakyat menghargai Soekarno karena jerih payahnya membebaskan bangsa dari belenggu penjajah. Bapak bangsa telah berbuat, dan wajar rakyat memberikan penghargaan.

Tetapi yang terjadi di sekitar kita, mereka ingin jadi wakil rakyat tidak melalui proses yang panjang. Dengan menggunakan media massa mempengaruhui masyarakat melalui iklan, membayar media massa untuk menamfilkan fotonya, membagikan sembako, seolah-olah mereka jadi pahlawan. Ya, pahlawan yang kesiangan mencari belas kasihan.

Sekali lagi, pembelajaran politik memiliki proses yang panjang. Dalam arti kata, sangat riskan tiba-tiba ada caleg tanpa magang sama sekali dalam dunia politik. Semoga masyarakat tak terpedaya dengan caleg karbitan.***

Tidak ada komentar: