Minggu, 24 Agustus 2008

Ribuan Nelayan Tambelan Tak Lagi Melaut








Jumlah penduduk di Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, lebih kurang 5.000 jiwa. Sebanyak 80 persen mengantungkan hidup menjadi nelayan. Sisanya pegawai negeri sipil dan petani. Kondisi yang terjadi Juni 2008, bahan bakar minyak (BBM) langka di Tambelan. Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kecamatan Tambelan mencatat 300 perahu ikan di Tambelan tak melaut karena kehabisan stok BBM. Bagaimana masalah berat di Tambelan itu bisa terjadi?

Setiap menyebut nama Tambelan, orang pasti teringat daerah yang kaya kekayaan laut seperti ikan. Daerah penghasil guru yang paling banyak di Kepulauan Riau. Dulu, puluhan tahun silam, penduduk hanya menggunakan sampan mencari ikan. Tidak menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Kini dengan jaman modern, sampan sudah barganti menjadi pompong menggunakan mesin. Sebab, jika dulu ikan berada di dekat bibir pantai, sekarang sudah jauh dan memerlukan sarana transportasi yang memadai.

Warna langit sudah hitam memayungi, ketika pompong yang dikemudikan Sobaruddin (37) membawa saya meninggalkan perkampungan penduduk di Tambelan. Lelaki yang berprofesi menjadi nelayan itu sebelum berangkat sudah saya kontrak untuk mencari ikan di perairan gugus kepulauan Tambelan.

Petualangan pun menunggu di depan mata saat berkali-kali pompong kayu yang panjangnya tak lebih dari enam meter itu diterjang ombak Laut China Selatan yang waktu itu sudah masuk angin selatan. Nyali saya sempat ciut ketika kilat sudah menyambar-nyambar di langit Tambelan. Dalam pikiran saya, sempat kami dibantai ribut, bagaimana cara untuk berlindung. Saya membayangkan adegan film Malinkungdang ketika kapalnya dibantai ribut.

Ah, sudahla, mudah-mudahan pikiran buruk saya tidak terjadi. Kilat pun selalu menghiasi langit. Pada kilat yang ke delapan, langit pun semakin tak nyaman dipandang. Awan hitam di depan pompong semakin pekat. Pompong yang kami gunakan dibanting kiri dan kanan. Untung saya tidak mabuk laut di saat itu. Endy, seorang warga Tambelan yang berpapasan ketika hendak turun ke laut sudah mengingatkan agar mengurungkan niat mencari ikan. “Lihat langit seperti itu. Hujan turun malam nanti,"ungkap Endy, yang bekerja sebagai Guru Kesenian di SMA Negeri 1 Tambelan. Maryani, teman saya waktu kecil di Tambelan juga mengingatkan, jangan melaut. Tetapi, rasa ingin tahu yang lebih dalam tantang nelayan membuat saya harus turun ke laut untuk malam itu. Ya, kenangan yang indah saat menarik ikan adalah kepuasan tersendiri.

Niat petualangan tak menyurutkan langkah. "Jangan khawatir. Langit masih terang. Kecuali sudah tak ada lagi bintang. Cube liat itu ada bintang," kata Sobaruddin, membesarkan hati dengan bahasa melayu yang kental. Ia menunjuk pada sisi langit yang lain, yang masih ada bintang malam itu. Padahal, langit yang kami tuju di depan sudah hitam pekat. Tapi, siapa pun harus percaya pada nelayan saat sudah di tengah laut. Sobaruddin, lebih 20 tahun dari 37 tahun usianya dihabiskan di laut. Saya sepupu dengannya.

Soal pengalaman di laut, ia sudah kenyang. Seluruh sudut perairan gugus kepulauan Tambelan, yang jumlah pulaunya kalau dihitung ada sekitar 54 buah itu sudah dijelajahi. Tiap dua malam sekali ia pergi melaut. Dari mulai ikut orang, sampai kini, ia sudah hampir punya pompong sendiri berkat kredit pada seorang tauke. Maka, ucapan sepupuku pun kami jadikan pegangan membelah laut malam itu. Ia duduk di bagian buritan, memegang sebuah tongkat kayu yang berfungsi sebagai kemudi pompong berbahan bakar solar itu. Coy, pemuda asal Kalimantan Barat yang juga anak buahnya duduk di haluan, sambil mengamati laut yang memutih oleh gelombang. Pada malam itu, tak banyak nelayan Tambelan yang pergi mancing. Sebab, cuaca kurang bersabahat. Tetapi karena saya keburu waktu, malam itu saya harus merasakan menjadi nelayan dadakan. Kapan lagi bisa melaut, gumam dalam hati kala itu.

Satu jam setengah gelombang menghempas kapal, baru kami baru sampai di atas sebuah terumbu karang. Coy melepas jangkar. Sobaruddin menghidupkan lampu strongkeng untuk mencari umpan sotong. Sotongpun mulai naik ke atas, terpancing cahaya lampu. Ia mengambil jala dan menghujamkan ke laut. Satu persatu sotong sangkut di jala. "Ini untuk umpan mancing,” kata ayah dari empat anak itu. Istrinya Erna, kini sedang mengandung anak kelimanya.

Kami pun melewatkan malam dengan memancing. Berkali-kali kami memindahkan pompong, dari satu terumbu karang ke terumbu karang lainnya. Ikan di kotak plastik merah yang ada di pompong sudah nyaris terisi setengahnya. Laut Tambelan memang luar banyak menjadi tempat ikan bermain. Meski ikan sudah berkurang sampai 40 persennya dalam beberapa tahun belakangan akibat aksi pengeboman liar, tapi masih tetap lumayan hasil lautnya. Yang jelas, sampai penat tangan menarik kail, ikan tetap tak mau berhenti makan umpan.

"Hari mau pagi," kata Sobaruddin melihat bulan sabit yang muncul dari balik awan. Memang cuaca agak reda aat mulai larut malam. Apa yang dikatakannya sesuai dengan jam yang adai ponsel. Sabarudin tidak pernah bawa jam, tapi bulan adalah jam tangan yang tak pernah keliru membaca waktu bagi Sobaruddin. " Semalam bulan muncul jam dua. Tiap malam kan maju satu jam. Berarti sekarang jam tiga," kata lelaki asli Tambelan ini ketika ditanyakan tentang cara melihat waktu dengan memandang bulan itu. Setelah berembun semalaman, pajar pun menyingsing dari arah timur. Kami pun pulang ke pemukiman penduduk dengan membawa puluhan kilo ikan.




Untuk mencapai Kecamatan Tambelan yang memiliki 54 pulau itu, hanya menggunakan kapal Perintis Trigas 3 yang berangkat dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang. Bisa juga menggunakan kapal ikan yang bertonase 50 ton. Letak geografis Tambelan yang berada di Laut China Selatan, 210 mil dari Pulau Bintan membuat daerah ini masih terisolasi dari keramaian kota. Jarak tempuh Tambelan dengan menggunakan Kapal Perintis memakan waktu 21 jam dari Pelabuhan Sri Bintan Pura. Itupun disinggahi kapal 10 hari sekali.

Untuk kebutuhan sembako di Tambelan dipasok dari Kalimatan Barat, dan Tanjungpinang. Sesungguhnya, jarak Tambelan lebih dekat dari Kalimatan Barat (Kalbar) ditempuh 8 jam dari Pelabuhan Sentete, Kalbar. Sehingga banyak jalur perdagangan di Tambelan disokong oleh Kalbar. Termasuk BBM. Sayangnya, sejak terjadi pembatasan BBM bersubsidi oleh pemerintah pusat, Pemprov Kalbar tak memberikan izin kapal niaga untuk membawa minyak ke Tambelan dengan alasan Tambelan bukan bagian dari Kalbar. Melainkan bagian dari Pemprov Kepri. Jika dibawa keluar bisa dikatakan penyelundupan.

Kebijakan tersebut tentunya membawa dampak buruk bagi nelayan Tambelan yang berjumlah ribuan orang. Saat ini, menurut data dari HNSI Tambelan, tercatat 300 kapal ikan yang berukuran 3 ton dengan panjang 10-17 meter dengan lebar 2 meter selama ini mencari ikan di Tambelan. Sebenarnya masih banyak kapal yang belum terdata.

Dari 300 kapal ikan tersebut, biasanya memiliki anggota sebanyak dua orang sampai 4 orang. Jika dijumlahkan maka lebih dari 1.000 orang menjadi nelayan di Tambelan saat ini.

Kondisi kelangkaan minyak mulai terjadi seminggu yang lalu hingga tanggal 25 Mei. Sebab kapal minyak yang membawa BBM subdisi dari Tarempa, Kabupaten Natunan mulai sampai di Tambelan sekitar tanggal 22-25. Dengan kondisi kelangkaan seperti sekarang ini membuat nelayan di Tambelan tak lagi melaut. Mereka masih menungu kedatangan BBM dari Tarempa.

Kelangkaan BBM juga dihadapi PLN Tambelan. Akibatnya, lampu yang biasanya mulai hidup pukul 17.00 WIB kini dihidupkan mundur dari jadwal semula menjadi pukul 18.00. Pukul 05.00 pagi sudah dimatikan. Sedangkan siang hari tak menggunakan listrik. Karena dari jaman penjajahan Belanda, Tambelan sudah terbiasa dengan kondisi gelap.

Ketua HNSI Tambelan, Syamsudin kepada Batam Pos mengatakan, beban ekonomi mereka sangat berat. Jika minyak tanah langka tidak masalah dari pada solar. Sebab jika tak ada minyak tanah, mereka masih bisa menggunakan kayu bakar untuk memasak di dapur. Sedangkan jika sudah terjadi kelangkaan solar seperti sekarang ini, nelayan di Tambelan tak bisa melaut untuk mencari ikan. Sehingga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Apalagi harga kebutuhan pokok sudah melambung tinggi. Lengkap sudah penderitaan.

" Kondisi kite memang sulit sekarang. Sudah seminggu tak melaut. Mau makan ape nanti, kita juga bingung. Semoga pejabat tinggi di Tanjungpinang mau memperhatikan nasib kite ni," ujar Syamsudin kepada Batam Pos, Kamis (15/5), dengan logat Melayu Tambelan yang mendayu-dayu.

Menurutnya sosok yang memiliki kulit warna hitam ini, memang ada nelayan yang memiliki touke bisa melaut. Pasalnya, bos nelayan tersebut memberikan solar. Tapi jumlah yang diberikan juga terbatas, sehingga tak bisa mencari ikan terlalu jauh dari Tambelan. Sedangkan nelayan yang tak memiliki tauke, saat ini istirahat total dan menambatkan perahu di pelantar.

" Kita takutkan, jika sudah banyak nelayan tak melaut, akan terjadi tindakan yang menganggu ketentraman warga. Maklumlah, karena ini menyangkut masalah perut. Karena kita mau makan ape jika tak ke laut," ujar Syamsudin yang sudah tiga tahun menjadi Ketua HNSI Kecamatan Tambelan itu. Dia sudah menjadi nelayan tradisional lebih 30 tahun.

Syamsudin sebenarnya ingin melaporkan masalah ini ke Pemerintah Bintan. Tetapi karena dia sebagai nelayan kecil yang masih terbatas anggaran, sehingga belum bisa berangkat ke Tanjungpinang. Untuk bertahan sampai menunggu BBM datang saja sulit. " Camane nak ke Tanjungpinang untuk ngadu masalah ini," kata Syamsudin yang berharap pemerintah segera turun tangan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi nelayan di Tambelan.

Syamsudin berkata, saat ini nelayan di 'Negeri Bertuah' mencari ikan dengan cara merawai. Ada juga dengan cara memancing.

Untuk sekali pergi merawai membutuhkan solar sebanyak 50 liter solar. Per liter solar dijual Rp5.000. Paling tidak sekali pergi melaut menghabiskan anggaran Rp250.000- 600.000. Tetapi jika sudah pergi tiga malam di laut, nelayan di sana bisa membawa pulang uang minimal Rp1 juta. Karena harga ikan cukup tinggi. Per kilo ikan hasil rawai seperti ikan merah diharga Rp21.000 per kilo. Sehingga sekali pergi, nelayan bisa membawa uang pulang uang untuk tiga orang Rp1 jutaan. Uang tersebut nanti dibagi tiga anggota yang ikut ke laut.

Hal yang sama dikatakan oleh Sabarudin, nelayan yang tinggal di Kelurahan Teluk Sekuni, Kecamatan Tambelan.Menurut Sabarudin yang memiliki empat orang anak ini, nelayan Tambelan memilih cara merawai dikarenakan karena kesulitan mencari ikan dengan cara memancing. Dengan merawai, memerlukan persedian BBM dalam jumlah yang banyak. "Minimal sekali pergi ke laut membutuhkan modal sampai Rp 1 juta. Rp600 ribu untuk BBM dan Rp400 ribu untuk keperluan makan dan minum serta perlengkapan pancing," ujarnya.

Apalagi dengan adanya kenaikan BBM. Jumlah pengeluaran untuk BBM ini bertambah. Padahal, harga ikan masih normal belum mengalami kenaikan. "Kite memang mengalami kesulitan sekarang setelah BBM naik," ujar Sabarudin.

walaupun nelayan Tambelan berpergian jauh ke laut hingga 40 mil dari Tambelan, kebanyakan mereka tidak menggunakan alat yang pemandu yang lengkap seperti kompas. Para nelayan itu hanya menggunakan petunjuk gunung di Tambelan yang terlihat samar. Tek heran,jika terjadi musibah di laut sepertu kerusakan mesin, nelayan bisa hanyut sampai ke Serasan, Kabupaten Natuna. Terkadang sampai di Kalimantan Barat.

Dari pengakuan Syamsudin, jika solar dari Kalbar masih diijinkan, maka kebutuhan BBM di Tambelan masih terpenuhi. Sejak ada pembatasan ini BBM di sana menjadi langka. Saat ini, nelayan Tambelan hanya berharap BBM segera sampai di Tambelan dan mereka bisa melaut lagi.

Bujang, warga Kelurahan Teluk Sekuni, Tambelan menyatakan saat ini beban semakin berat dengan hilangnya BBM di Tambelan. " Untuk melaut, kita mesti pakai solar. Sedangkan solar saat ini habis. Mau pakai ape hidupkan mesin," katanya.

Menurutnya, baru di tahun 2008 ini BBM langka di Tambelan. Selama dia menjadi nelayan sudah 30 tahun, belum pernah terjadi kelangkaan. Karena BBM di Tambelan masih dipasok dari Kalbar. " Dulu minyak masih melimpah dan harganya murah. Sekarang sulitnya bukan main," imbuh Bujang yang tak menyelesaikan pendidikan SD ini.

Koordinator Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kecamatan Tambelan Hidaat Yahya, juga menyatakan keprihatinan kelangkaan BBM yang terjadi di Tambelan.

Kelangkaan BBM, menurutnya sudah menjadi persoalan besar yang terjadi di Tambelan. Sebab 80 persen penduduk bekerja mencari ikan. Bisa jadi untuk menunggu kedatangan BBM, banyak nelayan mengubah pola hidup dengan bertani dan kerja lain yang bisa menghasilkan uang. " Pemerintah harus serius mennyelesaikan masalah ini," kata Hidaat, yang juga Kepala Sekolah SD 004 Kecamatan Tambelan itu.

Multada, pemuda Tambelan juga berharap BBM cepat dipasok ke Tambelan untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
" Jika petani memang tak terasa dengan kelangkaan BBM ini, tetapi nelayan sudah mengeluh. Saat ini tinggal menunggu tabungan habis saja. Setelah itu baru berutang ke warung," kata mantan aktifis di IAIN Pekanbaru ini yang tinggal di Tambelan.

Kelangkaan BBM membuat masyarakat di Tambelan banyak mengkonsumsi nasi putih dengan telor dan ikan asin. Mereka kesulitan untuk mencari ikan segar. Sebab nelayan banyak yang tak melaut. " Kami banyak makan ikan asin dan mie, serta telor. Mau makan ikan payah mencari yang jual, ucap Yani, warga Kampung Hilir yang juga guru di SMPN 1 Tambelan.

Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau Effendi Hartadinata mengatakan kelangkaan BBM ini harus menjadi perhatian pemerintah Kepri dan Bintan. Bagaimanapun, di Tambelan kebanyakan nelayan. Sehingga BBM menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebab ini sudah menjadi tugas pemerintah Kepri.

Memang menurut anggota Komisis III yang juga asal Tambelan ini, dari dulu BBM Tambelan dipasok dari Kalbar. Tetapi, karena ada pembatas BBM bersubsidi, Kalbar melarang BBM digunakan di luar Kalbar seperti di Tambelan. Sehingga pasokan BBM di Tambelan berkurang.

Di Tambelan, menurutnya, bukan hanya terjadi kelangkaan BBM. Malahan, oknum TNI-AL yang melakukan razia kapal ikan meminta upeti dari pelaku penangkapan ikan dengan bahan peledak.

" Saya mendapatkan laporan langsung dari nelayan yang ikut serta razia bersama oknum TNI-AL tersebut. Inikan jadi masalah serius bagi nelayan untuk membasmi bom ikan, malah oknum main mata dengan pelaku kejahatan ilegal fishing," tegas politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.

Jika masalah BBM tak diselaikan, menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat Tambelan. Sebab sebagian besar adalah nelayan. Kehidupan ekonomi
mereka akan lumpuh. " Masalah BBM menjadi tanggung jawab pemerintah," tegas lulusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin Makassar itu.


Pemerintah Tambah 10 Ton BBM


Menghadapi kelangkaan minyak di Tambelan, Pemkab Bintan segera menambah solar di Tambelan menjadi 30 ton. Sudah bertahun-tahun, solar di Tambelan diberikan jatah 20 ton per bulan. Sedangkan bensin dari lima ton menjadi enam ton, dan minyak tanah dari 15 ton.

Wakil Bupati Bintan Mastur Taher mengakui, masalah kelangkaan akan segera diatasi. Karena kapal minyak yang membawa ke Tambelan datang sebulan sekali, membuat minyak jadi habis. Tanggal 22 Mei, BBM segera masuk ke Tambelan dan memenuhi kebutuhan nelayan.

" Saya langsung telepon Camat Tambelan menganai masalah. Dan dia menyatakan kondisi memang ada kelangkaan BBM," kata Mastur.

Transportasi yang jauh, jelas Mastur, membuat Tambelan sulit mendapatkan BBM. " Tetapi kita upayakan penambahan 10 ton bisa memenuhi kebutuhan nelayan," kata Mastur.

Sedangkan menurut Camat Tambelan Nurizal, jumlah nelayan memang sebagian besar tak melaut karena kehabisan BBM. Tetapi nelayan yang memiliki induk semang atau tauke bisa melaut karena bos nelayan itu memberikan bantuan sebanyak 3 liter perahu milik nelayan.

" Saya memantau dari kantor, masih ada nelayan yang melaut. Jumlahnya nelayan ke laut memang berkurang. Tetapi tanggal 22 Mei ini BBM kita sudah datang dari Tarempa," kata Nurizal.

Untuk mendapatkan pasokan dari Kalbar, Nurizal sebagai camat sudah berusaha. Tetapi hanya bisa dikasi 10 gligen per kapal yang keluar masuk Kalbar. Otomatis jumlah tersebut masih kurang untuk mensuplai kebutuhan nelayan di Tambelan.

Nurizal berkata, sekarang kantor Camat Tambelan kembali menggunakan mesin ketik. Sebab ginset yang biasanya digunakan untuk listrik habis solar. Karena listrik di Tambelan hanya hidup pada malam hari. Nurizal sebagai camat sudah berusaha untuk melobi agar jatah BBM di Tambelan ditambah guna memenuhi kebutuhan.

Nur, salah satu penjual minyak solar bersubsidi di Tambelan mengungkapkan, jika minyak subsidi sudah datang dari Tarempa, maka kebutuhan nelayan memang tak ada masalah. Yang jadi persoalan, kapal minyak ini belum datang. " Sehingga minyak yang kita jual sudah habis," tutur Nur.

Letak Tambelan yang jauh dari Kabupaten Bintan membuat daerah ini masih terisolasi. Pemerintah juga belum menghitung dengan akurat kebutuhan BBM untuk nalayan. Sehingga wajar jika disuplai satu kali satu bulan, kelangkaan minyak akan terjadi selamanya. Masalah ini harusnya tak terjadi jika hitungan minyak untuk kecamatan Tambelan sesuai dengan kebutuhan mereka. robby patria
























Tidak ada komentar: