Rabu, 31 Desember 2008

Melayukah Aku, sampai Bahasa PBB



Menjelang 225 Tahun Kota Tanjungpinang

"Kata pena akulah raja ini dunia
Siapa yang mengambil aku dengan tangannya
Akan kusampaikan kerjanya"



Kutipan indah dari Persia yang pernah yang dikutip sastrawan besar asal Tanjungpinang Raja Ali Haji dalam mukadimah Bustan al Katibin menghentakkan Indonesia dengan karyanya. 

Kota Tanjungpinang bukanlah nama yang asing. Kota ini hampir berumur 225 tahun. Kota yang syarat akan sejarah, budaya dan adat istiadat Melayu. Siapapun pernah mendengar Pulau Penyengat. Pulau ini tidak terlalu besar, hanya 3,5 kilometer per segi akan tetapi di Pulau ini terdapat banyak peninggalan berupa potensi cagar budaya dengan wujud bangunan-bangunan arsitektural, makam, dan situs peninggalan sejarah kejayaan Melayu Riau. Dari Tanjungpinang, hanya 15 menit untuk sampai di Penyengat. 

Pulau Penyengat dulunya dijadikan pusat pertahanan Kerajaan Riau oleh Raja Haji yang Dipertuan Muda Riau IV, termasyhur dengan gelar Raja Haji Syahid Fisabilillah, sekitar tahun 1782-1784. Penyengat juga dijadikan mahar dari Baginda Raja Sultan Mahmud kepada Raja Hamidah atau Engku Puteri, anak Raja Haji Fisabilillah. Di sinilah awal perkembangan kebudayaan Melayu.

Memang Penyengat bagian kecil dari Tanjungpinang. Tapi pulau itu juga yang menjadi ikon kota dengan jumlah penduduk yang menembus 150 ribu jiwa ini. Semenjak tahun 1784, kota Gurindam mulai tumbuh sebagai sebuah tempat pemukiman hingga kini. 

Habis sudah era Raja Haji dan Ali Haji. Bukan berarti masyarakat Melayu kehilangan tokoh. Walau tak sepopuler pendahulunya, tetapi dia memiliki komitmen untuk menjaga kelestarian budaya Melayu. Dia Srikandi yang mengidolakan Raja Hamidah. Wanita janda ini berhasil mengangkat budaya Tanjungpinang di pentas nasional. Melalui syair dan usahanya memperkanalkan sastra, Melayu bangkit kembali setelah lama terpendam di Bumi Segantang Lada. 

Ya, dialah Suryatati A Manan Wali Kota Tanjungpinang yang peduli dengan budaya. Setiap bulan, di Tanjungpinang selalu ada kegiatan kesenian dan budaya. Ajang baca baca puisi dan pergelaran sastra lainnya tak hilang di Kota Gurindam. Paling berkesan, Tatik nama panggilan akrap Suryatati, mempromosikan bahasa Melayu Tanjungpinang menjadi bahasa Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia berpendapat setiap negara mesti memahami bahasa Melayu dan menjadikannya sebagai bahasa ibu dengan dialek negara masing-masing. Misalnya, di Indonesia, selain Kepulauan Riau, dialek yang digunakan adalah dialek bahasa Indonesia. ”Intinya adalah bahasa Melayu," tuturnya.

Sudah berabad lamanya, bahasa Melayu menjadi lingua franca di berbagai belahan dunia, khususnya di Nusantara. Bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan suku bangsa negeri ini. 

"Melayu penuh kesopanan. Kita harus menjaganya terus ada. Jangan malu menggunakan bahasa Melayu," kata Tatik dalam beberapa kesempatan kepada Batam Pos.

Kerisauan Tatik mulai menipisnya Melayu diabadikan melalui puisi yang berjudul Melayukah Aku. Tatik melihat, pergaulan anak-anak muda di Tanjungpinang sudah jauh dari budaya Melayu. Dalam sehari-hari, pergaulan anak muda banyak menggunakan bahasa gaul yang diadopsi dari Jakarta.

"Padahal kita memiliki bahasa yang sudah teruji," katanya.

Tak cukup dengan puisi, dia telah mengangkat harkat bahasa dan sastra, bahkan melahirkan karya sastra yang telah banyak dibaca. Atas usahanya melestarikan budaya, sastra, dan kesenian dari tahun 2002-2008, Kongres IX Bahasa Indonesia, Rabu 29 Oktober 2008, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional menganugerahkan penghargaan Pelestari Bahasa dan Sastra Daerah kepada wali kota yang mendapatkan penghargaan MURI, karena mendapatkan suara terbanyak selama pemilihan kepala daerah.

Penghargaan diserahkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo saat pembukaan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta. Sebelumnya, dia sudah menerima penghargaan kebudayaan dari Badan Kerja Sama Kesenian Indonesia (BKKI) Yogyakarta di Ndalem Joyokusuman Keraton Yogyakarta, 25 Oktober 2008. 

Ketika diberikan penghargaan, Tatik mengatakan bahasa Melayu, telah menyebar ke berbagai negara di dunia, dan menjadi bahasa perjuangan bangsa Indonesia. Bahasa ini berubah nama menjadi bahasa Indonesia sejalan dengan Sumpah Pemuda tahun 1928. 

Apa yang dilakukan Tatik karena rasa cinta terhadap bahasa dan sastra Melayu. Penghargaan, diharapkan menjadi motivasi bagi warga Tanjungpinang berbuat lebih baik terhadap kebudayaan daerah. Ajakan Tatik tampaknya mulai menuai. Anak-anak muda sekarang tak lagi meninggalkan bahasa daerahnya. Di tiap perlombaan kebudayaan yang digelar, peserta muda banyak sekali. Karya mereka juga punya ciri tersendiri. 

"Terkadang, saya pun terkejut mendengarnya. Saya tak menyangka mereka bisa mengemas puisi dengan begitu segar," imbuhnya. 

Wanita murah senyum itu memang tak sehebat pendahulunya. Tetapi, bukanlah suatu kesalahan untuk terus mengembangkan karya. Ibu empat anak ini menerbitkan buku Puisi yang bercerita kisah harian, kesaksian di persidangan, tentang PKK, sampai Satpol PP. 

Tanjung Pinang adalah negeri kata-kata. Orang Tanjung Pinang pandai berkata-kata. Kemahiran mereka meningkat seiring makin seringnya digelar pelatihan oleh sastrawan. Karya Tatik yang mengangkat budaya tersusun rapi dalam hasil karyanya Melayukah Aku.

Isi buku tersebut tentang orang-orang yang sekonyong-konyong mengaku putra daerah begitu akan ada pemilihan anggota dewan atau wali kota. Mungkin, mereka memang pernah tinggal di Tanjung Pinang. Mungkin juga mereka lahir di Tanjung Pinang, namun merantau. Tetapi, banyak yang kehilangan akar budaya Melayunya. Misalnya, nama Muhaibah Siti menjadi Riana, Atan menjadi Antoni.

Pemimpin mencintai budaya, maka bawahannya tak kalah. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang pun mengalokasikan dana untuk menjaga budaya Melayu tetap memiliki roh. Guna menjaga kelestarian budaya, setiap sekolah mulai diberlakukan pelajaran arap Melayu sampai dengan kegiatan lainnya masuk dalam muatan lokal lembaga pendidikan.

Selain itu, Pemko menggelar kegiatan seni budaya. Berupa pembacaan dan perlombaan penulisan pantun dan puisi. Sastrawan diajak roadshow ke sekolah. Tak heran, kota ini mulai melahirkan penyair.

"Semoga Pusat Bahasa mendirikan lembaga sejenis di sini. Lembaga itu nantinya menjadi benteng budaya Melayu terhadap gerusan budaya luar. Kita selalu menjaga jangan sampai Melayu hilang di bumi," kata Wan Kamar.

Tak hanya itu, pemerintah kota melakukan pemeliharaan dan pemurniannya peninggalan budaya Kerajaan Melayu Riau. Peninggalan sejarah yang memiliki nama itu seperti yakni Masjid Raya Sultan Riau, Komplek Makam Daeng Marewah, Gedung Mesiu, Benteng Pertahanan Bukit Kursi, Komplek Makam Raja Jakfar, Kawasan Pecinaan Senggarang, Kota Lama, Komplek makam Engku Putri, Komplek Makam Daeng Celak.

Dari sekian banyak situs budaya tersebut, Masjid Raya Sultan Riau terletak di Penyengat lah yang menyita perhatian hingga mancanegara. Masjid dibangun tahun 1832 M oleh Raja Abdurrahman. Masjid ini memiliki panjang 19,8 meter dan lebar 18 meter serta memiliki arsitektur yang khas. Di antaranya empat buah tiang penyangga, juga terdapat empat buah menara di setiap sisinya dan 13 buah kubah, sehingga jika di jumlahkan menara dan kubahnya berjumlah 17. Jumlah ini sesuai dengan jumlah rakaat salat sehari semalam bagi umat Islam. Keunikan lain dari masjid ini digunakannya putih telur sebagai campuran bahan bangunannya. 

Dari sisa peninggalan sejarah, tak dipungkiri, kejayaan Melayu Riau abadikan oleh Raja Ali Haji, tokoh sentral yang mengupayakan pembakuan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan. Tokoh inilah menyusun risalah Buntan al Katibin (1850) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858). Sebelumnya, ia menggubah Gurindam Dua Belas (1847) yang sampai saat ini masih dikenal, dibaca, dan dipelajari, baik di dalam maupun luar negeri.

Banyaknya manfaat dan pesan moral yang terkandung dalam Gurindam 12, membuta Pemko memasang penggalan Gurindam di sudut-sudut kota. Mulai dari pusat keramaian di tepi laut, hingga ke pasar. Di pusat pemerintahan, bacaan Gurindam terpampang. Tujuannya tak lain supaya, budaya gurindam diimplementasikan oleh pegawai pemerintah dalam melayani rakyat. Bagitu juga di pasar. 

"Kita ingin memasyarakatkan Gurimdam 12," kata Wan Kamar.
   
Upaya Tatik mengangkat Melayu mendapat dukungan Pemerintah Provinsi Kepri. Wakil Gubernur Kepulauan Riau HM sani mengatakan, meskipun bahasa Indonesia disebutkan berasal dari bahasa Melayu, namun tidak ada penegasan Melayu yang dimaksudkan adalah Melayu Kepri. Karena itu, komponen masyarakat Kepri harus gencar mensosialisasikan bahasa Melayu yang dijadikan bahasa persatuan Indonesia berasal dari bahasa Melayu Kepri. 

Warna negara ini memang mengakui bahasa persatuan Indonesia berasal dari Bahasa Melayu. Tetapi Melayu yang mana? Apakah Melayu Riau, atapun Melayu dari daerah lain. Hingga kini belum ada pengakuan secara resmi. 

"Harus ada pengakuan bahasa persatuan, itu dari Tanjungpinang," tuturnya. 

Yang memperkuat alasan bahasa persatuan itu dari Kepri dengan ditetapkannya Raja Ali Haji jadi pahlawan nasional sejak 5 November 2004. Tokoh ini pun mesti disosialisasikan mendapatkan pengakuan internasional berkat jasanya. Melalui buku karangan Raja Ali Haji, saat ini dijadikan pedoman penyusunan bahasa Indonesia secara nasional. Asalnya dari Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Logat melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama, dijadikan kamus ekabahasa Nusantara. 

Untuk mendapatkan pengakuan itu, melalui seminar, mengupas makna kata-kata pada Gurindam 12, dialog interaktif, Napak Nilas Raja Ali Haji, lomba baca Gurindam 12, ziarah ke makam Raja Ali Haji, seminar Tamaddun Melayu, dan puncaknya puncak peringatan 200 tahun Raja Ali Haji. 

Ismeth Abdulah, Gubernur Kepulauan Riau juga risau dengan perilaku remaja saat ini yang mulai meninggalkan Melayu. "Kita ingin, remaja senang dengan Melayu. Melayu kental dengan tata krama yang santun," kata Ismeth.

Kerisauan seorang gubernur juga diamini oleh penyair Tanjungpinang Masyumi Dawoed. Bahasa menujukkan bangsa. Melayu itu terkenal dengan kesantunan. Sekarang ini, pesan-pesan kesantunan dalam Gurindam Dua Belas mulai pudar. 

Bahasa adalah tata kehidupan adat dan sopan santun. Konsep inilah yang digalakkan Raja Ali Haji dalam setiap karyanya.

"Bahasa memang segalanya," ujar penyair berambut gondrong ini.  robby patria

1 komentar:

M. Faisal Afif Alhamdi mengatakan...

Wah, ktemu blog org tanjung pinang..
Slm knl bang dari org dumai.
Kunjung balik http://logicprobe10.wordpress.com