Kamis, 11 September 2008

Gerobak Hijau Eko


Gerobak hijau milik Eko (49), parkir di Perumahan Green Land, Batam Centre. Setiap sore saat Ramadan, pria yang usianya hampir setengah abad ini mangkal di perumahan tersebut. Eko, sosok pria yang jauh-jauh datang dari Banjarnegara hanya untuk berjualan es dawet di Batam.

Sudah dua tahun dia tinggal di Batam dan mencari perutungan dengan berjualan es dawet khas Banjarnegara. Di Batam, Eko indekos di Batam Centre. Luas kamarnya cuma 2x 3 meter. Dia datang ke Batam bersama dengan isteri dan satu orang anaknya.

Tinggal di kos yang sempit tak membuat lelaki yang selalu menggunakan kopiah itu lelah.Apalagi harus mendorong gerobak es dawetnya setiap sore. "Dari pada tinggal di Jawa, lebih baik saya mencari rezeki di Batam. Karena lebih mudah dibandingkan dengan di Jawa. Begini untuk bertahan hidup," tutur Eko.

Sudah lama Eko menguasai teknik membuat es dawet. Sejak di Banjarnegara, dia sudah berjualan es tersebut.

Seingat Eko, di Batam dulunya tak banyak yang berjualan es dawet. Tetapi sekarang sudah banyak yang jualan. Mulai dari Batuaji, Nongsa, Jodoh, sampai ke Batam Centre gerobak dawet mudah dijumpai.

Sampai di Batam, Eko langsung membuat gerobak. Untuk menghasilkan satu gerobak, biaya yang dikeluarkan Rp500 ribu. Di dalam gerobak disediakan dua termos untuk menyimpan es. Kemudian toples untuk cendol yang terbuat dari sagu. Ada lima gelas untuk pembeli yang sengaja minum di tempat. Gelas plastik untuk pembeli yang membawa pulang es. Pipet juga dia siapkan.
Gerobak Eko ternyata dilengkapi dengan kaca spion. Untuk apa ini pak? "Wah itu untuk jaga-jaga saja. Nanti dimarah polisi jika tak ada spion," katanya memberi alasan.

Awalnnya, Eko berjualan di depan kantor Imigrasi Batam. Banyak penggemar es Eko di sana. Tetapi, dia malah disuruh pindah oleh petugas satpol PP. Eko juga tak mengerti kenapa dia harus pindah. Tetapi, karena orang kecil yang tak punya kekuatan, Eko pun pindah mencari tampat jualan baru.

"Alasan saya disuruh pindah karena pemerintah ingin membersihkan lokasi. Kayak di Singapura itulo. Bersih tak ada gerobak di kantor pemerintah," ujar Eko.

Setelah itu, Eko pun mendorong gerobaknya untuk mangkal di samping Mega Mall. Setiap sore Eko berjualan di sana. Karena sebelum pukul 15.00, lokasi baru yang ditempati Eko bersih dari pedagang kaki lima.

Pemerintah hanya memberikan izin di bawa pukul 15.00 sampai malam.
Tak ada daya selain mengikuti perintah pemerintah setempat.

Dengan berjualan es dawet, Eko menghidupi keluarganya. Penghasilan Eko dalam satu hari bisa melebihi gaji pegawai negeri. Jika hari panas,rata-rata Eko membawa pulang Rp100 ribu. Jika dikalikan 30 hari, setidaknya sudah 3 juta. Jika lagi hoki, Rp300 ribu per hari pun dengan mudah diraih.

Padahal modal Eko untuk menjual es dawet cuma Rp50 ribu per hari. Dana tersebut untuk membeli gula aren yang dibuat sebagai cairan pemanis. Dan sisanya dibelikan sagu. Lalu kalo ada sisa, Eko menambah bumbu durian di dalam es tersebut.

Sungguh tak disangka, dengan jualan dewet, bisa menghasilkan uang jutaan rupiah. Penghasilan Eko ternyata mengalahkan gaji seorang jurnalis di Batam yang gajinya rata-rata 1 jutaan per bulan.

Hasilnya cukup enak. Kalo diminum saat berbuka puasa, membuat rasa haus pun hilang. Hebatnya, es dawet ini, kata Eko cepat mengembalikan stamina.

Warna es dawet made in Eko hijau kecoklat-coklatan. Per gelas, dijual cuma Rp3 ribu rupiah. Jika es tersebut tak habis dibeli, maka Eko membagikan es tersebut ke tetangga.

'' Kan sayang jika dibuang," ujar Eko.

Untuk membuat es dawet ini, katanya, gampang. Asalkan sesuai dengan aturan. Berarti bukan hanya dokter saja yang memiliki resep obat, gumam saya dalam hati. Membuat dawet juga harus memenuhi aturan. Jika tidak, cendolnya akan keras dan mengembang. Rasanya juga tak enak.

"Saya membagikan resep ini kepada teman-teman dari Surabaya," katanya mengenang.

Eko tak sembarangan memberikan resep. Sebelum belajar dengannya, muridnya harus mematuhi agar menjaga kualitas dawet banjanegara. Dia tak mau, penjual dawet menjual dengan rasa apa adanya. "Saya tekankan kepada teman-teman yang ingin belajar supaya jaga kualitas," kata lembut.

Eko masih punya opsesi lain. Dia ingin berjualan mie ayam, tahu campur ala Surabaya. Dari pengamantannya, di Batam tak banyak yang berjualan tahu campur. Ketika ditanya, apakah tertarik untuk mendapatkan pinjaman dari pemerintah guna mengembangkan usaha? Lelaki yang ramah itu menjawab tidak.

"Saya kan cuma penjual es dawet. Apa iya bisa mendapatkan pinjaman," katanya.

Di Batam, pasti banyak Eko yang lain yang mengadu nasib di Batam. Ya, kota ini memang menjadi miniatur mini Indonesia. Segala suku dan pekerjaan ada di Batam. Akankah mereka bisa bertahan dari kerasnya hidup di kota seribu ruko? robby patria

Tidak ada komentar: