Minggu, 15 Desember 2019

Pilkada Bintan 2020: Pilkada Lawan Kotak Kosong?

LUKISAN alam yang disempurnakan setiap gumpalan awan hitam pekat yang berbentuk garis lurus. Tanda hujan akan turun di tanah yang dulunya banyak mengandung bauksit. Bekas PT Antam mengeruk harta Bintan. Hingga sisa peninggalan itu dikeruk sampai tiba 2019. Dua pejabat pun kena getahnya. Jadi tersangka.


Ada beberapa kecamatan yang menghasilkan lebih banyak masalah saat ini. Mereka menggunakan hutan lindung. Menanti menyanyikan lagu Arjuna yang disetujui mati-matian melepaskan lahan itu. Hingga ke titik nadir.

Sebenarnya ada yayasan yang akan mendirikan universitas yang membawakan kampus kelas dunia di Bintan. Bagaimana logikanya universitas peringkat 32 dunia mau buka cabang di negeri yang jauh dari Cina. Mereka bukan kekurangan mahasiswa.


Lebih satu miliar penduduk Tiongkok harus mereka cerdaskan. Kalau sesekali program pengunjung ke sini dari dosen Peking bisa saja. Transfer knowledge tidak masalah.

Di sisi lain, secara politik, tentu saja sangat menjungkirbalikkan akal sehat jika para politisi di sana tidak ada yang mau berkompetisi di pilkada 2020. Jika Bintan sampai terjadi lawan boneka atau kotak, tentu saja arah politik Bintan terpapar oligarki jauh dari semangat berdemokrasi normal: populer sehat .

Tak ada alternatif pilihan bagi pemilih. Apakah salah, Tentu tidak. Apakah sah, ya sah-sah saja. Andai terpilih menjadi kepala daerah atau jadi anggota legislatif dengan membayar pemilihan pun, pergi bukan ketahuan badan pengawas ya, dianggap normal saja.

Jika menarik tangan bisa juga bebas dan bisa divonis memenangkan. Jika bebas di dunia, belum tentu bebas di mahkamah Tuhan. Film Mirip Robin Hood. Mencuri untuk dibagikan kepada yang Dibutuhkan. Yang parah, diterima tapi tak dibagikan.

Masuk dengan cara yang salah, dapatpun dibagikan. Jika dibagikan hasil, sedikit mungkin mengobati. Tapi proses substansial tetap salah. Bertentangan dengan hati nurani. Mengkhianati kedaulatan rakyat.

Kembali ke kasus pemilihan dengan kotak kosong atau calon boneka. Tentu menjadi demokrasi dipaksakan. Prematur. Pemilih tidak punya alternatif pilihan. Elit politik yang disetujui dengan rupa dengan persetujuan tertentu. Berganti menjadi pemimpin hingga periode yang disepakati.

Provinsi Banten era Atut contoh nyata model dinasti keluarga. Sang pemegang kedaulatan hanya disuguhkan permainan politik tanpa bintang (jagoan- red ).

Harusnya seperti film Hollywood yang muncul sang jagoan hebat. Atau film super hero lainnya. Di kita macam film drama singkat di tivi. Acara realitas. Tapi ini bidang politik. Politik yang mudah ditebak. Tapi sulit dicegah.

Aroma politik Bintan sejak dulu sudah kental dengan politik dinasti. Apakah salah, secara kaderisasi salah. Secara politik bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan.

Kader yang selama ini bertungkus lumus membesarkan partai atau jadi pengurus partai akan menuju titik stagnasi. Dengan model seperti ini, pastilah yang mencapai puncak pemerintahan daerah, mereka yang memiliki puncak pemerintahan dengan penguasa.

Dengan demikian, mudah bagi para penganut cinta kekuasaan, untuk tetap bertahan, maka semua keluarga harus ditempatkan di jabatan strategis. Dan pegang itu sekuat kuatnya. Jika perlu digigit dengan geraham.

Andai pun nasib buruk, satu keluarga bisa memenangkan KPK. Kan sudah ada model seperti itu. Jika selamat, maka modal cukup untuk hidup sampai cucu berikutnya.

Sudah ada contoh, anak politisi di DPR RI memenangkan 24 tahun. Sementara petani, nelayan, guru, guru yang berusia 60 tahun belum memiliki gaji satu miliar. Bahkan sampai pensiun, masih punya pinjaman di bank.

Terkadang demokrasi juga menciptakan ketidakadilan. Wajar indeks gini rasio Indonesia cukup tinggi perbedaannya mencapai 38. Lebih rendah zaman Suharto di angka 24 gini rationya. Penting sedikit. Tapi bidang politik tentu saja lebih baik daripada era reformasi dibandingkan Orde Baru.

Jangan heran di DPR RI banyak anak mantan petinggi partai, menjadi anggota DPR. Juga anak bupati, anak gubernur, anak menteri anak presiden. Dengan model sistem proporsional terbuka, asal banyak duit maka Anda bisa menjadi anggota DPR hingga DPRD. Termasuk jadi kepala daerah.

Lalu di mana aktivis yang mewakafkan dirinya dan berteriak di jalan saat jadi pelajar setuju kepentingan publik? Atau dosen, tokoh buruh, LSM, jika beruntung atau menang, yang kuat baru bisa terpilih saat pemilu. Tapi banyak yang gagal.

Buku yang mereka baca, mereka diskusikan jauh dari kenyataan. Bagaimana ibu rumah tangga suruh cerita Sukarno, Hatta, atau Syahrir hingga Tan Malaka, bisa saja bisa jadi paham. Apalagi soal cerita ideologi. Dan mereka ini terpilih jadi DPRD.

Toh menjadi anggota DPRD keputusan diambil bersama. Misalnya dari 30 anggota DPRD, cukup yang tahu dan paham politik 10 orang, itu sudah mewakili 20 orang. Lihat saja perwakilan kami di perwakilan yang diundang berkomentar di media massa, hanya segelintir. Dan orang-orangnya itu-itu saja.

Berbeda jika mereka itu dikader sejak kecil. Dipersiapkan untuk menggantikan sang disetujui. Ya, kembali ke model kerajaan Majapahit hingga Ottoman. Penyebab salah satu hancurnya Ottoman banyak kalangan membahas karena ketertinggalan kemampuan intelektual pewaris tahta kerajaan.

Di Barat, kompilasi itu sudah digabungkan dengan teknologi dan pengetahuan seperti tulis Eugenne Roggan dalam buku Kejatuhan Khalifah. Di Makassar pada Pilkada sebelumnya terjadi calon walikota melawan kotak kosong.

Dan ternyata yang menang kotak kosong. Ini salah satu yang disetujui warga karena menghalangi partai untuk menjegal calon yang dianggap tidak bersahabat dengan parpol.

Pilkada Makassar akhirnya berhasil di pemilu 2020. Setelah sekian lama harus dipimpin oleh pejabat walikota. Lagi-lagi rakyat rugi. Karena kebijakan strategis untuk daerah agak terhambat dalam pelaksanaan pembangunan daerah.

Di Kepri, rasa-rasanya tidak mungkin, Kabupaten Bintan menuju kotak kosong atau calon boneka seperti era Ansar Ahmad melawan Syaiful. Saat itu Syaiful sebagai pejabat eselon II. Dan benar-benar saja, tanpa berkeringat, Ansar dengan mudah melanjutkan ke periode masing-masing.

Secara khusus politik saat ini, Demokrat memerintah 8 kursi, Golkar 6 kursi, dan Nasdem 4 kursi. Jika tiga partai ini berkoalisi calon pengusir calon, maka total kursi sudah 18. Tersisa hanya PKS 3 kursi, PAN 1 kursi, PDIP 2 kursi. Dan Hanura 1 kursi.

Andaikan PKS juga ikut merapat ke dalam rencana yang disebut koalisi besar tiga partai tadi, maka sudah cukup untuk melawan kotak kosong di Pilkada Bintan 2020.

Hanura, PAN, dan PDIP, tak bisa mengusir calon karena baru memiliki kursi empati. Syarat minimal mengusung lima kursi di DPRD Bintan atau 20 persen.

Tapi jika ingin NasDem membuat koalisi baru, maka tentu saja akan ada pertandingan yang serius. Karena Nasdem hanya butuh satu kursi guna mengantarkan calonnya ke KPU Bintan.

Jika NasDem tidak membentuk koalisi baru, maka harapan pada Golkar. Itupun jika calon yang dijagokan partai ini tidak mau diterima Demokrat. Tapi informasinya, kedua partai ini sudah sepakat untuk berkoalisi.

Ya, masih ada waktu dinamika politik di Bintan berkembang transisi detik detik pendaftaran calon ke KPU. Tapi, harus disadari, beberapa politik dinasti di era demokrasi tidak menghasilkan pemimpin yang cakap untuk mensejahterakan rakyatnya. Kebijakan politik hanya perbaikan kepemimpinan sebelumnya.

Pemimpin transformatif semisal Banyuwangi bertransformasi dengan baik. Surabaya di tangan Risma menjelma jadi kota metropolitan yang jadi percontohan. Dua pemimpin daerah ini terpilih bukan dari proses dinasti politik.

Dapat jadi pemimpin di era demokrasi dengan kompetisi yang ketat. Atas kepercayaan publik. Dan Kutai Kertanegara, Banten, pemimpin daerah yang menerima dari dinasti politik. Pemimpinnya pun berhasil di KPK. (*)

Mahasiswa PhD University Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM)

Tidak ada komentar: