Senin, 12 Oktober 2020

Dan Machiavelli pun Tertawa

Kalau Machiavelli masih hidup, tentu ia akan tertawa atau bisa jadi sedih. Karena pemikirannya soal kekuasaan yang ditulis 507 tahun lalu masih relevan saat ini. Bahkan ketika negara bukan monarki sekalipun, sekarang ingin menjadi seperti monarki. Kekuasaan dapat diwariskan kepada keluarga terdekat. Walaupun prosedurnya tetap melalui pemilu layaknya dalam model demokrasi.


Dulu di zaman monarki Italia, Machiavelli menulis buku berjudul Sang Pangeran sebagai pedoman penguasa. Ada yang menganggap Machiavelli memberikan ajaran yang menabrak nilai nilai kemanusiaan untuk berkuasa. Tapi di era politik modern masih banyak meniru gaya
pemikiran pemikir Italia itu untuk merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Machiavelli mengatakan, “Kekuasaan harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah.”
Dulu era monarki, siapapun yang namanya putra mahkota, apakah mampu atau tidak, peluang berkuasa tetap besar. Di demokrasi, keluarga penguasa bisa turun menurun berkuasa seperti era monarki karena mereka solid menjaga kekuasaan. Yang membedakan, jika monarki langsung ditunjuk tanpa ada proses melibatkan rakyat. Di era saat ini, kekuasaan bisa diwariskan melalui pemilihan yang didesain sedemikian rupa. Bahkan bisa melalui tanpa pertandingan serius. Ya, calon boneka bisa diciptakan. Jika mau ekstrim dibuat melawan kotak kosong.
Di pilkada 2020, ada beberapa daerah muncul wacana melawan kotak kosong. Namun, jangan dulu bahagia, karena kejadian di Makasar, kotak kosong pernah menang sehingga calon yang diusung partai kalah telak. Jadi tak usah jumawa jika merasa tak ada lagi lawan. Jika rakyat sudah
muak dengan keserakahan, maka sang pemilik kedaulatan suara akan marah dan memberikan kemenangan kepada calon yang dianggap
lemah. Tak terkecuali kotak kosong. Dan itulah kejadian di Makasar.
Dampak politik dinasti Dan kita nampaknya harus samakan persepsi
bahwa dalam teorinya, demokrasi dicirikan oleh setidaknya tiga karakter.
Pertama, pembagian kekuasaan ala trias politika yakni eksekutif, yudikatif
dan eksekutif.( Montesquieu).
Tujuan filosofi pemikir Prancis ini melakukan pembagian tiga kekuasaan
dalam trias politika agar terjadi proses check and balances antar lembaga
pemerintah. Kedua, demokrasi dicirikan dengan suksesi kepemimpinan
yang terbuka, melalui mekanisme pemilihan umum yang adil, jujur dan
terbuka.
Ketiga, rakyatlah pemegang kedaulatan, bukan pemerintah apalagi politisi. Menurut Novendra Bimantara, dengan maraknya dinasti politik, tiga pilar demokrasi itu berada dalam ancaman besar. Sistem check and balances dipastikan tidak akan berjalan efektif manakala semua lini
dikuasai orang-orang yang sekerabat.
Rapat-rapat atau sidang sidang yang sedianya menentukan hajat hidup
orang banyak justru lebih mirip arisan keluarga. Jika sudah demikian,
maka sudah sepatutnya kita mengucapkan selamat tinggal good governance.
Dampak negatif dari dinasti politik di Indonesia akan membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Hal sebaliknya juga bisa terjadi, di mana orang yang kompeten menjadi tidak dipilih karena alasan bukan
keluarga.
Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan, karena
pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam
menjalankan tugas. Maka dari itu, dinasti politik bukanlah sistem yang
tepat untuk diterapkan di negara kita Indonesia, sebab negara Indonesia
bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih
pemimpin berdasarkan garis keturunan (Novendra).
Pihak pendukung politikus dinasti beralasan, tak ada hukum positif yang
melarang praktik itu dibuat di Indonesia. Bahkan banyak negara lain pun
melakukan hal yang sama. Misalnya jejak rekam, Bush, Kennedy di
Amerika hingga ditiru politikus Indonesia. Mulai dari kota besar hingga ke
daerah. Tak ayal, memang dari daerah yang menerapkan politik kekerabatan itu, beberapa berurusan dengan hukum. Teranyar adalah
kasus suami istri yang masuk penjara di Kutai Timur karena kasus terduga
korupsi diamankan komisi anti rusuah. Istri ketua DPRD dan suami
menjadi bupati. Tentu lebih mudah untuk mengamankan kepentingan
kepala daerah karena disebabkan istrinya sebagai ketua DPRD.
Meski secara undang-undang diperbolehkan, dinasti politik rupanya lebih
banyak berdampak negatif dari pada sisi positifnya, jika terus dijalankan
para penguasa di negeri ini. Walau sempat dilarang dalam UU soal
pilkada, namun Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal itu dikarenakan
bertentangan dengan hak azasi manusia.
Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana mengatakan, akibat dinasti politik banyak pemimpin daerah menjadi politisi yang mempunyai pengaruh besar. Sehingga semua keluarga, termasuk anak dan istri, berbondong-bondong terlibat dalam sistem pemerintahan (IDNews). Menurut Ari ada tiga sebab mengapa muncul dinasti politik di Indonesia:
1. Dinasti politik dianggap hanya melenggangkan kekuasaan segelintir
orang. Ari berpendapat dinasti politik hanya melanggengkan kekuasaan
bagi segelintir orang. Karena partai politik lebih mengutamakan popularitas dan kekayaan, ketimbang kader partai yang memiliki
kapabilitas. Pertama menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang
pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai, sehingga tak ada target
lain kecuali kekuasaan.
Dalam posisi ini, rekrutmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan
kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon
instan dari kalangan selebriti, pengusaha, ‘darah hijau’ atau politik dinasti
yang tidak melalui proses kaderisasi.
2. Tidak memberi ruang kepada orang lain yang lebih kompeten, untuk
bergabung ke dalam partai atau pemerintahan.
Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan
masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi
kekuasaan hanya berputar di lingkungan elite dan pengusaha semata,
sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan
konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
3. Sulit menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih. Fungsi kontrol
kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif, sehingga kemungkinan
terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Bukti bahwa politik dinasti memberikan dampak negatif bisa dilihat dari
kasus di beberapa daerah di Indonesia yang berurusan dengan hukum.
Yang paling terkenal adalah dinasti Ratu Atut di Banten. Fuad Amin Imron
atau Lora Fuad di Bangkalan, Madura, serta dinasti Syaukani dan Rita
Widyasari.
Eks Gubernur Banten ini mendorong kerabatnya menempati beberapa
posisi strategis di instansi pemerintahan. Asumsi.co mencatat, ada adik
kandungnya bernama Ratu Tatu Chasanah, yang pernah menjabat Wakil
Bupati Serang (2010-2015) dan berlanjut menjadi Bupati Serang (2016-
2021).
Lalu, adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman pernah mencicipi Wali Kota
Serang (2011-2018). Ipar Atut yang cukup dikenal, Airin Rachmi Diany,
pun masih eksis menjabat sebagai Wali Kota Tangerang Selatan (2011-
2021). Sementara, putra Atut, Andika Hazrumy bahkan berhasil menjabat
Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022. Sepaket, istri Andika, Adde
Rosi Khoerunnisa, juga dibagi kue Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten
2014-2019 dari Fraksi Partai Golkar.
Di Cimahi, Wali Kota Cimahi periode 2012-2017 Atty Suharti bersama
suaminya, Itoc Tochija, mengutip Kompas, menjadi tersangka kasus
penerimaan suap terkait proyek pembangunan pasar di Cimahi, dengan
nilai total proyek mencapai Rp57 miliar. Atty dan suaminya diringkus
petugas KPK setelah diduga menerima suap dari dua pengusaha. Itoc
sendiri adalah Wali Kota Cimahi dalam dua periode sebelumnya.
Posisinya kemudian digantikan oleh istrinya, Atty Suharti.
Lalu di Banyuasin, Bupati Banyuasin periode 2013-2018, Yan Anton
Ferdian diamankan KPK terkait kasus suap proyek di dinas pendidikan
Banyuasin. Bupati termuda ini melanjutkan trah kekuasaan yang
sebelumnya diduduki bapaknya, Amiruddin Inoed, selama 12 tahun.
Akhirnya dengan banyaknya kasus negatif, dinasti politik harusnya
dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai
pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di
partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka bisa saja menyebabkan korupsi sumber
daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.
Nabi Muhammad SAW
mengingatkan, ”Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran
terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya: ‘Bagaimana maksud amanah
disia-siakan?’ Nabi menjawab: “Jika urusan diserahkan bukan kepada
ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Bukhari). ***

Tidak ada komentar: