Minggu, 15 Desember 2019

Ketika Politisi Maju Mundur Maju Mundur

Banyak figur publik mengambil formulir pendaftaran calon yang dibuat partai partai besar di Kepulauan Riau termasuk di kabupaten kota. Tapi figur figur itu masih maju mundur. Belum memiliki ketetapan hati maju ikut Pilkada walaupun ada aturan yang mensyaratkan anggota DPRD, ASN hingga TNI Polri harus menggundurkan diri ketika mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.

Nama nama yang beredar bisa jadi akan mundur dari pencalonan di partai yang mereka ambil formulir ketika UU Pilkada masih tetap seperti pilkada 2018. DPR RI bersama pemerintah belum mau melakukan revisi. Dengan alasan memang waktu sudah terlalu mepet seperti yang disampaikan anggota Komisi II Arief Wibowo di media massa.


Artinya peluang revisi UU Pilkada saat ini agak kecil. Namun tetap saja kemungkinan revisi masih bisa dilakukan karena masih ada persoalan yang perlu direvisi. Misalnya di draf PKPU yang dibahas dengan Komisi II Senin kemarin, aturan usia maksimal penyelenggaranpemilu seperti PPK PPS dan KPPS maksimal 60 tahun. Dan minimal 17 tahun. Usulan tersebut dibahas KPU dengan Komisi II DPR-RI karena banyak korban jiwa di pemilu 2019, disebabkan salah satunya usia sudah tua.

Calon PPK juga diminta mengurus surat kesehatan agar mereka yang melamar betul betul sehat. Jika parpol ingin mendesak mantan narapidana hingga ASN, anggota DPRD maupun DPR tak harus mundur, tergantung lobi lobi di DPR.

Untuk di Kepri saat ini, pasangan yang sudah jelas dan cukup mendaftarkan diri ke KPU baru Soerya dan Isdianto. Didukung dengan PDIP dan PKB, pasangan ini pun sudah memiliki slogan khusus dibuat menghadapai pilkada. Sementara, pasangan lainnya seperti disebut sebut Rudi dari Nasdem belum menampakkan gerakan serius di tengah masyarakat. Rudi masih bermain di Batam dan sedikit ke Tanjungpinang.

Sementara Ismeth Abdullah, mantan gubernur belum jelas akan menggunakan partai yang mana. Karena di Golkar juga banyak yang mendaftar. Walaupun didominasi kalangan politisi yang sekarang duduk di lembaga wakil rakyat. Banyak yang beranggapan, mereka mendaftar biar Golkar kelihatan ramai peminat. Padahal yang serius akan pilkada tidak lah terlalu banyak. Ansar Ahmad, anggota DPR RI dan juga Ketua DPD Golkar Kepri juga dinilai tak serius mengikuti pilkada. Ansar lebih mendorong anaknya untuk ikut Pilkada Bintan. Apakah mendampingi Apri Sujadi atau membuat poros baru seperti 2015 lalu.


Huzrin Hood salah satu calon yang serius mendaftar ke Golkar dan Gerindra hingga Nasdem. Namun, belum tentu tiga partai besar ini memilih Huzrin. Pilkada 2020, menggunakan sistem kampanye yang singkat. Hanya kurang dari dua bulan masa kampanye. Jika calon yang ingin serius ikut pilkada tak melakukan sosialisasi dari sekarang, tentu akan kesulitan menambah angka elektabilitas pasangan calon.

Apalagi Kepri dengan letak geografis banyak pulau pulau, tentu tidak bisa dijangkau calon. Kecuali mereka sudah bergerak jauh jauh hari menemui masyarakat. Nurdin Basirun sudah di jalur yang benar menemui pemilih, tapi dia sangkut menjelang garis finish.

Besarnya nilai pilkada dari sisi pendanaan pilkada menembus lebih dari Rp265 miliar di 2020, diharapkan bisa memberikan dan berkontribusi menghasilkan pemimpin terbaik dari yang muncul selama ini. Anggaran sebesar itu digunakan untuk KPU dan Bawaslu untuk melaksanakan pilkada di seluruh Kepri yakni satu provinsi dan enam kabupaten kota. Anggaran tersebut belum ditambah anggaran keamanan yang akan dipakai oleh polisi.

Besarnya anggaran Pilkada harusnya diikuti dengan besarnya harapan rakyat agar pemimpin Kepri yang terpilih dari pilkada 2020 memilik kemampuan yang baik untuk memberikan pelayanan maksimal kepada publik.

Klientelisme, money politics, salah satu ancaman nyata yang harus dihindari dan diperhatikan baik baik. Karena sudah banyak contoh di Indoensia, kepala daerah yang ditangkap KPK disebabkan besarnya biaya politik selama pilkada. Sehingga mereka yang terpilih harus mengganti dana yang keluar dengan membajak APBD di daerah tersebut.


Ijon proyek, makelar, hingga markup anggaran, hingga fee proyek dan meminta setoran dari kepala OPD nampaknya menjadi modus kepala daerah yang terpilih untuk mengembalikan modal yang sudah mereka keluarkan selama kampanye.

Alih-alih menjalankan visi dan misi saat pencalonan dan kampanye, calon terpilih, lebih mementingkan kelompok nya sendiri. Tak heran menurut catatan dari KPK lebih dari 100 kepala daerah ditangkap KPK. Dan akhirnya, publik masih bertanya tanya, siapa yang serius mau mengambil tanggung jawab meneraju negeri Kepri dan daerah tingkat dua lainnya. Jangan hanya menampilkan sandiwara seolah olah mau mencalonkan diri, padahal dengan diri sendiri belum mandiri. Rakyat menanti pemimpin berakhlak mulia dan mampu memimpin negeri ini. Karena pemimpin menjadi contoh untuk 1,2 juta pemilih di Kepri.

Karena kita tidak punya dua gubernur, kita hanya melihat satu gubernur yang harus perpeksionis dari penampilan, kecakapan, kemampuan, moral dan tentunya kemampuan yang nyata untuk membawa rakyat Kepri sejahtera.

Tentu sangat memalukan jika saat ini Kepri yang diharapkan sebagai negeri penyedia lapangan kerja ternyata menduduki peringkat keempat pengangguran tertinggi di Indonesia berdasarkan hasil survei BPS. Tentu itu menjadi angka yang memalukan. Masih banyak di daerah ini warga yang belum bekerja. Dan itulah tugas pemimpin memberikan pekerjaan, menurunkan kemiskinan, menambah tinggi Indeks Pembangunan Manusia, dan tentunya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Tanpa program dana visi misi yang terukur, maka sulit rasanya menurunkan pengangguran di Kepri. Soal politik kebijakan anggaran, sudah saatnya pemilih di Kepri yang mulai banyak dari generasi milenial harus memanfaatkan pilkada tahun depan untuk menentukan nasib mereka. Tidak boleh membiarkan kontestasi lesap begitu saja.

Berthold Brecht pernah mengingatkan, ”Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak bicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, tergantung keputusan politik.”

Dengan demikian, tak ada alasan lain, generasi muda harus tampil di pentas dan mengawasi proses pilkada dengan baik agar lahir pemimpin ideal yang mampu membawa rakyat Kepri sejahtera. * (Mahasiswa S3 di UTHM Johor)

Tidak ada komentar: