Minggu, 24 Agustus 2008

Anambas Lahir, Natuna Terkoyak?

Pembetukan Kabupaten Natuna merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau yang berdasarkan Undang-Undang nomor 53 tahun 1999 tentang Kabupaten Natuna. Pada awal pembentukannya terdiri dari 6 Kecamatan. Namun, hingga tahun 2007, Natuna memiliki 16 Kecamatan dengan 75 desa masih minim infrastruktur dan fasilitas publik.

Sebagaimana diketahui bersama, Natuna memiliki kekayaan alam terbesar di Kepulauan Riau. Pelbagai barang tambang, seperti pasir kuarsa, gas alam, dan minyak bumi ada di perut bumi Natuna. Di perairan lautnya yang dalam terkandung kekayaan alam berwujud ikan dan biota laut lainnya. Belum lagi keelokan pantai dan keindahan terumbu karang yang sangat menawan. Natuna luar biasa indah.

Sayangnya, pelbagai potensi sumber daya alam (SDA) belum dikelola secara memadai. Hasil pertanian seperti seperti ubi-ubian, kelapa, karet, sawit & cengkeh belum digarap optimal. Objek wisata: bahari (pantai, pulau selam), gunung, air terjun, gua, dan budaya juga demikian. Natuna kini masih berharap dari ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) dengan total cadangan 222 trillion cubic feet (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT merupakan salah satu sumber terbesar di Asia. Nantinya, setelah Kepulauan Anambas mekar, maka Natuna akan kehilangan sebagian besar hasil dari D- Alfa. Karena harus berbagai dengan Anambas sebagai daerah penghasil.

Sudah sembilan tahun Natuna mandiri mengelola melepaskan diri dari Kabupaten Bintan dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Melalui APBD mencapai lebih dari Rp3 triliun selama sembilan tahun, Natuna belum menunjukkan perubahan yang mendasar. Yang terlihat begitu mencolok hanya kantor Bupati, Rumah Sakit Umum Daerah dan masjid raya sebagai simbul keberhasilan Daeng membangun Natuna.

Berawal tidak merata pembangunan yang dirasakan oleh masyarakat Anambas yang berada di gugusan Pulau Jemaja, Palmatak, dan Siatan, akhirnya menjadi pemicu menjadikan gugusan Anambas menjadi kabupaten.

Alasan yang dikemukakan Anambas pun tak jauh berbeda saat Kepri mekar dari Riu. Memang untuk menjadikan Kabupaten baru, Anambas terkesan sulit. Tapi kelompok pro yang dimotori Wan Sarros tetap ngotot untuk berjuang. Sama halnya ketika Huzrin Hood dihalangi oleh Saleh Djasit untuk menjadikan Kepri Provinsi termuda di Indonesia.

Walaupun pada awalnya Bupati Natuna Hamid Rizal, Daeng Rusnadi, DPRD Kepri sudah mengeluarkan surat sakti sebagai persetujuan Pemekaran Anambas. Tetapi, Daeng Rusnadi yang kini menjadi Bupati Natuna mengirimkan surat sakti agar pemerintah pusat selaku pengambil keputusan nasional diminta tidak memberikan rekomendasi untuk pembentukan Kabupaten Anambas yang diusulkan masyarakat.

Daeng Rusnadi menyurati Gubernur Kepri, Menteri Dalam Negeri, Presiden dan Ketua DPR untuk meninjau usul pembentukan Kabupaten Anambas, lepas dari Kabupaten Natuna sebagai kabupaten induk. Dalam suratnya, Daeng menyatakan pemekaran Anambas tidak memenuhi syarat administrasi, teknik dan fisik. Bahkan, Daeng juga khawatir terjadi konflik antara masyarakat.

Diantaranya, masyarakat Anambas terpecah belah. Opsi pertama, ada yang menghendaki ibu kota Kecamatan Jemaja. Kalau tidak, mereka menyatakan tetap bergabung dengan Kabupaten Natuna. Sedangkan opsi kedua, masyarakat Tarempa menghendaki di Tarempa, sebagian lagi minta di Palmatak.

Padahal, hasil kajian lembaga P3PRO, ibu Kota Anambas lebih tepat berada di Siantan. Sebab dari semua aspek yang dibutuhkan menjadi ibu kota, Siantan menempati urutan pertama yang kemudian Jemaja.


Dari analisis penulis, Pembentukan Anambas tak jauh berbeda dengan pembentukan pemisahan Kepri dari Riau. Mungkin pemisahan Kepri lebih sulit dari Anambas. Andai saja seluruh masyarakat Anambas setuju dan tidak mempermasalahkan ibu kota seperti masyarakat Batam yang tak ingin ibu kota Kepri ada di Batam, kemungkinan besar Anambas melaju dengan mulus.

Sayang, mesin politik berkata lain. Daeng Rusnadi memainkan peran penting dalam skanerio ini.
Dengan kekuatan sebagai kepala daerah, Daeng memaparkan kepada Menteri Dalam Negeri, persyaratan administrasi yang belum dipenuhi Kabupaten Anambas, yaitu belum adanya rekomendasi Menteri Dalam Negeri dan berbagai masalah teknis lainnya dipersoalkan oleh Daeng.

Sinar terang mulai tampak untuk kemenangan Anambas dan 36 ribu penduduk calon kabupaten baru itu. 17 Juni 2008, DPR-RI berencana mengesahkan Rancangan Undang-Undang Anambas menjadi Undang-Undang. Artinya bayi Anambas lahir tinggal menunggu hari. Bukan 2009 yang dijanjikan Daeng. Siapkah Daeng ditinggal Anambas? Inilah yang akan menjadi persoalan serius pasca pemisahan itu.



Natuna Kekurangan SDM Jika Dimekarkan


Daeng secara tegas menyatakan, saat ini saja, Natuna kekurangan sumber daya manusia (SDM). Apalagi setelah Anambas mekar, bagaimana dengan pelayanan publik di sana.

Apakah akan mendatangkan orang dari luar? Natuna masih kekurangan pegawai. Hingga pertengahan September 2007, Eselon III kurang 59 orang, Eselon IV kurang 130 orang.

Tentunya pemerintah pusat memiliki pemikiran lain dengan pemekaran Anambas. Adalah alasan pemerataan pembangunan menjadi persoalan utama sehingga daerah untain mutiara utara itu dimekarkan.

Mengingat banyaknya permasalahan yang belum terselesaikan, Daeng Rusnadi melalui suratnya meminta Menteri Dalam Negeri tidak memberikan rekomendasi pembentukan Kabupaten Anambas di Provinsi Kepulauan Riau. Ini karena bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang otonomi pemerintahan daerah. Tapi surat Daeng langsung bertolak belakang dengan surat Gubernur Kepri yang nyata mendukung Anambas. Termasuk letak ibu kota di Tarampa. Berdasarkan surat itu, menjadi pertimbangan kuat DPR dalam pengambilan keputusan masalah pusat pemerintahan Anambas nantinya.

Tak cukup ibu kota, keuangan juga jadi masalah. Dari segi pembiayaan dikhawatirkan Kabupaten Natuna selaku kabupaten induk, nantinya akan kesulitan membiayai daerahnya sendiri akibat penerimaan atau pendapatan berkurang drastis. Kepada presiden dijelaskan, APBD Kabupaten Natuna sebagai kabupaten induk sangat tergantung pada dana perimbangan. Sedangkan PAD masih kecil, baru 5% dari total APBD.

Mengacu rencana pendapatan Kabupaten Natuna tahun 2008 sekitar Rp 702,905 miliar dengan asumsi SK Menkeu 2007. Jumlah itu berasal dari DAU Rp 159,4 miliar, DBH Migas Rp 341 miliar, PBB Tambang Rp 155 miliar. PAD hanya Rp 38 miliar, bagi hasil dengan Provinsi Kepri Rp 9,5 miliar. Jumlah ini menurun drastis dari APBD Natuna tahun 2007 yang mencapai Rp1,7 triliun.


Pro-Kontra Pembentukan Kabupaten Anambas


Wacana pembentukan Kabupaten Anambas, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sesungguhnya wacana ini muncul
sejak tahun 2002, seiring dengan pembentukan Provinsi Kepri. Dulu Natuna sempat menolak untuk bergabung dengan Provinsi Kepri. Ketika Natuna mengulur waktu bergabung dengan Provinsi Kepri, Anambas sudah mengikrarkan diri dan bersedia menjadi Kabupaten pendukung Pemprov Kepri. Tetapi, kemudian, akhirnya Natuna melunak dan bergabung.

Ya, potensi ekonomi di Anambas yang kaya migas membuat tokoh masyarakat Anambas yakin daerah itu bisa berdiri sendiri tanpa
keberadaan Natuna.

Jika menilik dari letak geografisnya, memang ada persoalan yang amat mendalam kenapa Anambas menuntut jadi
Kabupaten. Pertama, karena jarak kepulauan Anambas dengan ibu kota Kabupaten Natuna, Ranai, sangat jauh. Karena
letaknya yang jauh maka secara administratif mengalami banyak hambatan.

Kepulauan Anambas terletak di tengah Laut China Selatan dan merupakan bagian dari Kabupaten Natuna, Kepulauan
Riau. Waktu tempuh antara Pulau Matak di Anambas dan Ranai kurang lebih 45 menit dengan pesawat perintis.

Dengan kapal laut, perjalanan bisa 10 jam. Dengan kondisi itu, masyarakat memang sulit mendapatkan pelayanan. Bayangkan,
masyarakat harus mengurus administrasi pemerintahan di Natuna yang jauh. Kondisi ini yang dijadikan alasan para
penggegas mengapa pembangunan potensi ekonomi di kepulauan itu menjadi terhambat.

Selain itu juga, pembentukan Kabupaten Anambas, bisa mengurangi masalah illegal fishing Kapal Pukat
Harimau asal Vietnam dan Thailand. Menurut Danlanal Natuna, miliaran hasil laut hilang akibat illegal fishing.
Demi untuk menjaga kedaulatan NKRI, Kabupaten Anambas bisa menjamin kedaulatan, dan ini suatu kebutuhan yang harus segera direalisasikan secepatnya. Anambas yang berbatasan langsung dengan negara tetangga juga menjadi alasan kuat daerah ini harus berdiri sendiri.

Dengan segala persoalan, Anambas memang laik jadi mandiri. Asalkan pemekaran sesuai dengan tujuan mensejahterakan masyakat. Bukan untuk kepentingan politik kaum tertentu yang tak dapat jatah di Kabupaten Natuna. robby patria





Tidak ada komentar: