Minggu, 24 Agustus 2008

Menguji Caleg dengan Kontrak Politik

Pemilu legislatif tinggal delapan bulan. Partai politikpun mulai melakukan pendekatan ke konstituennya guna maraup suara. Partai mana yang menang, dan siapa yang duduk jadi wakil rakyat? Tentunya akan jadi pertanyaan besar. Hanya pemilih yang bisa menjawabnya di bulan April 2009.

Waktu pemilu yang cukup panjang membuat caleg menguras energi. Parpol yang tak punya dana, siap-siaplah jadi pengembira pemilu. Bagitu juga dengan calon anggota legislatif yang yang memiliki dana.

Dana yang dikeluarkan untuk jadi caleg bisa jadi lebih besar dari sebuah mobil sedan Toyota Altis. Mulai dari dana spanduk, dana lobi agar dapat nomor urut satu, dana kampanye mendatangkan artis, dana mengumpulkan massa saat kampanye, dan tak ketinggalan tentunya dana untuk beli beras. Sampai dana bantuan tunai untuk pemilih.

Tak ayal, karena panjangnya waktu kampanye membuat partai banyak menyimpan energi. Bisa disaksikan ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan waktu kampanye sebulan yang lalu, di tengah-tengah masyarakat, kegiatan parpol tak jauh dari sunatan massal, membersihkan lapangan, dan menebas bendera partai di jalan raya.

Saat ini, bendera parpol bertebaran di setiap ruas jalan utama dan titik-titik strategis lainnya. Parpol mengenalkan indentitas mereka kepada pemilih. Parpol harus rajin melakukan pendekatan terhadap pemilih untuk mendapat simpati. Tentunya, biaya juga harus dikeluarkan jika intens melakukan pendekatan. Ibarat memilih pacar, parpol saat ini melakukan pendekatan dengan memilih.


Fakta tak terbantahkan bisa disaksikan pemilih. Parpol yang memiliki dana besar, maka jumlah bendera parpol tersebut pun bertebaran di mana-mana. Di setiap penjuru sampai ke pelosok kampung pun terdapat bendera parpol itu. Pemandangan tersebut kontras dengan parpol yang minim dana kampanye. Jangan ditanya menebar bendera, nama-nama caleg pun masih meraba untuk di daftarkan ke KPU.

Parpol yang sudah menetapkan nama caleg seperti Partai Keadilan Sejahtera, ataupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sudah maju selangkah untuk meraup suara. Mengapa? Karena disaat parpol lain masih meraba calonnya yang akan diusung, PKS dan PDIP sudah melakukan sosialisasi ke pemilih.

Mengenalkan caleg lebih dahulu ke pemilih, membuat pemilih lebih mengenal figur tersebut dibandingkan dengan figur yang belum masuk ke kelanggang permainan. Bayangkan, ada 34 parpol yang akan bertanding memperebutkan jatah kursi yang terbatas. Pemilih awam juga pasti bingung untuk menentukan pilihan ketiga membuka surat suara.

Ya, caleg yang sering menampakkan wajah ke pemilih, caleg yang dikenal masyarakat akan mendulang suara. Sedangkan caleg baru dan belum berbuat untuk rakyat, jangan banyak berharap duduk di kursi panas DPRD.

Penulis teringat, saat menjadi mahasiswa di Yogyakarta dan ikut mencoblos pada pemilu legislatif tahun 2004, saya bingung untuk menentukan pilihan. Hal itu disebabkan banyaknya jumlah foto caleg dan parpol. Sehingga saat detik-detik jelang penjoblosan, saya memilih caleg yang memiliki gelar pendidikan tertinggi dari caleg lainnya. Saat itu saya masih jadi seorang mahasiswa. Bagaimana dengan pemilih yang tak mengerti dengan dunia politik? Tentunya caleg yang dikenal jadi pilihan, ataupun bisa saja caleg yang ganteng?

Untuk menang, caleg dan parpol harus melakukan edukasi politik ke calon pemilih. Dengan melakukan promosi sebanyak-banyaknya, maka caleg akan menuai simpati dari masyarakat.



Caleg Balas Dendam Setela di DPRD


Kampanye habis-habisan di menit terakhir bisa saja banyak dilakukan parpol dengan tujuan menghemat anggaran. Ada yang beranggapan, kenangan terakhir akan diingat oleh pemilih saat memasuki ruang bilik suara. Jika parpol A melakukan sunatan massal di awal kampanye, bisa jadi ingatan warga akan lupa dengan parpol A. Sebab, banyak parpol juga melakukan sunatan massal setelah parpol A. Besar kemungkinan, yang diingat pemilih, parpol yang melakukan sunatan massal terakhir. Ataupun bantuan sembako terakhir yang jadi pilihan.

Artinya, dalam pemilu kali ini, parpol memang harus banyak bekorban untuk masyarakat. Siapa yang banyak berbuat, belum tentu mendulang suara yang banyak. Siapa yang tak banyak berbuat pun belum tentu tak menang. Perjudian caleg sangat bisa saja terjadi. Jangan heran, habis pemilu, ada salah satu yang mengalami stres memikirkan kekalahan.

Kempetisi yang melelahkan tersebut harus jadi perhatian bersama bagi pemilih. Jangan sampai sekali salah tusuk gambar, rakyat menderita selama lima tahun.

Penulis hanya bisa berharap, pilih jangan menjatuhkan pilihan yang salah. Setidaknya, imbauan jangan pilih caleg yang cuma mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok. Jangan pilih caleg yang pandai berjanji, tapi tak berjuang untuk kepentingan masyarakat.

Memang sulit untuk menentukan kualitas caleg. Kader partai tertentu yang pada awalnya hidup sederhana, kemudian setelah jadi anggota dewan akan berubah dari penampilan. Awalnya hanya menggunakan ponsel kelas bawah, setelah di dewan menggunakan ponsel kelas atas. Latar belakang pendidikan, pola hidup sehari-hari caleg tersebut hanya pemilih yang mengetahui.

Memisahkan kepentingan partai dan kepentingan masyarakat bukan lah hal yang gampang. Kita bisa menyaksikan politisi muda dari partai tertentu yang menyuarakan kepentingan rakyat Indonesia terancam kehilangan jabatan. Sehingga setelah jadi anggota dewan, kepentingan masyarakat yang seharusnya diutamakan berubah jadi kesekian setelah kepentingan pribadi dan partai yang diutamakan.

Jika ada caleg yang berani membuat kontrak politik dengan masyarakat, dialah yang laik untuk didukung. Sebelum dipilih, caleg harus berjanji kepada masyarakat untuk membela kepentingan rakyat. Jika suatu saat dihadapkan pada kasus, ternyata caleg tersebut tak bisa memperjuangkan, dia akan mengundurkan diri. Caleg seperti itu yang harus dipilih.

Karena kesejahteraan masyarakat tergantung dari anggota DPRD yang tugasnya membuat kebijakan yang prorakyat. Jika selama ini prosentase Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebesar 60 persen untuk belanja aparatur dan DPRD, ke depannya, caleg sekarang harus berani mengalokasikan dana APBD 60 persen untuk pembangunan dan program langsung untuk kesejahteraan masyarakat.

Saya kira tak banyak caleg yang berani melakukan kontrak politik dengan pemilihnya. Karena caleg juga manusia yang akan mengembalikan dana yang dia keluarkan selama kampanye. Imbalan-imbalan setelah duduk di lembaga legislatif juga jadi persoalan. Bagaimana caleg tersebut ingin berjuang untuk masyarakat, ketika danaya kampanye belum impas.

Ya, memang sulit untuk mencari figur yang murni berjuang untuk kepentingan masyarakat. Saya pernah berdiskusi dengan salah satu anggota DPRD yang cukup vocal menyuarakan kepentingan umum. Sayangnya, ketika kepentingan umum disuarakan, saat itu juga dia harus dimusuhi oleh rekan-kerja di lembaga tersebut.

Akhirnya suara yang semula lantang, jadi kendor dan melemah. Kemudian, tak jarang terlibat dalam pesekongkolan politik untuk meloloskan proyek tertentu demi kenikmatan bersama. Tak dapat dipungkiri, ajang balas dendam setelah jadi anggota dewan terhormat mengubur tugas dewan membela kepentingan rakyat.(robby patria)








Tidak ada komentar: