Minggu, 24 Agustus 2008

Rumitnya FTZ di BBK Jika Menunggu DKN

kota Singapura yang sudah menerapkan FTZ. by robby patria.
---------------

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum menetapkan Dewan Kawasan (DK) sebagai lembanga yang mempayungi pelaksanaan Free Trade Zone atau Kawasan Perdagangan Bebas di Batam, Bintan dan Karimun (BBK). Bahkan isu terbaru yang membuat keanehan, DK akan ditetapkan setelah pemerintah membuat dulu Dewan Kawasan Nasional (DKN. Hal ini pernah dikatakan Menteri Sekretaris Kanbinet Hatta Rajasa belum lama ini di Jakarta. Berapa lama lagi masyarakat Kepri harus menunggu keputusan penting untuk mendongkrak perekonomian di BBK?

Meskipun Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, telah diundangkan pada 1 November 2007, dan beberapa saat sebelumnya yakni 20 Agustus 2007, telah pula diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46, 47 dan 48 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun, namun realisasi dari kebijakan-kebijakan tersebut dalam praktiknya sampai saat ini belumlah efektif. Banyak investor masih melihat dan menunggu keputusan Dewan Kawasan di tetapkan oleh presiden. Karena setelah DK ditetapkan, maka investasi di BBK memberikan sejumlah fasilitas yang begitu wah untuk dunia investasi. BBK akan menjadi surga investasi karena dengan berbagai kemudahan yang diberikan salah satunya bebas bea masuk untuk barang mewah.

Mencermati masalah tersebut, staf ahli Gubernur Kepri Bidang Politik dan Kebijakan Publik yang mengikuti proses FTZ, Agustar menilai permasalahan krusial saat ini adalah belum terbentuknya Dewan Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (DK-BBK) selaku lembaga implementator kebijakan dimaksud. Sehingga dunia investasi di BBK masih stagnan. Bahkan ada juga sudah hengkang duluan sebelum menikmati lezatnya "kue" FTZ.

Malah informasi terakhir yang berkembang, kata Agustar, pembentukan DK-BBK menunggu terbentuknya Dewan Kawasan Nasional (DKN) terlebih dahulu. Menurut Mensesneg Hatta Radjasa, karena Dewan Kawasan Nasional adalah yang akan membawahi Dewan Kawasan di daerah.

Mencermati persoalan di atas, Agustar menilai tentunya banyak pertanyaan yang akan muncul ke permukaan. Secara azas legalitas dari mana sebenarnya sumber hukum DKN, karena tidak diamanatkan dalam UU Nomor 44 Tahun 2007, dan mengapa pembentukan DK kesannya sangat tergantung DKN? Dikarenakan DK ditetapkan oleh Presiden, tidakkah DK bertanggung jawab langsung ke Presiden, bukan kepada DKN? Apabila kelembagaan DKN merupakan amanat UU yang lain, bukankah yang terjadi sebenarnya adalah sebuah UU telah mensubordinasikan UU lain, yang secara azas yuridis normatif seharusnya tidak boleh terjadi?

" Barangkali ada beberapa persepsi tentang keberadaan DKN, karena keberadaannya yang masih misteri sampai saat ini dalam ranah free trade zone (FTZ)," ujarnya kepada Batam Pos, Rabu (7/5) di Batam Centre.

Namun sampai saat ini, lanjutnya, masyarakat Kepri masih menunggu keputusan penting presiden tersebut.
Bisa saja , katanya, persepsi DKN sebagai sebuah instrumen teknis Presiden belaka, katakanlah tidak lebih dari sebagai tim task force semata yang dibentuk oleh Presiden dalam menangani urusan-urusan FTZ. Dalam artian, DKN bukanlah lembaga struktural dalam kebijakan FTZ, sehingga DK tidak bertanggung jawab kepada DKN tetapi tetap ke Presiden kendatipun melalui DKN selaku sebuah instrumen.

Kalau demikian adanya, maka penetapan DK oleh Presiden sebenarnya tidak perlu atau tidak ada kaitannya dengan sudah atau belum terbentuknya DKN. Dalam hal ini penetapan DK tidak harus menunggu keberadaan DKN. Kedua, DKN memang dipersepsikan sebuah lembaga struktural FTZ yang akan dibentuk Presiden dan akan membawahi seluruh DK-DK yang ada di kawasan FTZ Indonesia, sebagaimana sinyalemen Mensesneg Hatta Radjasa di atas. Dengan demikian, setiap DK harus bertanggung jawab ke DKN secara struktural.

Dia menjelaskan, sampai sejauh ini, orang-orang yang duduk di DK belum diketahui. " Kita belum mengetahui sampai sejauh ini siapa saja yang akan disetujui oleh Presiden. Tetapi kita minta masalah itu cepat selesai. Yang penting pengesahan DK tidak menunggu DKN dulu. Karena makin rumit persoalannya," kata mantan Ketua KPUD Kota Batam itu.



Boediono Tak Berwenang Coret Usulan Gubernur

Menjelang penetapan Dewan Kawasan (DK) berbagam macam isu muncul. Mulai dari sejumlah nama di coret oleh Menteri Koordinator Perekonomian Boediono sampai dengan Free Trade Zone (FTZ) di Batam, Bintan dan Karimun terancam gagal. Bagaimana sebenarnya proses tersebu

Jika saja penetapan DK harus menunggu pengsahan Dewan Kawasan Nasional, maka persoalannya, sungguh sangat rancu sebuah lembaga hasil bentukan UU (DK) harus bertanggung jawab kepada lembaga hasil bentukan Presiden (DKN). Bukankah hal ini menyalahi semangat UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana hierarki sebuah Perpres berada di bawah UU? Lagian mekanisme tersebut tidak di atur dalam UU Nomor 44 Tahun 2007 sebagai dasar pijakan implementasi FTZ!


Menurut staf ahli Gubernur bidang Politik dan Kebijakan Publik, Agustar, DKN bisa saja diatur dalam UU tersendiri, sehingga memiliki sumber hukum yang setara dengan UU Nomor 44 Tahun 2007. Tetapi prosenya kemungkinan sedikit lama. Effeknya, jika penetapan DK menunggu DKN, maka waktu yang dibutuhkan semakin lama.


Menurut Agustar, dalam draf RUU Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), masalah DKN akan diatur sedemikian rupa. Jika DKN hasil bentukan UU tersendiri ini, kemudian mengatur kelembagaan DK dan mekanisme kerjanya di kawasan FTZ, sehingga ada interdependensi DK terhadap DKN.

Bukankah hal ini berarti UU dimaksud telah mensubordinasikan UU Nomor 44 Tahun 2007 atas UU tersebut. Padahal sebuah UU tidak selayaknya “memerintahkan” UU yang lain, sebab bisa menimbulkan legal dispute (konflik perundang-undangan) dalam praktiknya.
Yang pantas mensubordinasikan sebuah UU, ungkapnya, hanyalah UUD (Undang-Undang Dasar).

" Pertanyaan esensial selanjutnya, haruskah kita menunggu lebih lama lagi untuk ditetapkannya DK-BBK, karena belum dibentuknya lembaga DKN lantaran UU yang mengatur tentang hal itu belum ada," ujar mantan tim sukses Ismet Abdullah ini.

Dia kemudian menjelaskan, persepsi DKN sebagai lembaga struktural FTZ akan mengundang konsekuensi terbangunnya satu level (jenjang) birokrasi di atas DK berskala nasional. Di satu sisi filosofi FTZ adalah manifestasi sistem otonomisasi investasi dan perdagangan di kawasan (daerah) dengan asumsi DK sebagai lembaga struktural tertinggi kawasan, sementara di sisi lain masih ada body regulator (DKN) di tingkat pusat yang membawahi DK.

Jika masih ada hierarkis lembaga struktural di atas DK, bermakna otonomi menjadi berjenjang. Padahal, dari prinsip otonomi dalam konteks apapun namanya,: “tidak ada otonomi yang berjenjang”. Karena begitu ada jenjang dalam sebuah sistem otonomi, maka ketika itu pulalah otonomi tersebut akan kehilangan maknanya.

" FTZ pada praktiknya simplifikasi dan pemberian insentif dalam urusan-urusan investasi dan perdagangan. Untuk itu diperlukan pelimpahan berbagai kewenangan dari pusat ke kawasan (daerah), sehingga seluruh urusan menjadi terintegrasi dan terpusat di kawasan," katanya lagi.



Apabila DKN yang nota bene berkedudukan di pusat, imbuh Agustar, bisa dipersepsikan sebagai lembaga struktural FTZ, maka dikhawatirkan akan mengingkari prinsip-prinsip pelimpahan wewenang itu.

Dengan kata lain, kendatipun pada awalnya terjadi pelimpahan berbagai kewenangan dari pusat ke kawasan, namun kewenangan yang telah dilimpahkan tersebut dalam praktiknya dapat “ditarik kembali” kapan saja ke pusat melalui kewenangan yang dimiliki DKN selaku instrumen pusat.

" Kesan yang muncul, pelimpahan kewenangan yang dilakukan pusat ke kawasan merupakan kebijakan yang bersifat setengah hati. Dengan sendirinya permasalahan ini akan dapat menurunkan daya saing kawasan FTZ di tengah-tengah kawasan sejenis di percaturan global," jelas besan Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A Manan ini mantap.


Lebih jauh dikatakan, hal lain yang perlu diingat adalah persoalan FTZ-BBK bukanlah semata-mata menyangkut pembentukan lembaga struktural FTZ belaka. Permasalahan yang sangat penting adalah bagaimana proses pelimpahan kewenangan berbagai format urusan yang telah disederhanakan dilimpahkan dari pusat ke kawasan secepat-cepatnya. Formatnya telah dirumuskan dalam Roadmap Action Plan yang sebagian telah dibahas dalam forum Joint Working Group (JWG) SEZ-BBK.

" Dan tak ada aturan yang membolehkan Boediono mencoret nama-nama usulan Gubernur. Sebab dalam UU yang mengatut FTZ, Boediono hanya memberikan masukan saja. Yang berhak mencoret Presiden. Jadi kita tak bisa berspekulasi yang macam-macam. Semuanya masih abu-abu siapa saja yang duduk di DK nanti. Kita tunggu sajalah," tegasnya. (robby patria)




















1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut