Minggu, 08 Agustus 2010

Menilik Kejayaan Tambelan Timbalan Riau




Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan memiliki andil besar dalam sejarah Kerajaan Johor Riau. Kecamatan terpencil di Bintan itu pernah menjadi pusat pemerintahan Johor Riau di masa Sultan Johor VII Sultan Abdullah Ma'ayat Syah ketika dalam pelarian dari Lingga. Sultan mangkat di Tambelan dan dikebumikan di sana. Bagaimana-jejak-jejak sejarah itu?

Mendengar nama Tambelan, tentu telingga tak asing lagi. Untuk sampai Tambelan saat ini masih terbilang sulit. Rute kapal perintis Km Gunung Bintan hanya 10 hari sekali ke Tambelan dari Tanjungpinang. Inilah salah satu transportasi warga yang hendak ke Tambelan. Sedangkan dari Tambelan ke Tanjungpinang, masyarakat di sana menggunakan Trigas, kapal kargo yang tidak laik untuk dijadikan kapal penumpang. Jadwalnya keberangkatan cuma 10 hari sekali.

Jika ingin menggunakan jalur alternatif selain Gunung Bintan, masyarakat Tambelan biasanya menumpang kapal ikan yang menampung ikan dari nelayan, kemudian dijual di Tanjungpinang, bahkan ikan dari Tambelan dijual sampai ke Singapura. Jauhnya Tambelan dari pusat pemerintahan, menyebabkan jarang dikunjungi pejabat. Bisa dikatakan, setahun sekali bupati berkunjung ke sana untuk menemui masyarakat.

Walau masih terisolasi dari modernisasi zaman, masyarakat Tambelan tak protes kepada pemerintah daerah yang tak menyediakan transportasi yang manusiawi untuk warganya. Di Km Trigas misalnya, penumpang terkadang tidur bersebelahan dengan binatang seperti kambing, ayam, dan hewan peliharaan lainnya. Itulah realita hingga sekarang. Ketika pemda membangun fasilitas perkantoran yang megah, fasilitas umum masyarakat tak terpenuhi dengan fasilitas yang laik.

Secara geografis, letak Tambelan di Laut China Selatan, 210 mil dari Pulau Bintan. Waktu yang ditempuh untuk sampai di Tambelan sekitar 21 jam. Jika gelombang besar, waktu perjalanan bisa bertambah 10 jam. Dengan jumlah penduduk 5.000 jiwa, Tambelan memiliki 8 desa, satu kelurahan.

Berdasarkan folk lore, nama Pulau Tambelan berasal dari Pulau Kandil Bahar yang artinya cahaya yang terlihat dari tengah laut. Hingga saat ini nama itu masih melekat dalam ingatan warga Tambelan. Kandil Bahar diabadikan sebagai tempat pertemuan.
Nama Kandil Bahar hanya dikenal orang Tambelan. Sedangkan penduduk luar tidak mengenal nama tersebut. Bahkan ketika rombongan Sultan Johor VII Sultan Abdullah Ma'ayat Syah tiba di kecamatan yang memiliki 54 pulau besar dan kecil itu, mereka menyebut nama Tambelan dengan Pulau Sabda. Sabda diartikan perkataan atau perintah.

"Pasalnya dari Tambelan, Sultan memimpin Kerajaan Johor ketika dalam pelarian. Sehingga seluruh sabda dan kebijakan kerajaan dikendalikan dari Tambelan,” kata Atmadinata, peneliti sejarah di Kepri, yang juga Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Provinsi Kepri, kepada Tanjungpinang Pos, di kediamannya, Jalan Kuatan Tanjungpinang, belum lama ini.

Menurutnya, saat Sultan menetap di Tambelan bersama Raja Bujang yang nantinya menjadi Sultan Johor menggantikan Ma'ayat Shah. Jumlah rombongan ketika itu diperkirakan ratusan orang. Buktinya dalam catatan Belanda dagh register 1624-1629 di buku King off Johor yang ditulis Leonard Y Andarya, ketika Sultan sudah wafat sekitar tahun 1623 dan dikebumikan di sana, rombongan yang ditinggal Sultan, termasuk di dalamnya Putri Jambi kembali ke Jambi dengan menggunakan 500 perahu. Jumlah 500 perahu bukan jumlah yang sedikit. Bisa mengangkut ribuan orang. Sayangnya tak ada literatur yang memastikan jumlah rombongan ketika itu.


Hingga kini, peninggalan sejarah rombongan sultan masih ada yang terdiri dari makam-makam rombongan Sultan yang mangkat di Tambelan. Makam-makam tersebut berada di atas kompek khusus yang ditembok dengan batu. Batu nisan terbuat dari batu yang diukir dengan tulisan arab. Tingginya nisan melebihi orang dewasa. Warnanya hitam.

Jika diamati dari batu nisan, yang meninggal di sana bukan orang sembarangan. "Pasti pejabat tinggi di kerajaan,” ujar Atmadinata yakin. Kini makam Sultan Johor yang berada di komplek pemakaman Desa Batulepuk itu terlihat megah karena sudah dilakukan pemugaran. Sedangkan makam di dekat Bentayan, kurang terawat. Batu nisan terlihat tak terurus. Warga banyak berkebun di sekitar lokasi makam. Hanya makam Sultan yang terlihat terawat. Makam dominan dengan warna kuning.

Menurut Atmadinata, perubahan nama Pulau Sabda jadi Timbalan terjadi tahun 1784 ketika terjadi Perang Riau (1782-1784) yang lebih dikenal Perang Bahari. Dalam perang itu, tak boleh dilupakan, peran besar yang diberikan oleh datuk-datuk asal Pulau Tujuh, yaitu Datuk Jemaja, Datuk Siantan, Datuk Pulau Laut, Datuk Serasan, Datuk Subi dan Datuk Pulau Sabda atau Tambelan.

Hal ini, kata Atmadinata, diperkuat dengan laporan Kontelir A.W.L. Vogelesang dalam “Gegeven Betreffende den Tambelan en den Watas Archiep” (1921). Dalam Adat Rechtbundels 26 halaman 12 disebutkan, Datuk Pulau Sabda berhasil merebut meriam-meriam dari kapal perang Belanda. Sebagai imbalan, Sultan Mahmud Syah III memberikan gelar Datuk Petinggi Timbalan Riau Maharaja Lela Setia kepada Datuk Pulau Sabda.

Arti lela adalah meriam. Timbalan artinya wakil, suatu kedudukan sangat istimewa. Saking istimewanya, sebelum datuk di Pulau Tujuh itu bisa menghadap Sultan, mereka berkumpul dulu di Pulau Sabda sebagai penghormatan kepada Datuk Pulau Sabda. Setelah menghadap Datuk Pulau Sabda, baru mereka bisa menjumpai Sultan. Bisa dikatakan, Datuk Tambelan ketika itu jadi wakil sultan.

“Sejak saat itu tak disebut lagi Datuk Pulau Sabda, tetapi Datuk Timbalan. Dan nama Pulau Sabda jadi Pulau Timbalan. Lidah Belanda melafalkan Tambelan berlangsung hingga detik ini,” kata Atmadinata, yang pernah menulis buku sejarah Kerajaan Johor Riau Pahang bersama dengan tokoh sejarah Kepri Aswandi Syahri itu.

Atmadinata mengatakan, jika dianalisa, tentang anugrah gelar Datuk Petinggi Timbalan Riau Maharaja Lela Setia, kepada Datuk Pulau Sabda, maka dalam tradisi peanugrahan gelar Kerajaan Riau, gelar tak diberikan kepada seseorang apabila tak ada sesuatu prestasi yang luar biasa yang diraih penerima gelar. Saat itu Sultan Mahmud tak pernah memberikan gelar kepada siapapun kecuali kepada Datuk Pulau Sabda.

“Satu- satunya yang dapat gelar ini Datuk Pulau Sabda. Hal ini dikarenakan peran Datuk Pulau Sabda sangat besar dalam Perang Riau yang menyebabkan Belanda mengundurkan diri dari medan perang perairan Riau ke Malaka. Belanda mundur karena kapal perang mereka Malaka’s Walvaren dihancur,” ujar Atma.



Dulu Belanda pun Beri Otonomis Khusus

Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan, diberikan otonomo khusus di zaman Belanda. Dan Tambelan mendapat pilihan pertama sebagai daerah otonom di seluruh Keresidenan Riau, sebagai ujicoba yang nantinya diterapkan juga ke daerah lain.

Untuk melaksanakan penghargaan dari Belanda, maka dibentuklah Negeri Tambelan dengan cara diberi nama gemeinshaaft atau masyarakat adat yang dibentuk berdasarkan kemauan bersama dan diatur dengan adatnya. Masyarakat ini diketuai atau dipimpin oleh seorang yang diberi gelar Datuk Kaya.

Berdasarkan kesaksian Ramli Ismail, kata peneliti sejarah Kepri Atmadinata, pada waktu itu, masyarakat Tambelan dikumpulkan di lapangan bola untuk memilih Datuk Kaya. Orang yang dipilih dari keturunan yakni orang yang masih berhubungan dengan Datuk Kaya dulu. Dan akhirnya masyarakat sepakat memilih Hasnan bin Yahya sebagai Datuk Kaya yang memimpin masyarakat adat.

Sebulan setelah peristiwa itu, keluarlah surat keputusan dari Belanda Resident Riouw No 221 tertanggal 28 Mei 1929 dengan lampiran berisikan tatacara kerja masyarakat adat sesuai dengan Indische Staatsregelling (IS) atau UU Belanda tentang pengaturan pemerintahan.

Status otonomi Tambelan hingga saat ini, kata Atmadinata, tak pernah dicabut secara tertulis. Hanya saja tidak berlaku dengan sendirinya karena telah lahir beberapa kali peraturan perundangan yang mengatur tentang pemerintah daerah dan otonomi daerah. Selama Tambelan dijadikan daerah khusus, ada beberapa keberhasilan yang dilakukan masyarakat Tambelan. Misalnya di Tambelan dibangun rumah jabatan Asisten Wedana yang sekarang jadi rumah dinas camat. Kemudian dibangun juga balai pengobatan, kantor Lembaga Adat Tambelan, sekolah PGA, kantor sosial, balai desa, Masjid Raya Tambelan, dan yang paling jauh dari Tambelan yakni dibangunnya Rumah Adat Tambelan di Belakang Gedung Daerah Tanjungpinang.

Sayangnya Rumah Adat itu saat ini tidak dimanfaatkan optimal oleh warga Tambelan yang berada di Tanjungpinang. Rumah Adat yang dibangun zaman Belanda itu hanya disewakan kepada pihak lain. Atmadinata menambahkan, otonomi khusus ini merupakan penghargaan khusus kepada Tambelan.

Irwandi, Ketua Himpunan Mahasiswa Tambelan di Tanjungpinang kecewa dengan Kerukunan Keluarga Tambelan di Tanjungpinang karena Rumah Adat Tambelan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan warga Tambelan. "Malah warga Tambelan sendiri marasa asing pergi ke sana," kata Irwandi, seraya mengatakan, Rumah Adat itu disewakan kepada pihak ketiga. Sampai sekarang, tidak diketahui uang sewa itu dikelola siapa dan untuk apa.

Atmadinata menambahkan, bisa saja, Otonomi Khusus Tambelan dikembalikan seperti masyarakat adat di Yogyakarta, dan daerah lainnya di Indonesia. "Tetapi memang perlu kajian lebih dalam lagi," kata Kepala Bidang Pendidikan Kejuruan Dinas Pendidikan Provinsi Kepri itu.

Ya, menilik sejarah Kecamatan Tambelan, daerah itu memainkan peran yang sangat penting sejak abad 16 di kawasan Sumatera. Tetapi, kini, Tambelan hanya sebuah kecamatan kecil dari Kabupaten Bintan yang terlupakan. Daerah yang melahirkan banyak profesor itu masih tertinggal dan terus tertinggal dari daerah lain. Tambelan tenggelam dari zaman kejayaannya hanya meninggalkan kenangan sejarah untuk kita berkaca menatap masa depan. (tanjungpinangpos/robby patria)

Dan, Sejarah Bintan pun Harus Ditulis Ulang…



JALAN setapak itu begitu panjang dan berliku. Lepas dari kampung terakhir, hanya ada rerimbunan pepohonan sawit. Menelusuri jalan setapak membelah perkebunan sawit itu, ternyata mengantarkan kita menguak jejak sejarah manusia Bintan.

SEMUA bermula pada tahun 2005. Ketika itu, Aswandi Syahri, seorang penulis buku-buku sejarah di Kepri tengah melakukan penggalian data-data tentang cerita rakyat di Kepri. Satu di antara lokasi penelitiannya adalah di kawasan Kawal, sebuah desa di tepi Pantai Trikora, sekitar 40 kilometer dari pusat kota Tanjungpinang. Secara administratif, kawasan ini masuk wilayah Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan.
Kawal adalah kampung tua yang banyak menyimpan kisah masa lalu. Dalam pembicaraan singkat dengan Lurah Kawal, saat itu Aswandi mendapat informasi tentang adanya peninggalan sejarah yang berbentuk benteng. Orang kampung menamainya dengan sebutan “Benteng Batak”. Naluri Aswandi pun cepat bergerak. Setelah mengumpulkan berbagai serpihan informasi awal, ia langsung melakukan pelacakan. Tidak mudah menemukan tempat yang dimaksud, sebab, kisah tentang Benteng Batak itu lebih mirip dongeng. Bisa saja memang ada tempat yang dimaksud pada zaman dahulu, namun apakah ia benar-bena berwujud seperti benteng, atau ada kisah lain yang melatarbelakanginya, sulit terlacak.
Tapi dari pencarian Benteng Batak itulah, Aswandi justru mendapatkan hal lain yang bisa jadi akan mengubah pandangan orang tentang sejarah Bintan. "Waktu itu jalannya kecil. Saya menggunakan mobil untuk menerobos lokasi," ujar Aswandi, kepada Tanjungpinang Pos, belum lama ini.

Ia saat itu memang tidak menemukan Benteng Batak, melainkan sebuah tumpukan kerang di perbatasan perkebunan sawit. Kerang adalah sejenis hewan laut yang memang digemari oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Lokasi penemuan tumpukan kerang itu berada di Kawal Darat.
Sekilas, tidak ada yang menarik dari tumpukan sampah kerang itu. Memang ada yang mengundang tanya, yakni mengapa kulit kerang dalam jumlah besar ditumpuk di suatu tempat hingga membentuk sebuah gundukan tanah. Dan berdasarkan informasi yang berhasil digali Tanjungpinang Pos dari warga di kawasan Kawal, ada sisi lain yang menarik dari tumpukan kulit kerang itu. “Pernah juga beberapa orang datang ke sini. Mereka menginap dan seperti bersemadi. Entah apa yang mereka cari, kami tidak tahu,” ujar seorang warga.
Tapi bagi Aswandi yang sempat mendalami sejarah, tumpukan kerang itu bukan sekedar tempat yang memiliki aura mistis saja, melainkan juga sebuah jejak peninggalan sejarah yang nyaris terkubur seiring berjalannya waktu.
Tumpukan kerang itu dalam istilah sejarah dikenal dengan sebutan kjokkenmoddinger. Kjokkenmoddinger sendiri berasal dari bahasa Denmark, yang berarti bukit kerang, atau sampah dapur. Bukan sekedar sampah dapur biasa, tapi kjokkenmoddinger adalah jejak peninggalan manusia purba di zaman prasejarah. "Tumpukan kerang itu merupakan sampah dapur pada masa prasejarah," kata Aswandi. Kemudian ia menginformasikan temuan itu ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Bintan. Disparbud pun langsung meminta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional untuk menyelidiki temuan tersebut. Selang beberapa waktu, temuan ini juga dipublikasikan di media massa. Akhirnya Pusat Peneliti Kebudayaan Arkelogi Nasional melakukan penelitian.
Dengan dilatarbelakangi rasa ingin tahu yang kuat, Aswandi juga sempat mengirimkan foto penemuan tersebut ke Arkeolog di National University Singapura (NUS) Professor Jhon Micsick. Jhon sendiri menyarankan kepada Aswandi agar menjaga lokasi penemuan, mengingat tingginya kandungan sejarahnya. Bisa jadi Aswandi bukanlah orang yang pertama menemukan tumpukan kerang yang memiliki nilai sejarah yang kuat itu. Sebab sebelumnya, selain warga kampung yang sering lalu lalang untuk mencari rumput di kebun, juga ada sejumlah orang yang tertarik dengan persoalan mistis mengunjungi tempat tersebut. Namun apa yang dilakukan oleh Aswandi adalah merupakan bagian dari upaya menguak jejak sejarah Bintan.

Teka-Teki Sejarah
PENDULUM waktu terus bergerak cepat. Sejak Aswandi mengunjungi tempat tersebut pada tahun 2005, informasi pun tersebar cepat. Sejumlah kalangan pun berdatangan ingin melihat dengan mata-kepala sendiri, seperti apa bentuk tumpukan kerang itu. Di penghujung tahun 2008, sejumlah arkeolog Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batu Sangkar, Sumatera Barat mengunjungi tempat tersebut. Kemudian Balai Arkeologi Medan juga melakukan penelitian di tempat yang sama.
Dari titik inlah, sejumlah pertanyaan muncul ke permukaan. Kalaulah benar tumpukan kerang yang ditemukan di Kawal Darat itu adalah peninggalan manusia prasejarah di Bintan, berarti ada sebuah kehidupan panjang yang telah berlangsung di tempat ini, bahkan sejak sebelum dimulainya penghitungan tahun masehi. Apalagi saat melakukan penggalian di sekitar lokasi bukit kerang itu, para arkeolog dari BP3 Batu Sangkar juga menemukan fosil kapak genggam (pabble), atau lebih spesifik lagi adalah kapak sumatera (sumateralith). Hasil penemuan itu sempat beberapa bulan dibawa ke laboratorium.
Penemuan fosil kapak genggam ini kemudian akan memperkuat bukti sejarah di kawasan Kawal tersebut. Setidaknya bagi buku sejarah di Tanah Melayu, dapat ditambah satu bab lagi, yang khusus mengupas tentang kehidupan di rentang waktu prasejarah. Sebab, sejarah Bintan yang sampai ke masyarakat pada saat ini baru terlacak pada pendulum waktu sekitar 900 masehi sampai 1100 masehi, di mana pernah berdiri sebuah kerajaan di kaki Gunung Bintan. Dalam sejumlah buku sejarah, termasuk di antaranya
“Hikayat Hang Tuah: Analisa Struktur dan Fungsi” yang ditulis oleh Guru Besar UGM Sulastin Sutrisno memang menguatkan bahwa di kaki gunung itu pernah berdiri sebuah kerajaan.
Lantas bila menilik lagi satu buku “Kota Kara dan Situs-Situs Sejarah Bintan Lama” yang ditulis oleh Aswandi Syahri, pada sekitar tahun 1512-1513 masehi di kaki Guunung Bintan, atau di kawasan yang dikenal sebagai Kota Kara, juga pernah menjadi pusat pemerintahan Sultan Mahmud. Jatuhnya Kota Melaka ke tangan Portugis pada 1511 membuat Sultan Mahmud dan rombongan menyingkir ke selatan. Diperkirakan, ia dan rombongan sampai ke Bintan setahun setelah Melaka jatuh. Kemudian Sultan Mahmud pun membangun basis pertahanan di sekitar kaki Gunung Bintan. Keberadaan bukti sejarah di kaki gunung itu juga kemudian dikuatkan oleh adanya sejumlah makam tua.
Bila melihat dari dua data di atas, artinya titik sejarah Bintan terjauh yang bisa ditarik adalah pada pendulum waktu sekitar 900 masehi. Sementara sebelum itu, semua masih merupakan sebuah teka-teki sejarah yang gelap. Nah, dengan penemuan bukit kerang di Kawal tersebut, maka bisa sedikit menguak jejak masa lalu manusia Bintan.
Bukit Kerang
MAKNA keberadaan tumpukan kerang di Kawal itulah yang telah menjadi magnet para pencinta sejarah untuk melakukan kajian lebih dalam. Dahsyat Gafnesia, seorang peminat masalah sejarah Melayu yang sebelumnya pernah bekerja sebagai peneliti sejarah di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Tanjungpinang mengatakan bahwa kjokkenmoddinger bukanlah barang baru di pesisir timur Pantai Sumatera. Di Aceh dan Medan, para peneliti juga sudah pernah menemukannya.
Namun satu misteri besar yang belum terpecahkan adalah, bila di Aceh bukit kerang itu ditemukan dengan jarak 130 kilometer dari bibir pantai, maka di Kampung Hulu Kawal, Kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, bukit kerang itu hanya berjarak 700 meter dari bibir pantai. Lantas apakah bukit kerang itu?
Dahsyat menjelaskan bahwa bukit kerang bisa jadi adalah tumpukan sampah dapur. Waktu itu, bisa jadi manusia purba memakan kerang sebagai santapan keseharian, mengingat sampai saat ini saja, kerang masih banyak ditemukan di bibir Pantai Trikora. Saat itu, menurut Dahsyat, bisa jadi ada semacam kepercayaan mereka bahwa setelah memakan isinya, maka kulit kerang tak boleh dibuang sembarangan, melainkan harus ditumpuk di satu tempat. Selain itu, juga mungkin waktu itu ada konsepsi manusia prasejarah yang memandang kerang sebagai hewan suci, yang akan kualat bila membuang sembarangan.
Bukit kerang yang ditemukan di kawasan Kawal itu sendiri memang tidak terlalu tinggi. Bentuknya tidak sampai menjadi bukit, melainkan hanya sebatas tumpukan kerang saja. Tingginya saat ini dari permukaan tanah sekitar empat meter, atau 12 meter di atas permukan laut. Lebar gundukan bukit kerang mencapai 18 kali 24 meter. Bisa jadi pada masa lalu, tinggi tumpukan kerang itu di atas empat meter. Namun karena berjalannya waktu, tinggi tumpukan kerang semakin berkurang. Apalagi di bagian tengah tumpukan kerang itu kini sudah ada lubang. Kemunculan lubang itu jauh terjadi sebelum para arkeolog melakukan penelitian. Diperkirakan warga setempat, ada orang yang menggalinya untuk keperluan mengambil benda tertentu. Warga kampung sekitar tempat tersebut sendiri sudah menemukan keberadaan bukit kerang sekitar tahun 1960-an, seiring pembukaan hutan menjadi kebun-kebun warga. Sebelumnya ada dua tumpukan kerang, namun yang satu kini sudah nyaris rata dengan tanah.
Dalam penelitiannya, tim arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batu Sangkar, selain menemukan gundukan kerang setinggi empat meter, juga masih ada batu yang diduga sebagai kapak genggam manusia purba, dan satu lagi, serpihan tulang kepala manusia purba.
Jejak Pengembaraan Manusia Prasejarah Bintan
DAN di awal 2009, hasil penelitian yang ditunggu itu pun dipublikasikan. Dan kemudian sejarah Pulau Bintan, tampaknya harus ditulis ulang menyusul hasil penggalian (ekskavasi) tim arkeologi dari Balai Arkeologi (Balar) Medan. Dan lokasi penemuan bukit kerang itu pun kemudian diberi nama situs Bukit Kerang Kawal Darat (BKKD). Para arkeolog menemukan bukti adanya kehidupan manusia prasejarah atau purba di situs tersebut. Manusia prasejarah di Bukit Kerang Kawal Darat ini diperkirakan hidup di zaman Mesolithikum (zaman batu pertengahan) atau sekitar 1500-1900 tahun sebelum masehi.
Tim arkeolog dari Balai Arkeologi Medan tersebut turun langsung ke lapangan, dipimpin oleh Kepala Balai Arkeolog Medan Lukas Partanda Koestoro. Ia ditemani oleh Ketut Wiradnyana yang selama ini dikenal cukup ahli mendalami masalah situs bukit kerang di Indonesia. Dan hasil penelitian tersebut, seperti yang diduga sejak awal, membuktikan bahwa di situs BKKD itu, tumpukan kerang yang ditemukan adalah murni kjoekkenmoddinger, yang antara lain berupa kulit-kulit kerang, gerabah prasejarah dan serpihan alat pukul. Selain itu ditemukan juga perkakas dari tulang hewan, yang biasanya digunakan untuk mencungkil.
Lucas Partanda Koestoro menjelaskan, terkait dengan persoalan penemuan bukit kerang itu, sebenarnya di Kawal bukanlah yang pertama. Peninggalan manusia prasejarah berbentuk bukit kerang ditemukan pertama kali di sekitar Pantai Timur Sumatera tahun 1925 oleh peneliti Dr PV Van Stein Callenfels. Di tempat itu dia juga menemukan kapak genggam, yang disebut dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith). Selain di Bintan, masih ada empat tempat lainnya ditemukan situs prasejarah seperti ini. Selain di kawasan pesisir Sumatera, seperti Aceh dan Sumatera Utara, di Sulawesi juga pernah ditemukan situs serupa. Karena itu, perlu ada penjagaan terhadap lokasi sekitar situs. Sebab bercermin pada Deli Serdang, lokasi situs saat ini sudah hilang. Di Deli Serdang, situs tersebut ditemukan tahun 1970. Namun untuk situs bukit kerang yang di Aaceh dan di Sumatera Utara, diperkirakan usianya lebih tua, yakni sekitar tujuh ribu tahun sebelum masehi.
Para manusia prasejarah ini memiliki cirri hidup berkelompok. Umumnya mereka tinggal di sekitar muara sungai, tepi sungai dan di pinggir laut. Hal ini terbukti dengan penemuan bukit kerang di Kawal, yang jaraknya dari bibir pantai sekitar 4,7 kilometer. Dari lima situs bukit kerang yang ditemukan di Indonesia, semuanya berada di bibir pantai. Di Kawal sendiri, sebenarnya bukan hanya satu situs kjokkenmoddinger, melainkan tiga. Dan masing-masing digunakan tiga kelompok yang berbeda. Setiap kelompok beranggotakan sekitar 25 – 30 orang yang tinggal di rumah berbentuk panggung. Koondisi rumah berbentuk panggung ini juga mirip seperti yang ditemukan di Aceh. Namun seiring berlalunya waktu, bekas-bekas rumah sudah tidak bisa ditemukan lagi jejaknya di Kawal.
Para manusia prasejarah yang pernah hidup di Kawal ini umumnya mencari makan dengan berburu. Kegiatan ini dilakukan oleh pria dewasa. Sedangkan, yang anak-anak, wanita dan orang tua mencari atau mengumpulkan makanan seperti kerang-kerangan serta umbi-umbian di sekitar tempat tinggal mereka. “Itu sebabnya, tulang manusia yang biasanya ditemukan di dalam tumpukan kjokkenmoddinger berasal dari anak-anak atau wanita,” lanjut Lucas. Namun dalam survei awal yang dilakukan arkeolog dari Balai Arkeologi Medan, di kjokkenmoddinger Kawal ini belum ditemukan adanya tulang manusia. Namun bisa jadi kalau dilakukan penelitian lanjutan, tulang belulang manusia purba itu bukan tidak mungkin dapat ditemukan.
Jejak pengembaraan manusia prasejarah Bintan sendiri terbilang panjang. Berdasarkan analisa dan kajian mendalam, Lucas sampai pada kesimpulan bahwa jejak pengembaraan manusia prasejarah di Bintan itu dimulai dari daratan kawasan Asia Tenggara, tepatnya di Thailand. Mereka terus menuju arah selatan, hingga sampai di Bintan. Dari Thailand, mereka menuju arah Pantai Timur Sumatera sebelum sampai di Pulau Bintan. Sebenarnya, jejak manusia prasejarah yang ada di kawasan Asia Tenggara ini tidak semuanya berasal dari Thailand. Ada juga yang berasal dari Filipina. Mereka diperkirakan menjadi bagian dari Kebudayaan Hoabinh yang bermula dari Vietnam Utara. Namun untuk kajian lanjutan serta pendalaman, Lucas mengatakan masih perlu dilakukan penelitian secara menyeluruh.
Satu hal lagi yang bisa ditarik dari penemuan situs bukit kerang di Kawal itu adalah pembuktian bahwa laut telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan orang-orang Bintan sejak sekitar empat ribu tahun yang lalu. “Bahwa kehidupan sebelum masehi sudah menggunakan kekayaan laut untuk kehidupan,” kata Lucas. “Sayangnya, zaman sekarang, kita belum memanfaatkan sumber daya laut untuk kehidupan.” Peninggalan bukit kerang di Kawal ini adalah bukti sejarah yang tak terbantahkan untuk diambil pelajaran bahwa laut sudah digunakan untuk kehidupan sejak zaman prasejarah. Harusnya kita bisa mulai mengoptimalkan menggunakan sumber daya laut untuk meningkatkan kehidupan.
Temuan bukit kerang ini akan menjadi lokasi objek penelitian lanjutan para arkeolog Indonesia. “Kita harus melakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lebih jauh sisi lainnya dari peninggalan tersebut,” paparnya. Balai Arkeolog Medan sendiri sedang mengusulkan ke pemerintah pusat dana untuk penelitian lanjutan situs BKKD ini. “Kalau kita bisa bekerjasama dengan Pemda, itu lebih baik. Karena anggaran yang tersedia di pusat, masih kecil untuk penelitian,” kata Lucas. “Di zaman otonomi daerah, Pemda lebih banyak memiliki peran. Tentunya kalau ada kerjasama Pemda dengan Balai Arkeologi, tentu lebih baik untuk mengetahui hasil penelitian lanjutan. Kalau mengandalkan Balai Arkeologi saja, saya kira kita memiliki dana yang terbatas.”
Selain untuk objek penelitian arkeolog Indonesia, kawasan BKKD juga bisa dijadikan objek wisata yang memungkikan untuk menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) bagi Pemda. Di sejumlah negara Eropa, kata Lucas, penemuan situs purbakala ini sendiri kemudian dikelola sebagai objek wisata.

Sulap Jadi Kawasan Wisata
PENEMUAN situs purbakala di Kawal tampaknya akan menjadi berkah tersendiri bagi warga Bintan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Pemkab Bintan sudah merencanakan untuk menjadikan kawasan ini sebagai objek wisata baru di Bintan, melengkapi sejumlah objek lain yang sudah ada. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan Raja Akib Rachim menjelaskan saat ini Pemkab Bintan sudah berencana membebaskan lahan warga di sekitar lokasi penemuan situs purbakala tersebut. “Kita akan menjadikan sebagai objek pariwisata budaya di Bintan. Tahun 2010 akan dilakukan pembebasan lahan seluas dua hektare. Tahun ini belum bisa dilakukan pembebasan terhadap lahan karena tidak dianggarkan di APBD,” kata Raja Akib. Lantas apakah akan menarik untuk dijadikan objek wisata?
“Terus terang tidak banyak peninggalan sejarah itu di Indonesia,” paparnya. “Kita beruntung masih menjadi tempat persinggahan sejarah dan ini menambah objek wisata di Bintan.” Wisata budaya ini nantinya akan disejalankan dengan wisata hutan bakau di Bintan. Apalagi di jarak tak sampai sepuluh kilometer dari lokasi, Pemkab Bintan sudah merencanakan untuk membangun dermaga feri internasional di Tanjungberakit. Nantinya turis asing bisa masuk ke kawasan bukit kerang melalui dermaga feri yang akan membuka rute ke Singapura itu. Sementara waktu, sebelum pembebasan lahan dilakukan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bintan sudah bekerjasama dengan warga setempat untuk menjaga keamanan situs.
Terlepas dari potensi wisata yang tengah mengintai itu, masih ada satu lagi tugas besar yang harus diselesaikan oleh Bintan. Penemuan situs bukit kerang di Kawal ini sekaligus menjadi sebuah pintu masuk untuk kajian sejarah lebih mendalam. Setidaknya, dari penemuan ini, diperkirakan sudah ada penghuni Pulau Bintan pada kurun empat ribu tahun yang lampau. Penulis buku-buku sejarah Kepri, Aswandi Syahri punya padangan yang sama. Menurut Asswandi, dengan hasil temuan tersebut, sejarah Pulau Bintan harus ditulis ulang. Semula sejarah Bintan berasal dari Kerajaan Bentan. Sekarang ada penemuan terbaru menghapus penemuan bermula dari Kerajaan Bentan. “Harus dilakukan penulisan sejarah kembali dimulai babakan baru sejarah. Bukit Kerang penemuan besar dalam sejarah di Indonesia dan Kepri," katanya. Dan dalam penulisan sejarah ulang tersebut, sejarah Kepri tidak lagi dimulai dari Kerajaan Bentan, melainkan bukit kerang di Kawal. Dan dari sebuah hasil laporan di Belanda, Aswandi mengetahui bahwa bukit kerang tidak saja ditemukan di Kawal, tetapi diperkirakan juga ada di Tanjunguban dan Pulau Galang, Batam. “Tetapi kita belum bisa membuktikan kebenaran laporan tersebut. Perlu ada penelitian lanjutan,” paparnya.
Pada titik inilah, sejarah Bintan kemudian harus dipikirkan kembali. Apa kemudian makna dari penemuan situs prasejarah di Kawal itu. Satu di antaranya, tidak lain membuktikan bahwa kehidupan sudah bermula di Bintan pada sekitar 1900 tahun sebelum masehi. Bila ditambah dengan penanggalan masehi yang saat ini sudah memasuki angka tahun 2009, maka berarti kehidupan sudah bermula di Bintan pada hampir empat ribu tahun yang lampau. Angka ini bisa menjadi lebih panjang lagi, bila suatu saat kembali ditemukan situs prasejarah lagi di Bintan, yang usianya lebih tua dari bukit kerang di Kawal tersebut.
Nah, dalam rentang waktu hampir empat ribu tahun itulah, tentu banyak kisah yang sempat berlangsung. Dan itu semua menjadi bagian dari sejarah orang-orang Bintan. Dan seperti kata pepatah, tidak boleh kita melupakan sejarah, sebab sejarah itu adalah kunci untuk mengetahui jati diri kita. Bagi orang-orang Bintan, penelusuran terhadap sejarah yang mungkin masih banyak tercecer itu akan membuka sebuah kotak pandora, bahwa ada banyak sisi kehidupan yang telah luput dari catatan pena dan kertas. Membuka masa lalu orang-orang Bintan, berarti juga adalah proses untuk menemukan jati diri orang-orang Bintan itu sendiri. (tanjungpinangpos/robby patria)

Kota Kara dan Sebuah Misteri

Pulau Bintan kaya akan kisah sejarah. Salah satunya situs Kota Kara peninggalan sejarah di sekitar Gunung Bintan yang telah diketahui dan mendapat perhatian sejumlah kalangan sejak paruh kedua akhir abad ke-19. Bagaimana kisah-kisah peninggalan sejarah yang pernah terjadi di Pulau Bintan itu?

Banyak peneliti mengatakan Kota Kara berada di kaki Gunung Bintan. Dalam buku Kota Kara yang ditulis Aswandi Syahri, laporan pertama tentang sejumlah situs sejarah di sekitar Gunung Bintan telah dikemukakan oleh seorang ahli Botani Belanda dari Kenun Raya Bogor yang benama Johanes Elias Teijsmann. Salah satu peninggalan sejarah itu adanya lima makam perempuan, raja perempuan dan satu makam seorang laki laki di Bukit Batu.

Setelah zaman kemerdekaan, situs sejarah di sekitar Gunung Bintan kembali mendapatkan perhatian ketika sebuah tim IDAKEP Kabupaten Kepulauan Riau yang dipimpin M.A Effendi melakukan survei peninggalan sejarah di sekita Gunung Bintan tanggal 11-13 Juli 1964.

Keberadaaan situs sejarah Bintan Lama kembali mengemuka setelah seorang saudagar antik Singapura tahun 1974 mempublikasikan temuannya sejumlah keramik pada sisa perahu kuno di Sungai Jakas Pulau Bintan, yang sebelumnya pernah dilaporkan oleh J.Gb Schot tahun 1888 – dan surat kabar Straits Time Singapura Mei 1979.

Laporan yang diterbitkan Straits Time inilah yang kemudian mengundang perhatian seorang arkeolog Prancis yang bernama P.Y manguin yang kemudian bekerjasama dengan PUSLIT Arkeologi Nasional melakukan ekskavasi dan penelitian terhadap situs Jung Bekas dan situs lainnya seperti Bukit Batu, Kota Lam Bujok, Bintan Kopak, dan Bintan Kubu tahun 1981. Walaupun menyebutkan sebaran sejumlah situs sejarah di sekitar Gunung Bintan, mulai dari Pulau Pengujan, Sungai Bangsa, Bukit Batu, Sungai Jakas, hingga Tanah Merah, dan Tembeling, dua laporan pertama yang ditulis oleh orang Belanda pada abad ke 19 (Teijsman dan Schot) tak menyebutkan keberadaan situs Kota Kara.

Lalu di manakah leta Kota Kara dalam hubungan dengan sejarah Bintah? Apakah yang disebut Kota Kara? Di mana lokasi Kota Kara? Dan apakah hubungannya dengan sejarah di kawasan Bintan Lama?

Menurut Aswandi, berdasarkan cerita pusaka (sumber lisan) yang diwariskan masyarakat di sekitar Kawasan Bukit Batu, dan Sekuning menyebutkan Kota Kara sebagai tempat raja. Terletak di kawasan di kaki sebelah utara Gunung Bintan di mana sekarang terdapat komplek makam Datuk Bujuk.

Dan masyarakat pewaris cerita pusaka tersebut meyakini Kota Kara di Bujok adalah kerajaan yang pertama di Bintan dan lebih tua dari Bukit Batu. Sedangkan dari sumber tertulis berbahasa Melayu, yang paling penting tentang Kota Kara, nama Kota Kara ini baru muncul pada bab-bab terakahir, ketika Tun Sri Lanang menjelaskan kisah-kisah Sultan Mahmud Syah Malaka bertahan dari gempuran Portugis di Bintan.

Pada periode ini, Kota Kara disandingkan dengan Kopak sebagai pusat pemerintahan raja Malaka yang terakhir. Dalam definisi yang dikemukan oleh N Monier-Wiliam dalam kamus bahasa Sansekerta dan Inggris yang disusunnya, istilah kota atau kotta berarti bahasa Sansekerta yang juga berarti benteng (the fort).

Begitu juga istilah kottara yang berasal dari perkataan kota, juga menunjuk pada makna benteng. Tetapi berdasarkan sumvber dari Portugis yang digunakan sejarawan Winstedt, dia berkeimpulan, Kota Kara bukanlah subuah nama tempat. Akan tetapi nama bagi sebuah sistem perbentengan yang posisinya berada paling depan atau letaknya paling luar dari sebuah ibu kota kerajaan.

Dalam bahasa Spanyol, Kara berarti hadapan bagian terluar sebuh istilah teknis yang terpakai dalam system perbentengan terluar di Portugis dan Spanyol. Menurut Winsted, ada dua Kota Kara yang erat kaitannya dengan sejarah fase-fase akhir pemerintah Malaka yang pindah ke Bintan, dan fase awal Kerajaan Johor yang lama sebagai penerus Malaka yang bertapak di Johor. Kota Kara ada di Johor dan sebuah lagi terletak di Bintan. Sebagai benteng terluar Kota Kara di Sungai Bintan berfungsi untuk melindungi Kopak, Bukit Batu, Pantar, dll. Kota Kara juga dikatakan sebagai sistem pertahanan terluar yang sangat tangguh dalam menghadapi gempuran Portugis.

Armada Portugis yang dipimpin Admiral Mascarenhas, kata Aswandi, dengan dukungan 20 buah kapal yang membawa 550 orang Portugis dan 600 orang Melayu baru berhasil membungkam Kota Kara yang dipertahankan oleh Sultan Mahmud di bawah Sang Setia dan Laksanama Hang Nadim 23 Oktober 1526.

Setelah itu, barulah Kopak dikuasai. Menurut catatan R.O Winsteds, armada Portugis membutuhkan waktu 14 hari untuk melumpuhkan Kota Kara. Masyarakat Bintan yakin, Kota Kara adalah tempat raja dan erat kaitannya dengan sejarah Kerajaan Bintan.

Lokasinya berada di Bujok yang sekarang terletak di dalam wilayah administratif Desa Bintan Buyu, Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan. Dari pantaun Tanjungpinang Pos yang melakukan kunjungan ke Bintan Buyu, sekarang desa yang disebut termasuk salah satu peninggalan sejarah Kota Kara itu sedang disiapkan sebagai pusat pemerintah Kabupaten Bintan.

Ada enam bangunan besar di sana. Ada kantor bupati, DPRD, dinas dan badan. Setidaknya dana yang dianggarkan untuk melakukan pembangunan pusat pemerintan di sana ratusan miliar rupiah.

“Paling cepat 2011 kita bisa pindah ke sana,” kata Wakil Bupati Kabupaten Bintan Mastur Taher kepada Tanjungpinang Pos, belum lama ini. Kasus pembebasan lahan hutan lindung di Bintan Buyu juga sempat menyeret mantan Sekretaris Daerah Bintan ke ranah hukum. Azirwan harus membayar mahal dengan mendekam dipenjara selama 2 tahun. Ini termasuk resiko yang ditanggung proses pembangunan pusat pemerintahan yang sejatinya di Bintan Buyu masih menyimpan mistri yang belum terpecahkan.


Puluhan tahun yang lalu, sebuah penelitian dilakukan antropolog Vivienne Wee juga menjelaskan pendapat yang sama seperti cerita yang diperoleh dari informan hari ini.
Kini, kawasan Bujok diyakini sebagai lokasi Kota Kara menurut cerita pusaka yang diwariskan secara turun menurun, terdapat empat buah makam yang terletak dalam sebuah komplek dipagari tembok.

Aswandi menyatakan, keempat makam yang ada dalam komplek itu berkaitan dengan Datuk Bujok. Batu nisan salah satu makam tersebut besar, buatanya kasar dan tak beraturan. Kemudian terbuat dari batu granit. Tak seperti batu nisan makam lama di Bukit Batu dan kebanyakan batu nisan makam lama di Kepulauan Riau.

Cerita pusaka tersebut juga mengatakan Kota Kara yang terletak di Bujok asalnya dianggap sebagai Mekah. Namun kemudian dating seorang said dan memindahkan Mekah ke tanah Arab. Tetapi dalam kontek Agama Islam, Vivien Wee membantah cerita pusaka tersebut. “Namun dalam kontek analisa semantik, mungkin kita dapat melihat dengan jelas arti penting tertentu pemnggunaan kata Mekah yang diterjemahkan sebagai pusat dan kata kiblat sebagai arah atau orientasi,” kata Aswandi.

“Maka dapat kita interprestasikan pernyataan itu sebagai berikut Kota Kara di Pulau Bintan pada mulanya adalah pusat orientasi penduduk dalam Kerajaan Bintan. Kemudian setelah datangnya orang-orang Arab, penduduk Bintan berorientasi ke Mekah di tanah Arab.”

Oleh karena ungkapan ini berasal daru sudut pandang orang Bintan, tampaknya ia mengacu kepada sebuah perubahan oreintasi dalam sejarah masyarakat Kerajaan Bintan, yakni dari sebuah orientasi ke dalam masyarakat Bintan sendiri beralih kepada sebuah orientasi keluar, ke arah sebuah lokasi pusat yang jauh dari Pulau Bintan.

Vivien Wee juga menyebutkan tak adanya bukti arkeologis sulit untuk mengatakan apakah terdapat sebuah kerajaan kuno di Kota Kara dalam versi cerita pusaka ini. Namun pada posisi lain, cerita rakyat ini menunjukkan kemungkinan. Bukan hanya itu, Kora Kara yang dimaksud adalah sebuah kerajaan pra-Islam.

Informasi yang diperoleh Wee dari penghulu Bintan Abidin bin Haji Jaafar sekitar 1985 menyebutkan raja yang membangun Kota Kara dari Palembang. Dan penduduk Bintan hari ini adalah keturunan penduduk Kota Kara. Dia memperkirakan 12 generasi memisahkan penduduk Bintan sekarang dengan zaman Kota Kara menurut versi cerita pusaka ini.

Hubungan Bintan dengan Palembang juga, menurut Wee, dikaitkan dengan Keramat Datuk Bujok. Dalam kasus ini, perbedaannya adalah tiada apapun referensi yang berkaitan dengan lagenda penumbuhan dinasti Malaka. Sebagai gantinya, gambaran yang disuguhkan sangat sederhana yaitu seorang raja Palembang datang ke Bintan dengan para pengiringnya.

Lalu membuat sebuah kawasan tinggal di Kota Kara. Dan masyarakat Bintan sekarang adalah keturunan penduduk yang datang dari Palembang. Hal ini mengisyaratkan Kota Kara dalam versi cerita pusaka pernah menjadi centrum politik yang perku dipertimbangkan untuk diungkap lebih jauh.

Pendapat ini, menurut Aswandi, pernah ada seorang penulis Portugis bernama Fernao Lopes de Castanheda dalam sebuah buku mengatakan pada mulanya Sultan Malaka berundur bersama dengan pengikutinya ke sebuah kawasan pertanian di Malaka. Kemudian dia meninggalkan putranya Sultan Mahmud yang kemudian menanti kedatangan Portugis yang dipimpin Affonso. Dalam pertempuran, itu Portugis berhasil menaklukan Sultan Malaka. Kemudian Sultan Mahmud menyingkir ke Pagoh dan akhirnya ke Bintan.

Penulisan Portugis lainnya Koao de Baros mengungkapkan hal yang sama. Setelah penaklukan Malaka oleh Portugis membuat Sultan Malaka mengundur ke Pahang dan kemudian ke Pulau Bintan. Yang lebih penting adalah sebuah bukti dalam surat Fernao Peres kepada Albuquerque yang ditulis Cannanore di tahun 1513. Mengacu kepada laporan dari Andrade, Tome Pires, dan Castanheda, diperkirakan Sultan Mahmud berada di Muar 1512.

Dan kemudian pindah ke Bintan Januari 1513. Sultan Mahmud telah mengukuhkan tapak pemerintahannya yang baru di Pulau Bintan sejak Januari 1513 dengan membangun Kota Kara.

Kota tersebut berfungsi sebagai benteng dan untuk melindungi Kopak. Sultan Mahmud berada di Bintan selama empat tahun berikutnya. Lalu dia pindah ke Pagoh sekitar 1518 atau 1519. Kemudian 1520 Antonio Correa menyingkirkanya dari Pagoh. Sultan Mahmud kembali lagi ke Bintan 1526..

Secara tak langsung bukti bukti dari dokumen Portugis tersebut Sultan Mahmud Syah berada di Bintan (Kopak) dan mengukuhkan Kota Kara sebagai benteng pertahanannya secara terus menerus antara tahun 1520 hingga 1526. Penulis Portugis Faria Souza menyebutkan Peter Mascarenhas baru berhasil menguasai Kota Kara setelah mengerahkan 21 kapal dan 400 orang tentara Portugis di bawah pimpinan Moehammad. Sultan Mahmud Syah kemudian mengembara di sekitar Kaki Gunung Bintan dan akhirnya meninggalkan Bintan menuju Kampar.

Sultan meninggal di Kampar sekitar November 1527 sampai Juli 1528. Letakan Kota Kara menurut para penulis kronik Portugis tentang penyerangan armada Portugis terhadap Sultan Mahmud di Kapak, dan beberapa tempat di hulu Sungai Bintan, maka diperkirakan Kota Kara di Bintan berada di Sungai Bintan. Hal itu diperkuat dengan penelitian arkeologi Pulau Bintan 1981, yang melaporkan adanya tumpukan batu yang disebut batukara di sekitar muara Sungai Bintan.

Selain itu terdapat toponim atau nama tempat seperti kubo. Dan juga terdapat benteng di sisi kiri Sungai Bintan yang memperkuat dugaan sebuah system pertahanan untuk melindungi Kopak dan tempat lainnya di hulu sungai ketika itu. Sedangkan bentuk fisik dari Kota Kara sulit untuk merekontruksi dengan tepat dan utuh karena ketiadaan sisa benteng.robby patria ( terbit di Tanjungpinang Pos Januari 2010)

“Namun sebagai pembanding, kita dapat melihat gambaran sebuah benteng dengan system yang sama dan juga bernama Kota Kara yang berada di Sungai Telor Johor,” kata Aswandi.

Pernah ada, sejarawan R.O Winstedt mengatakan kata Kota Kara mestinya berada berada di sebuah sungai yang besar memungkinkan galey Portugis dapat bergerak. Sampai saat ini belum ditemukan di mana Kota Kara itu sebenarnya. Perlukajian yang mendalam mengenai Kota Kara. Kotak Pendora belum terbuka hingga kini. Perlu kajian lanjutan untuk menemukan Kota Kara di mana?

Jumat, 06 Agustus 2010

Dan, Sejarah Bintan pun Harus Ditulis Ulang…



Penemuan Situs Bukit Kerang di Kawal

JALAN setapak itu begitu panjang dan berliku. Lepas dari kampung terakhir, hanya ada rerimbunan pepohonan sawit. Menelusuri jalan setapak membelah

perkebunan sawit itu, ternyata mengantarkan kita menguak jejak sejarah manusia Bintan.

SEMUA bermula pada tahun 2005. Ketika itu, Aswandi Syahri, seorang penulis buku-buku sejarah di Kepri tengah melakukan penggalian data-data tentang cerita

rakyat di Kepri. Satu di antara lokasi penelitiannya adalah di kawasan Kawal, sebuah desa di tepi Pantai Trikora, sekitar 40 kilometer dari pusat kota Tanjungpinang.

Secara administratif, kawasan ini masuk wilayah Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan.
Kawal adalah kampung tua yang banyak menyimpan kisah masa lalu. Dalam pembicaraan singkat dengan Lurah Kawal, saat itu Aswandi mendapat informasi

tentang adanya peninggalan sejarah yang berbentuk benteng. Orang kampung menamainya dengan sebutan “Benteng Batak”. Naluri Aswandi pun cepat bergerak.

Setelah mengumpulkan berbagai serpihan informasi awal, ia langsung melakukan pelacakan. Tidak mudah menemukan tempat yang dimaksud, sebab, kisah tentang

Benteng Batak itu lebih mirip dongeng. Bisa saja memang ada tempat yang dimaksud pada zaman dahulu, namun apakah ia benar-bena berwujud seperti benteng,

atau ada kisah lain yang melatarbelakanginya, sulit terlacak.
Tapi dari pencarian Benteng Batak itulah, Aswandi justru mendapatkan hal lain yang bisa jadi akan mengubah pandangan orang tentang sejarah Bintan. "Waktu itu

jalannya kecil. Saya menggunakan mobil untuk menerobos lokasi," ujar Aswandi, kepada Tanjungpinang Pos, belum lama ini.

Ia saat itu memang tidak menemukan Benteng Batak, melainkan sebuah tumpukan kerang di perbatasan perkebunan sawit. Kerang adalah sejenis hewan laut yang

memang digemari oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Lokasi penemuan tumpukan kerang itu berada di Kawal Darat.
Sekilas, tidak ada yang menarik dari tumpukan sampah kerang itu. Memang ada yang mengundang tanya, yakni mengapa kulit kerang dalam jumlah besar

ditumpuk di suatu tempat hingga membentuk sebuah gundukan tanah. Dan berdasarkan informasi yang berhasil digali Tanjungpinang Pos dari warga di kawasan

Kawal, ada sisi lain yang menarik dari tumpukan kulit kerang itu. “Pernah juga beberapa orang datang ke sini. Mereka menginap dan seperti bersemadi. Entah apa

yang mereka cari, kami tidak tahu,” ujar seorang warga.

Tapi bagi Aswandi yang sempat mendalami sejarah, tumpukan kerang itu bukan sekedar tempat yang memiliki aura mistis saja, melainkan juga sebuah jejak

peninggalan sejarah yang nyaris terkubur seiring berjalannya waktu.
Tumpukan kerang itu dalam istilah sejarah dikenal dengan sebutan kjokkenmoddinger. Kjokkenmoddinger sendiri berasal dari bahasa Denmark, yang berarti bukit

kerang, atau sampah dapur. Bukan sekedar sampah dapur biasa, tapi kjokkenmoddinger adalah jejak peninggalan manusia purba di zaman prasejarah. "Tumpukan

kerang itu merupakan sampah dapur pada masa prasejarah," kata Aswandi. Kemudian ia menginformasikan temuan itu ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

(Disparbud) Kabupaten Bintan. Disparbud pun langsung meminta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional untuk menyelidiki temuan tersebut. Selang beberapa waktu,

temuan ini juga dipublikasikan di media massa. Akhirnya Pusat Peneliti Kebudayaan Arkelogi Nasional melakukan penelitian.
Dengan dilatarbelakangi rasa ingin tahu yang kuat, Aswandi juga sempat mengirimkan foto penemuan tersebut ke Arkeolog di National University Singapura (NUS)

Professor Jhon Micsick. Jhon sendiri menyarankan kepada Aswandi agar menjaga lokasi penemuan, mengingat tingginya kandungan sejarahnya. Bisa jadi Aswandi

bukanlah orang yang pertama menemukan tumpukan kerang yang memiliki nilai sejarah yang kuat itu. Sebab sebelumnya, selain warga kampung yang sering lalu

lalang untuk mencari rumput di kebun, juga ada sejumlah orang yang tertarik dengan persoalan mistis mengunjungi tempat tersebut. Namun apa yang dilakukan oleh

Aswandi adalah merupakan bagian dari upaya menguak jejak sejarah Bintan.

Teka-Teki Sejarah

PENDULUM waktu terus bergerak cepat. Sejak Aswandi mengunjungi tempat tersebut pada tahun 2005, informasi pun tersebar cepat. Sejumlah kalangan pun

berdatangan ingin melihat dengan mata-kepala sendiri, seperti apa bentuk tumpukan kerang itu. Di penghujung tahun 2008, sejumlah arkeolog Balai Pelestarian

Peninggalan Purbakala (BP3) Batu Sangkar, Sumatera Barat mengunjungi tempat tersebut. Kemudian Balai Arkeologi Medan juga melakukan penelitian di tempat

yang sama.
Dari titik inlah, sejumlah pertanyaan muncul ke permukaan. Kalaulah benar tumpukan kerang yang ditemukan di Kawal Darat itu adalah peninggalan manusia

prasejarah di Bintan, berarti ada sebuah kehidupan panjang yang telah berlangsung di tempat ini, bahkan sejak sebelum dimulainya penghitungan tahun masehi.

Apalagi saat melakukan penggalian di sekitar lokasi bukit kerang itu, para arkeolog dari BP3 Batu Sangkar juga menemukan fosil kapak genggam (pabble), atau lebih

spesifik lagi adalah kapak sumatera (sumateralith). Hasil penemuan itu sempat beberapa bulan dibawa ke laboratorium.
Penemuan fosil kapak genggam ini kemudian akan memperkuat bukti sejarah di kawasan Kawal tersebut. Setidaknya bagi buku sejarah di Tanah Melayu, dapat

ditambah satu bab lagi, yang khusus mengupas tentang kehidupan di rentang waktu prasejarah. Sebab, sejarah Bintan yang sampai ke masyarakat pada saat ini baru

terlacak pada pendulum waktu sekitar 900 masehi sampai 1100 masehi, di mana pernah berdiri sebuah kerajaan di kaki Gunung Bintan. Dalam sejumlah buku

sejarah, termasuk di antaranya
“Hikayat Hang Tuah: Analisa Struktur dan Fungsi” yang ditulis oleh Guru Besar UGM Sulastin Sutrisno memang menguatkan bahwa di kaki gunung itu pernah berdiri

sebuah kerajaan.
Lantas bila menilik lagi satu buku “Kota Kara dan Situs-Situs Sejarah Bintan Lama” yang ditulis oleh Aswandi Syahri, pada sekitar tahun 1512-1513 masehi di

kaki Guunung Bintan, atau di kawasan yang dikenal sebagai Kota Kara, juga pernah menjadi pusat pemerintahan Sultan Mahmud. Jatuhnya Kota Melaka ke tangan

Portugis pada 1511 membuat Sultan Mahmud dan rombongan menyingkir ke selatan. Diperkirakan, ia dan rombongan sampai ke Bintan setahun setelah Melaka

jatuh. Kemudian Sultan Mahmud pun membangun basis pertahanan di sekitar kaki Gunung Bintan. Keberadaan bukti sejarah di kaki gunung itu juga kemudian

dikuatkan oleh adanya sejumlah makam tua.
Bila melihat dari dua data di atas, artinya titik sejarah Bintan terjauh yang bisa ditarik adalah pada pendulum waktu sekitar 900 masehi. Sementara sebelum itu,

semua masih merupakan sebuah teka-teki sejarah yang gelap. Nah, dengan penemuan bukit kerang di Kawal tersebut, maka bisa sedikit menguak jejak masa lalu

manusia Bintan.
Bukit Kerang
MAKNA keberadaan tumpukan kerang di Kawal itulah yang telah menjadi magnet para pencinta sejarah untuk melakukan kajian lebih dalam. Dahsyat Gafnesia,

seorang peminat masalah sejarah Melayu yang sebelumnya pernah bekerja sebagai peneliti sejarah di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT)

Tanjungpinang mengatakan bahwa kjokkenmoddinger bukanlah barang baru di pesisir timur Pantai Sumatera. Di Aceh dan Medan, para peneliti juga sudah pernah

menemukannya.
Namun satu misteri besar yang belum terpecahkan adalah, bila di Aceh bukit kerang itu ditemukan dengan jarak 130 kilometer dari bibir pantai, maka di Kampung

Hulu Kawal, Kelurahan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, bukit kerang itu hanya berjarak 700 meter dari bibir pantai. Lantas apakah bukit

kerang itu?
Dahsyat menjelaskan bahwa bukit kerang bisa jadi adalah tumpukan sampah dapur. Waktu itu, bisa jadi manusia purba memakan kerang sebagai santapan

keseharian, mengingat sampai saat ini saja, kerang masih banyak ditemukan di bibir Pantai Trikora. Saat itu, menurut Dahsyat, bisa jadi ada semacam kepercayaan

mereka bahwa setelah memakan isinya, maka kulit kerang tak boleh dibuang sembarangan, melainkan harus ditumpuk di satu tempat. Selain itu, juga mungkin waktu

itu ada konsepsi manusia prasejarah yang memandang kerang sebagai hewan suci, yang akan kualat bila membuang sembarangan.
Bukit kerang yang ditemukan di kawasan Kawal itu sendiri memang tidak terlalu tinggi. Bentuknya tidak sampai menjadi bukit, melainkan hanya sebatas tumpukan

kerang saja. Tingginya saat ini dari permukaan tanah sekitar empat meter, atau 12 meter di atas permukan laut. Lebar gundukan bukit kerang mencapai 18 kali 24

meter. Bisa jadi pada masa lalu, tinggi tumpukan kerang itu di atas empat meter. Namun karena berjalannya waktu, tinggi tumpukan kerang semakin berkurang.

Apalagi di bagian tengah tumpukan kerang itu kini sudah ada lubang. Kemunculan lubang itu jauh terjadi sebelum para arkeolog melakukan penelitian. Diperkirakan

warga setempat, ada orang yang menggalinya untuk keperluan mengambil benda tertentu. Warga kampung sekitar tempat tersebut sendiri sudah menemukan

keberadaan bukit kerang sekitar tahun 1960-an, seiring pembukaan hutan menjadi kebun-kebun warga. Sebelumnya ada dua tumpukan kerang, namun yang satu kini

sudah nyaris rata dengan tanah.
Dalam penelitiannya, tim arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batu Sangkar, selain menemukan gundukan kerang setinggi empat meter, juga

masih ada batu yang diduga sebagai kapak genggam manusia purba, dan satu lagi, serpihan tulang kepala manusia purba.
Jejak Pengembaraan Manusia Prasejarah Bintan
DAN di awal 2009, hasil penelitian yang ditunggu itu pun dipublikasikan. Dan kemudian sejarah Pulau Bintan, tampaknya harus ditulis ulang menyusul hasil penggalian

(ekskavasi) tim arkeologi dari Balai Arkeologi (Balar) Medan. Dan lokasi penemuan bukit kerang itu pun kemudian diberi nama situs Bukit Kerang Kawal Darat

(BKKD). Para arkeolog menemukan bukti adanya kehidupan manusia prasejarah atau purba di situs tersebut. Manusia prasejarah di Bukit Kerang Kawal Darat ini

diperkirakan hidup di zaman Mesolithikum (zaman batu pertengahan) atau sekitar 1500-1900 tahun sebelum masehi.
Tim arkeolog dari Balai Arkeologi Medan tersebut turun langsung ke lapangan, dipimpin oleh Kepala Balai Arkeolog Medan Lukas Partanda Koestoro. Ia ditemani

oleh Ketut Wiradnyana yang selama ini dikenal cukup ahli mendalami masalah situs bukit kerang di Indonesia. Dan hasil penelitian tersebut, seperti yang diduga sejak

awal, membuktikan bahwa di situs BKKD itu, tumpukan kerang yang ditemukan adalah murni kjoekkenmoddinger, yang antara lain berupa kulit-kulit kerang,

gerabah prasejarah dan serpihan alat pukul. Selain itu ditemukan juga perkakas dari tulang hewan, yang biasanya digunakan untuk mencungkil.
Lucas Partanda Koestoro menjelaskan, terkait dengan persoalan penemuan bukit kerang itu, sebenarnya di Kawal bukanlah yang pertama. Peninggalan manusia

prasejarah berbentuk bukit kerang ditemukan pertama kali di sekitar Pantai Timur Sumatera tahun 1925 oleh peneliti Dr PV Van Stein Callenfels. Di tempat itu dia

juga menemukan kapak genggam, yang disebut dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith). Selain di Bintan, masih ada empat tempat lainnya ditemukan situs

prasejarah seperti ini. Selain di kawasan pesisir Sumatera, seperti Aceh dan Sumatera Utara, di Sulawesi juga pernah ditemukan situs serupa. Karena itu, perlu ada

penjagaan terhadap lokasi sekitar situs. Sebab bercermin pada Deli Serdang, lokasi situs saat ini sudah hilang. Di Deli Serdang, situs tersebut ditemukan tahun 1970.

Namun untuk situs bukit kerang yang di Aaceh dan di Sumatera Utara, diperkirakan usianya lebih tua, yakni sekitar tujuh ribu tahun sebelum masehi.
Para manusia prasejarah ini memiliki cirri hidup berkelompok. Umumnya mereka tinggal di sekitar muara sungai, tepi sungai dan di pinggir laut. Hal ini terbukti

dengan penemuan bukit kerang di Kawal, yang jaraknya dari bibir pantai sekitar 4,7 kilometer. Dari lima situs bukit kerang yang ditemukan di Indonesia, semuanya

berada di bibir pantai. Di Kawal sendiri, sebenarnya bukan hanya satu situs kjokkenmoddinger, melainkan tiga. Dan masing-masing digunakan tiga kelompok yang

berbeda. Setiap kelompok beranggotakan sekitar 25 – 30 orang yang tinggal di rumah berbentuk panggung. Koondisi rumah berbentuk panggung ini juga mirip

seperti yang ditemukan di Aceh. Namun seiring berlalunya waktu, bekas-bekas rumah sudah tidak bisa ditemukan lagi jejaknya di Kawal.
Para manusia prasejarah yang pernah hidup di Kawal ini umumnya mencari makan dengan berburu. Kegiatan ini dilakukan oleh pria dewasa. Sedangkan, yang

anak-anak, wanita dan orang tua mencari atau mengumpulkan makanan seperti kerang-kerangan serta umbi-umbian di sekitar tempat tinggal mereka. “Itu sebabnya,

tulang manusia yang biasanya ditemukan di dalam tumpukan kjokkenmoddinger berasal dari anak-anak atau wanita,” lanjut Lucas. Namun dalam survei awal yang

dilakukan arkeolog dari Balai Arkeologi Medan, di kjokkenmoddinger Kawal ini belum ditemukan adanya tulang manusia. Namun bisa jadi kalau dilakukan penelitian

lanjutan, tulang belulang manusia purba itu bukan tidak mungkin dapat ditemukan.
Jejak pengembaraan manusia prasejarah Bintan sendiri terbilang panjang. Berdasarkan analisa dan kajian mendalam, Lucas sampai pada kesimpulan bahwa jejak

pengembaraan manusia prasejarah di Bintan itu dimulai dari daratan kawasan Asia Tenggara, tepatnya di Thailand. Mereka terus menuju arah selatan, hingga sampai

di Bintan. Dari Thailand, mereka menuju arah Pantai Timur Sumatera sebelum sampai di Pulau Bintan. Sebenarnya, jejak manusia prasejarah yang ada di kawasan

Asia Tenggara ini tidak semuanya berasal dari Thailand. Ada juga yang berasal dari Filipina. Mereka diperkirakan menjadi bagian dari Kebudayaan Hoabinh yang

bermula dari Vietnam Utara. Namun untuk kajian lanjutan serta pendalaman, Lucas mengatakan masih perlu dilakukan penelitian secara menyeluruh.
Satu hal lagi yang bisa ditarik dari penemuan situs bukit kerang di Kawal itu adalah pembuktian bahwa laut telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan

orang-orang Bintan sejak sekitar empat ribu tahun yang lalu. “Bahwa kehidupan sebelum masehi sudah menggunakan kekayaan laut untuk kehidupan,” kata Lucas.

“Sayangnya, zaman sekarang, kita belum memanfaatkan sumber daya laut untuk kehidupan.” Peninggalan bukit kerang di Kawal ini adalah bukti sejarah yang tak

terbantahkan untuk diambil pelajaran bahwa laut sudah digunakan untuk kehidupan sejak zaman prasejarah. Harusnya kita bisa mulai mengoptimalkan menggunakan

sumber daya laut untuk meningkatkan kehidupan.
Temuan bukit kerang ini akan menjadi lokasi objek penelitian lanjutan para arkeolog Indonesia. “Kita harus melakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lebih jauh

sisi lainnya dari peninggalan tersebut,” paparnya. Balai Arkeolog Medan sendiri sedang mengusulkan ke pemerintah pusat dana untuk penelitian lanjutan situs BKKD

ini. “Kalau kita bisa bekerjasama dengan Pemda, itu lebih baik. Karena anggaran yang tersedia di pusat, masih kecil untuk penelitian,” kata Lucas. “Di zaman

otonomi daerah, Pemda lebih banyak memiliki peran. Tentunya kalau ada kerjasama Pemda dengan Balai Arkeologi, tentu lebih baik untuk mengetahui hasil

penelitian lanjutan. Kalau mengandalkan Balai Arkeologi saja, saya kira kita memiliki dana yang terbatas.”
Selain untuk objek penelitian arkeolog Indonesia, kawasan BKKD juga bisa dijadikan objek wisata yang memungkikan untuk menghasilkan pendapatan asli daerah

(PAD) bagi Pemda. Di sejumlah negara Eropa, kata Lucas, penemuan situs purbakala ini sendiri kemudian dikelola sebagai objek wisata.

Sulap Jadi Kawasan Wisata

PENEMUAN situs purbakala di Kawal tampaknya akan menjadi berkah tersendiri bagi warga Bintan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Pemkab

Bintan sudah merencanakan untuk menjadikan kawasan ini sebagai objek wisata baru di Bintan, melengkapi sejumlah objek lain yang sudah ada. Kepala Dinas

Pariwisata Kabupaten Bintan Raja Akib Rachim menjelaskan saat ini Pemkab Bintan sudah berencana membebaskan lahan warga di sekitar lokasi penemuan situs

purbakala tersebut. “Kita akan menjadikan sebagai objek pariwisata budaya di Bintan. Tahun 2010 akan dilakukan pembebasan lahan seluas dua hektare. Tahun ini

belum bisa dilakukan pembebasan terhadap lahan karena tidak dianggarkan di APBD,” kata Raja Akib. Lantas apakah akan menarik untuk dijadikan objek wisata?
“Terus terang tidak banyak peninggalan sejarah itu di Indonesia,” paparnya. “Kita beruntung masih menjadi tempat persinggahan sejarah dan ini menambah objek

wisata di Bintan.” Wisata budaya ini nantinya akan disejalankan dengan wisata hutan bakau di Bintan. Apalagi di jarak tak sampai sepuluh kilometer dari lokasi,

Pemkab Bintan sudah merencanakan untuk membangun dermaga feri internasional di Tanjungberakit. Nantinya turis asing bisa masuk ke kawasan bukit kerang

melalui dermaga feri yang akan membuka rute ke Singapura itu. Sementara waktu, sebelum pembebasan lahan dilakukan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bintan

sudah bekerjasama dengan warga setempat untuk menjaga keamanan situs.
Terlepas dari potensi wisata yang tengah mengintai itu, masih ada satu lagi tugas besar yang harus diselesaikan oleh Bintan. Penemuan situs bukit kerang di Kawal

ini sekaligus menjadi sebuah pintu masuk untuk kajian sejarah lebih mendalam. Setidaknya, dari penemuan ini, diperkirakan sudah ada penghuni Pulau Bintan pada

kurun empat ribu tahun yang lampau. Penulis buku-buku sejarah Kepri, Aswandi Syahri punya padangan yang sama. Menurut Asswandi, dengan hasil temuan

tersebut, sejarah Pulau Bintan harus ditulis ulang. Semula sejarah Bintan berasal dari Kerajaan Bentan. Sekarang ada penemuan terbaru menghapus penemuan

bermula dari Kerajaan Bentan. “Harus dilakukan penulisan sejarah kembali dimulai babakan baru sejarah. Bukit Kerang penemuan besar dalam sejarah di Indonesia

dan Kepri," katanya. Dan dalam penulisan sejarah ulang tersebut, sejarah Kepri tidak lagi dimulai dari Kerajaan Bentan, melainkan bukit kerang di Kawal. Dan dari

sebuah hasil laporan di Belanda, Aswandi mengetahui bahwa bukit kerang tidak saja ditemukan di Kawal, tetapi diperkirakan juga ada di Tanjunguban dan Pulau

Galang, Batam. “Tetapi kita belum bisa membuktikan kebenaran laporan tersebut. Perlu ada penelitian lanjutan,” paparnya.
Pada titik inilah, sejarah Bintan kemudian harus dipikirkan kembali. Apa kemudian makna dari penemuan situs prasejarah di Kawal itu. Satu di antaranya, tidak lain

membuktikan bahwa kehidupan sudah bermula di Bintan pada sekitar 1900 tahun sebelum masehi. Bila ditambah dengan penanggalan masehi yang saat ini sudah

memasuki angka tahun 2009, maka berarti kehidupan sudah bermula di Bintan pada hampir empat ribu tahun yang lampau. Angka ini bisa menjadi lebih panjang lagi,

bila suatu saat kembali ditemukan situs prasejarah lagi di Bintan, yang usianya lebih tua dari bukit kerang di Kawal tersebut.
Nah, dalam rentang waktu hampir empat ribu tahun itulah, tentu banyak kisah yang sempat berlangsung. Dan itu semua menjadi bagian dari sejarah orang-orang

Bintan. Dan seperti kata pepatah, tidak boleh kita melupakan sejarah, sebab sejarah itu adalah kunci untuk mengetahui jati diri kita. Bagi orang-orang Bintan,

penelusuran terhadap sejarah yang mungkin masih banyak tercecer itu akan membuka sebuah kotak pandora, bahwa ada banyak sisi kehidupan yang telah luput dari

catatan pena dan kertas. Membuka masa lalu orang-orang Bintan, berarti juga adalah proses untuk menemukan jati diri orang-orang Bintan itu sendiri. (*)