Senin, 12 Oktober 2020

Politik dan Kemanusiaan


Pilkada 2020 bisa jadi menjadi catatan hitam atau catatan putih. Setelah pemilu 2019 banyak memakan korban 700 kematian petugas pemilu, bukan tak mungkin pilkada 2020 digelar saat pandemi semakin mengganas, menambah catatan hitam itu.
Ketua KPU RI, anggota KPU RI dan anggota Bawaslu sudah masuk daftar yang mengalami serangan virus Covid-19. Bahkan beberapa pegawai KPU di markas KPU di Jalan Imam Bonjol pernah diserang Covid-19.
Catatan hitam bermakna banyaknya korban terinfeksi Covid-19 sejalan pelaksanaan pilkada. Makna catatan putih, Indonesia bisa bangga karena mampu menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi yang sedang mengganas. Seperti Korea Selatan maupun Singapura. Dan Amerika pada November 2020. Dua negara Singapura dan Korsel melaksanakan pemilu di saat kondisi pandemi masih bisa mereka kendalikan.
Catatan hitam bertambah ketika hasil yang diperoleh dari pilkada tidak sebaik hasil dari pilkada normal di saat bukan situasi pandemi. Indikasi kurang berkualitasnya pilkada di saat pandemi misalnya mayarakat atau pemilih tidak banyak mendapatkan informasi soal calon kepala daerah mereka karena calon tidak banyak menyapa pemilih. Hal itu disebabkan calon dan pemilih dibatasi bertemu di situasi pandemi. KPU membatasi pertemuan tatap muka langsung antaracalon dengan pemilih di pasal 58 PKPU 13 tahun 2020.
Aturan membatasi hanya 50 orang per pertemuan tatap muka langsung. Tentu menjangkau pemilih 1,1 juta saja untuk di Kepri tak akan bisa maksimal. Calon tak bisa mencapai 20 persen pemilih selama masa kampanye lebih kurang dua bulan lebih. Andaikan setiap hari calon bergerak mengumulkan masa 10 titik dengan setiap pertemuan 50 orang, maka setiap hari pesan tersampaikan hanya 500 orang. Jika dikalikan dengan 70 hari saja, maka selama masa kampanye hanya bisa menyapa 35 ribu masa. Untuk di Kepri itu hanya 3 persen dari jumlah pemilih yang berjumlah 1,1 juta pemilih. Jika calon gubernur dan wakil gubernur bergerak bersamaan, maka hanya akan dapat 70 ribu. Jumlah tersebut baru mengcover 6 persen pemilih.
Itulah pemilih nyata yang berhasil mereka kumpulkan. Bawaslu harus memantau dan bisa menghitung jumlah massa yang dikumpulkan setiap pertemuan. Karena jumlahnya kecil 50 orang. Ini tentu menjadi catatan calon dalam situasi yang terbatas, maka mereka tak bisa mengandalkan pertemuan tatap muka secara langsung.
Kemudian, di 9 Desember 2020, bisa jadi partisipasi pemilih di bawah 40 persen. Penyebabnya karena warga takut ke TPS karena pandemi. Pada 2015, pilkada Medan mencatat rekor baru karena yang memilih di bawah 25 persen. Saat ini, jika ada pesta pernikahan yang mereka kenal calon yang mengundang, banyak warga memilih tidak hadir karena takut Covid19. Apalagi yang mengundang KPPS, untuk memilih calon pemimpin yang belum tentu mereka pernah bergaul. Jamaah ke masjid saja saat ini berkurang dari kondisi 7 bulan lalu.
Bayangkan saja pilkada kali ini melibatkan mengakibatkan pemilih terbesar dari pilkada lainnya. Misalnya total DP4 sejumlah 105.852.716 pemilih dari sebelumnya.
Pilkada melibatkan kerja di lapangan 21.210 PPK, 140.241 PPS dan 300.017 PPDP di 309 kabupaten/kota, yang tersebar di 270 daerah pemilihan, yaitu 9 provinsi (meliputi 48 kabupaten/kota), 224 kab, dan 37 kota. Belum lagi jumlah pengawas di lapangan. Ketika protokol banyak kantor mengharuskan kerja dari rumah, malah penyelenggara pemilu diminta kerja ke lapangan dan menemui banyak orang.
Ada yang mengatakan pilkada menggerakkan roda ekonomi karena diprediksi Rp35 triliun duit pilkada akan beredar. Di satu sisi, nyawa rakyat yang lengah dengan protokol kesehatan akan jadi taruhan. Komnas HAM mengingatkan pemerintah bahwa pilkada jangan menjadi ajang taruhan soal nyawa rakyat. Negara harus hadir menjaga nyawa dan keselamatan rakyat.
Keselamatan dan kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama bernegara, seperti yang tertulis dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945, yang intinya Negara harus menjamin melindungi segenap bangsa Indonesia. Tidak bisa kita berandai andai, semua warga negara bisa menjaga diri dari virus yang tak nampak itu. Karena korban positif di Indonesia saat ini sudah menembus 282 ribu jiwa dengan kematian 10.601. Angka ini saja membuat 50 lebih negara menutup pintu untuk warga Indonesia masuk ke negara mereka.
Mulai dari gubernur hingga ibu ibu rumah tangga, anak anak menjadi korban. Mereka yang melakukan antisipasi tinggi sampai dengan warga biasa bermasker seadanya bisa kena. Bahkan pulau yang jauh di laut China Selatan pun diserang Covid-19. Mulai dari kota hingga desa menjadi sasaran. Apalagi kapasitas rumah sakit di beberapa daerah mulai kualahan. Termasuk Jakarta yang hunian rumah sakit sudah menembus 80 persen.
Pilkada adalah pesta rakyat. Namanya pesta pasti dengan kegembiraan. Mereka bisa lupa pesta kali ini dalam situasi pandemi. Jika abai, maka pesta menjadi pilu hanya karena soal kuasa. Pilihan terbaiknya harusnya ditunda sampai dengan kondisi mulai terkendali. Jika pun harus ada Plt sebanyak 270 kepala daerah, maka di tiap provinsi ASN senior sekelas pejabat eselon II masih bisa mengatasi kekosongan tersebut. Daripada pilkada tetap dilaksanakan dengan penuh ancaman infeksi covid-19.
"Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan," kata mantan Presiden Gusdur.*

Tidak ada komentar: