Kamis, 27 September 2012

Kesederhanaan Abu Ubaidah

Era demokrasi memberi ruang kepada seluruh anak bangsa untuk menjadi pemimpin. Tanpa terkecuali seorang pelacur pun bisa jadi pemimpin. Bahkan, dari kalangan non Islam pun boleh jadi pemimpin di negeri yang penduduknya Muslim terbesar di Indonesia. Hal itu disebabkan karena konstitusi kita membolehkan siapa saja anak bangsa jadi pemimpin.

Hal itulah yang menyebabkan, asalkan memililiki modal uang yang banyak, maka siapapun bisa menjadi pemimpin. Padahal, seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya lebih besar dibandingkan dengan rakyat yang dia pimpin.

Di zaman Rasulullah, ada seorang sahabat yang sangat dipercayai Baginda Nabi karena amanah. Bahkan Nabi memujinya. Adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu yang begitu disenangi Baginda Nabi. Karena itulah, Abu Ubaidad diminta menjadi Gubernur di Yaman. Sebelum Rasulullah menujuk Abu Ubaidah, hampir semua sahabat berharap mereka dipilih oleh Rasulullah. Ternyata harapan itu sia-sia.

Karena yang ditunjuk menjadi Gubernur adalah Abu Ubaidah. Ia pun melaksanakan perintah. Di Yaman, sang gubernur tidak memiliki harta. Bahkan dia harus berutang dengan saudaranya untuk makan besok hari. Begitulah seterusnya. Di dalam rumahnya hanya ada perisai untuk perang, pedang dan untanya. Ketika Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu mengunjungi Syam, ia bertanya kepada Abu Ubaidah, “Mengapa engkau tidak memiliki sesuatu untuk dirimu sebagaimana dilakukan orang lain?” Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, inilah yang bisa mengantarkanku ke akhirat.

Sampai akhir hayatnya, Abu Ubaidah tidak memiliki harta. Padahal dia adalah seorang kepala daerah. Bandingkan dengan kepala daerah saat ini. Untuk menjadi pemimpin, mereka berlomba lomba. Sedangkan pada zaman kekhalifahan Islam, pemimpin itu ditunjuk penguasa saat itu. Mereka yang menjadi merupakan sosok yang unggul dibandingkan dengan yang lainnya. Begitulah Islam mengatur bagaimana memilih pemimpin. Bahkan Rasulullah mewanti wanti,"Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari).

Dan di saat Umar bin al-Khaththab dikabarkan bahwa Abu Ubaidah telah meninggal dunia, air matanya menetes. Ia berkata, “Seandainya aku boleh berangan-angan, maka aku hanya mengangankan sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah.”
Andaikan pemimpin di Indonesia dan Kepri khususnya mau mengikuti kesederhanaan Abu Ubaidah, maka negara ini tak perlu lagi membentuk lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi karena tak ada yang akan korupsi. Kepemimpinan suatu daerah akan dihargai oleh rakyat dihormati dan cintai. Hanya saja, pemimpin saat ini enggan mencontoh kehidupan generasi terbaik umat manusia yang pernah ada di muka bumi. Sayangnya, suri tauladan sahabat hanya menjadi bahan bacaan. Jiwa jiwa mereka belum siap untuk seperti itu.


21/9/12

Tidak ada komentar: