Selasa, 02 September 2008

Masjid Penyengat dari Putih Telur


"Saya heran, kok bangunan masjid ini terbuat dari putih telor. Saya jadi penasaran bangunannya seperti apa? Berapa banyak telor yang dibutuhkan?"

Demikianlah kalimat yang keluar dari mulut Sari widiati. Wartawan Majalah Garuda itu ingin menuntaskan rasa penasaran yang ada dalam benaknya.

Maklum saat itu, Sari Widiati bersama dengan belasan orang wartawan nasional berbagai media cetak di Jakarta sedang mengikuti Lokakarya Pengembangan Wisata Budaya Kepulauan Riau, yang diadakan oleh Departemen Budaya dan Pariwisata Nasional . Acara dilaksanakan di Novotel Batam, mulai dari 11-13 November. Sedangkan yang bertindak menjadi pembicara mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika.

Untuk mencari jawaban rasa ingin tahu Sari, Selasa (12/11), bersama-sama dengan rekan-rekan yang lain, rombongan wartawan tadi ke Penyengat dengan menggunakan feri Baruna. Setelah menumpuh perjalanan satu jam dengan menggunakan feri cepat, sesampainya di Tanjungpinang sekitar pukul 09.10, rombongan yang diketuai I Gede Ardika langsung menuju Penyengat dengan menggunakan Pompong. Selama 15 menit menggunakan pompong, rombongan jurnalis sampai di Penyengat.
Cuaca yang cerah, langit biru jelas terpampang, membuat rombongan banyak mengabadikan keindahan panorama wilayah Tanjungpinang dan Pulau Penyegat dengan kamera yang selalu ditenteng.

Sampai di pelabuhan beton Penyengat, rombongan langsung disambut oleh Ketua Yayasan Masjid Sultan Riau Penyengat, Raja Abdul Rahman. Dari penjelasan Raja Abdul Rahman, menjawab pertanyaan yang selama ini bagaimana masjid Sultan Riau yang berwarna kuning itu bisa dibangun dengan menggunakan putih telor ayam.

"Saya sudah empat kali ke masjid ini,"celetuk Ardika, saat diskusi baru dimulai dengan jurnalis.
Lalu, Raja Usman pun mulai bercerita.

Masjid Raya Sultan Riau tersebut tercatat dalam sejarah sebagai merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang utuh.


Berdasarkan sejarah, nama pulau Penyengat muncul dalam sejarah Melayu pada awal abad ke-18 ketika meletusnya perang saudara di Kerajaan Johor-Riau yang kemudian melahirkan Kerajaan Siak di daratan Sumatera (masih di Riau). Pulau ini, menurut cerita dari R. Usman, menjadi penting lagi ketika berkobarnya perang Riau (akhir abad ke-18) pimpinan Raja Haji Fisabilillah yang pada tahun 1997 diangkat sebagai pahlawan nasional.

Raja
Pada tahun 1805, Sultan Mahmud menghadiahkan pulau itu kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah, sehingga pulau ini mendapat perhatian yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Perhatian itu semakin mantap dinikmati Penyengat, ketika beberapa tahun kemudian, Yang Dipertuan Muda Jaafar (1806-1832) memindahkan tempat kedudukannya di Ulu Riau (Pulau Bintan) ke Penyengat, sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik-Lingga.


Masjid Sultan di Pulau Penyengat sebagaimana disebutkan dalam Tuhfat al-Nafis (buku sejarah Melayu) karya Raja Ali Haji, dibangun seiringan dengan dihadiahkannya pulau tersebut kepada Engku Putri Raja Hamidah oleh Sultan Mahmud. Cuma saja, waktu itu, mesjid tersebut terbuat dari kayu. Raja Jaafar yang membangun Penyengat sebagai bandar modern hanya pernah memperlebar mesjid itu karena penduduk Pulau Penyengat semakin banyak.

Dalam buku Masjid Pulau Penyengat yang disusun Hasan Junus disebutkan, pembangunan mesjid itu secara besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul Rahman memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844), menggantikan Raja Jaafar. Tak lama setelah memegang jabatan itu yaitu pada tanggal 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M) atau 165 tahun yang lalu, setelah usai shalat Ied, ia menyeru masyarakat untuk ber-fisabilillah atau beramal di jalan Allah.
Caranya adalah dengan membangun mesjid di atas tapak mesjid yang lama. Sehingga secara gotong royong, warga membangun masjid tersebut.

"Tidak saja tenaga, warga juga menyumbangkan makanan seperti beras, sagu, dan lauk-pauk termasuk telur ayam. Makanan itu berlimpah-ruah, bahkan konon putih telur sampai tidak habis dimakan," kata Usman yang sudah terlihat memutih rambutnya.

Dia mengungkapkan, atas saran tukang pada bangunan induk mesjid, putih telur itu akhirnya dicampur dengan semen untuk perekat batu. Itulah sebabnya mengapa banyak masyarakat menyebutkan bahwa mesjid tersebut dibuat dari telur.
Kini kawasan mesjid itu berukuran 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya adalah 29,3 x 19,5 meter, disangga oleh empat tiang yang dicat warna kuning.

Dari pengamatan Batam Pos, di halaman masjid, terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat musyawarah. Selain itu terdapat juga dua balai, tempat orang biasanya menghidangkan makanan ketika kenduri dan untuk berbuka puasa.

"Bentuk bangnuan tak ada perubahan sejak pertama dibangun," ujar Raja Usman, kepada wartawan, Selasa (12/11).


Keindahan arsitektur masjid sangat unik. Tapi, dari cerita R Usman, masjid ini bergaya India berkaitan dengan tukang-tukang dalam membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Singapura. Tetapi yang jelas, arsitektur masjid merupakan gaya campuran dari berbagai wilayah budaya seperti Arab, India, dan Nusantara. Dalam dua kali pameran masjid pada Festival Istiqlal di Jakarta (1991-1995) disebutkan bahwa Masjid Sultan ini merupakan mesjid pertama di Indonesia yang memakai kubah.

Terdapat 13 kubah di masjid itu yang susunannya bervariasi seperti ada "kelompok" kubah dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ditambah dengan empat menara yang masing-masing memiliki ketinggian 18,9 meter, maka dapatlah dijumlahkan bahwa bubung yang dimiliki mesjid tersebut sebanyak 17 buah. Ini diartikan sebagai jumlah rakaat dalam shalat yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam dalam sehari semalam yakni subuh (dua rakat), zuhur (empat rakaat), asyar (empat rakat), maghrib (tiga rakaat), dan isya (empat rakaat).

Selain bentuknya yang menawan, di dalam masjid terdapatnya mushaf Alquran tulis tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Istambul tahun 1867. "Ia putra Riau yang dikirim Kerajaan Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di Istambul, Turki," ujar Usman.


Selain itu, ada Alquran tulis tangan lain yang ada di masjid. Namuan tak diperlihatkan kepada umum. Karena lebih tua yakni dibuat tahun 1752. Uniknya, di bingkai mushaf yang tidak diketahui penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran, bahkan terdapat berbagai terjemahan dalam bahasa Melayu terhadap kata per kata di atas tulisan ayat-ayat tersebut.

Sayangnya, mushaf tersebut tidak diperlihatkan kepada umum karena sudah rusak. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab dalam dua lemari di sayap kanan depan masjid."Kalau dipegang, bisa koyak mushaf," jelas Usman.

Sedangkan untuk mimbar di dalam masjid terbuat dari kayu jati. Mimbar di datangkan dari Jepara, Jawa Tengah.
Ada ungkapan yang populer dilakangan masyarakat, "Jika sudah sampai di Kepualaun Riau, namun belum Masjid Penyengat, sama juga belum sampai ke Bumi Segantang Lada."

Yakin atau tidak, menurut Rahman Usman, dari Batam Tourism Board (BTB), banyak pejabat yang baru pindah ke Kepri, berkunjung ke masjid. "Sebab, setelah dari masjid itu akan sukses di karir," jelas dia.

Bahkan Kapolda Kepri Brigjen Sutarman setelah tiga bulan, pergi ke Penyengat, langsung menjadi Jenderal.
"Sutarman ada foto yang unik mengenai Penyengat.Karena saat dia berfoto, ada penampakan seperti Gadjah Mada di latar backgroundnya," kata Usman. Sebagai mana diketahui, lambang Polisi identik dengan Gadjah Mada. Ada beberapa pejabat yang dikatakan Rahman Usman, karirnya melonjak setelagh dari Penyengat. Mitos tersebut berkembang bisa jadi, karena Penyengat merupakan bekas kerajaan Melayu Riau.


Percaya atau tidak, kunjungan pendatang dari luar itu merupakan hikmah tersendiri bagi Mesjid Sultan. Ini terbukti banyaknya uang terkumpul dari infak dan sedekah pengunjung.

Dari Tanjungpinang, menara mesjid itu terlihat bagai mercusuar-seperti menjalani fungsi mercusuar sebenarnya agar orang tidak tersesat berlayar pada malam hari. Menaranya yang terang benderang terlihat seperti dua belah tangan yang mengaminkan doa ke langit, sekaligus mengingatkan orang akan wujud Allah.

Jumlah pengunjung, dikatakan R Usman, bisa mencapai 1.000 orang pada hari Minggu atau pada hari libur. " Tak ada larangan melihat-lihat keadaan masjid setiap saat. Tapi jangan membawa saja barang yang ada di dalamnya. Walaupun hanya batu. Jika masih nekat, biasanya tak ada musibah," kata dia.


Ya, masjid yang megah berwarna kuning itu, akan menjadi ikonya Kepri.Pemerintah Kepri menjadikan Penyengat sebagai kawasan wisata religius bersama dengan daerah Lingga.

Semoga peninggalan sejarah itu menjadi objek wisata yang memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Karena hakekat pariwisata ketika masyarakat sejahtera oleh kunjungan wisata ke daerah tersebut. Karena di Kepri hanya ada masjid tersebut yang sudah mendunia. Sudah selaiknya, Pemprov Kepri memberikan perhatian. robby patria

Tidak ada komentar: