Minggu, 24 Agustus 2008

Berjuang Melawan Maut di Laut China Selatan

Hasrat hati ingin menjadi nelayan dengan bayaran Rp5,5 juta per bulan. Ternyata ditipu. Dia hanya dibayar Rp1,5 juta per bulan. Tak terima dibayar kecil, kemudian Misran (31), warga Belawan, Sumatera Utara, dibuang dari kapal ikan Surya Jaya di perairan China Selatan, tepatnya di depan Pulau Tukong Kemudi, Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, sebulan yang lalu.


Kisah ini berawal ketika Misran saat berada di Belawan ditawari untuk menjadi nelayan untuk menangkap ikan di perairan Permata Sirih, Malaysia. Saat ditawari menjadi nelayan, Misran akan digaji Rp 5,5 juta per bulan. Dia dikontrak selama enam bulan di laut untuk mencari ikan dengan cara merawai. Misran diiming-imingi setelah pulang dari laut, bisa membangun rumah di Medan. Karena bisa membawa uang puluhan juta rupiah.

Dengan hati yang berbunga-bunga, pemuda yang berbadan tegap, rambut ikal, kulit hitam dengan tinggi 170 ini tertarik ikut ke laut selama enam bulan guna mengejar impian mendapatkan rumah. Maklum, di Medan hanya kerja bangunan dengan penghasilan yang tak seberapa dibandingkan dengan menjadi nelayan.

Akhirnya, Misran dari Belawan mengikuti calo yang mencari nelayan di Belawan untuk dibawa ke Tanjungbalai Karimun, Kepulauan Riau, markas Kapal Motor Surya Jaya. Anehnya, ketika di Tanjungbalai, pemeriksaan Misran sebagai nelayan tidak bigitu ketat seperti biasanya. Petugas keamanan yang memeriksa nelayan hanya sekedarnya.

Dengan berbekal seadanya, Misran pun pergi melaut tergabung bersama dengan sembilan orang nelayan lainnya di Tanjungbalai. Tauke Misran yang juga menjadi bos di kapal Surya Jaya bernama Aheng. Semua kebijakan yang terjadi di kapal melalui komando Aheng, karena dia bos.

Kemudian, sekitar bulan awal Mei, mereka pun berangkat melaut ke Permata Sirih, Malaysia. Di laut, Misran bersama dengan teman lainnya bekerja 21 jam. Hanya tiga jam digunakan untuk istirahat. Setelah satu minggu di laut, Misran pun mulai merasa tak nyaman dengan kondisi kerja yang selalu dipaksa.

Karena dihantui dengan rasa kesal, lelah, dan kurang istirahat, Misran menemukan hal yang mencurigakan. Sebuah buku catatan tentang gaji Ia temukan. Misran tersentak membaca catatan di buku kecil itu.

Dalam catatan buku tersebut, gaji yang akan dibayar oleh tauke setelah sampai di karimun bukan Rp5,5 juta per bulan seperti yang dijanjikan pada awal kesepakatan. Nantinya mereka hanya dibayar Rp1,5 juta per bulan. Berarti selama enam bulan di laut, Misran hanya membawa uang pulang senilai Rp9 juta. Tentu lah impiannya pupus seketika itu juga. Karena mimpi untuk memiliki rumah dari hasil laut, bagai menggantang asap mengukir langit ( tak akan tercapai).

Sejak saat itu, Misran mulai protes dan minta pulang ke darat. Tetapi, Aheng sang tauke tetap saja tidak
mengabulkan keiinginan Misran.

Perjalan mencari ikan terus dilakukan. Sampai
lah kapal mereka di perairan Tambelan, dekat Pulau Tukung Kemudi. Sampai di pulau itu, Misran mulai berontak dan nekad harus berhenti melaut. Karena nilai gaji yang akan diterima selama enam bulan di laut sangat minim. " Lebih baik saya pulang kampung kerja bangunan," ujarnya.

Karena sudah kesal dengan sikap Misran yang selalu berontak, hampir 1,5 kilometer jarak kapal mereka dari Pulau Tukong, Misran disuruh terjun oleh Aheng.

" Jika kamu ingin ke darat, silakan terjun dan berenang ke pulau itu," ungkap Misran mengikuti perkataan bosnya saat itu.

Rasa takut melihat laut bercampur aduk ingin bebas dari cengkraman. Misran pun memberanikan diri untuk terjun dari kapal ikan tersebut dan berenang selama 2 jam ke Pulau Tukong Kemudi.

Saat hendak terjun, teman-teman Misran di kapal hanya bisa memandang iba dan sedih melihat teman seperjuangan di laut harus terjun mengarungi derasnya laut China Selatan dan goyangan gelombang.

" Saya sudah nekad. Biarlah saya mati di laut saat itu. Yang penting saya harus keluar dari kapal dan kembali ke Medan. Padahal, jika mereka mau, kapalkan bisa lebih merapat ke pulau, bukan di tengah laut," kata Misran kepada wartawan, Sabtu (31/5), di atas Kapal Jedayat dalam perjalanan pulang ke Kijang, dari Tambelan.

Misran pun terjun ke laut dengan berbekal pelampung. Dua jam berenang, Misran belum juga sampai ke Tukong Kemudi.

" Saya sudah lemas. Tetapi saya terus saja berenang menuju ke darat. Kaki saya sempat dipatuk (digigit) ikan saat berenang, " imbuhnya mengenang kejadian yang paling pahit yang dialami Misran.

Lebih dari dua jam berenang, Misran mendengar bunyi mesin pompong nelayan
Tambelan yang mencari ikan di dekat Tukong. Tau ada secercah harapan untuk hidup
, Misran pun langsun berteriak minta tolong sampai suaranya hilang tak kedengaran. Kemudian, pompong tersebut mendekat dan membawa Misran ke Tukong.

" Hati saya lega bukan main. Saya bisa sampai di Tukong dan mengucapkan terima kasih kepada nelayan Tambelan yang berhasil menyelamatkan saya," ungkap Misran.

Misran kemudian dititipkan di Tukong Kemudi. Tukong Kemudi ialah pulau yang paling luar dari Kecamatan Tambelan, biasa ditempuh enam jam dari kota Tambelan. Pulau tersebut dihuni sekitar lima keluarga. Mereka menjaga telor penyu dan perkebunan kelapa. Misran menginap di Tukong selama empat hari kemudian dia diantar ke Tambelan.

Sampai di Tambelan, Misran langsung membuat laporan polisi terhadap kejadian yang
dialaminya. Sampai saat ini, belum ada kelanjutan mengenai laporan tersebut.

Di Tambelan, Misran tinggal selama lebih kurang satu tiga minggu. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Misran bekerja membangun jalan raya di Tambelan. Saat ini, di Tambelan sedang melakukan pelebaran jalan raya. Saat Bupati Bintan Ansar Ahmad berserta rombongan
sampai di Tambelan 30 Mei, dan pulang 31 Mei, Misran ikut pulang bersama Bupati Bintan dan rombongan. Kepulangan Misran ke Belawan sepenuhnya dibantu oleh Pemkab Bintan.

" Kasihan dia. Sesama manusia, kita harus membantu agar dia pulang ke kampung halamannya," ujar Ansar Ahmad kepada wartawan di dalam Kapal Jadayat, Minggu (1/6).


Ansar ketemu dengan Misran di atas kapal. " Sebenarnya dia (Misran) mau ketemu saya di Tambelan. Tapi karena banyak acara, baru bisa ketemu di Kapal," kata Ansar.

Di buangnya anak buah kapal bukan lah hal yang baru ditemukan di Tambelan. Nelayan asal Thailand pernah ditemukan nelayan Tambelan karena dibuang dari atas kapal oleh bos mereka. Kejadian ini terjadi sekitar tahun 1996.

Saat itu ada dua orang, Akhirnya mereka diselamatkan oleh warga Tambelan dan dipulangkan kembali ke Thailand setelah cukup lama menetap di Tambelan. (robby patria)









Tidak ada komentar: