Jumat, 31 Mei 2019

Berebut Kuasa



Pemilu di India dengan jumlah pemilih hampir 900 juta sudah berlangsung. Kemenangan diraih  Narendra Modi (68) kembali terpilih sebagai perdana menteri India setelah partai pengusungnya, Bharatiya Janata (BJP), meraih lebih banyak kursi parlemen dari kemenangan pertamanya pada 2014 lalu.

Partai penguasa di Australia juga menang dari partai oposisi. Kemenangan itu kembali mengantarkan Scot Morrison menduduki kursi empuk perdana menteri. Walaupun sebelum pemilihan banyak lembaga survei memprediksi Partai Buruh menang. Ternyata lembaga survei salah. Sepertinya harus belajar dengan lembaga survei Indonesia yang agak tepat memprediksi.


Partai koalisi pemerintah yang dipimpin Partai Liberal Australia menguasai 74 kursi dari 76 kursi yang dibutuhkan untuk bisa menjadi mayoritas di parlemen. Jumlah total kursi parlemen yang diperebutkan sebanyak 151 kursi. Menurut Komisi Pemilihan Australia.( Reuters).
Dari dua pemilu itu, tidak ada kerusuhan yang terjadi seperti di Indonesia. Di India dengan pemilih 900 juta jiwa, proses pemilu terbesar sejagat itu berlangsung damai. Program pemerintah Modi masih disenangi rakyat India sehingga partainya kembali menang. PM Modi merupakan penganut Hindu yang taat.

Tokoh Partai Buruh Bill Shorten yang diprediksi menang langsung mengundurkan diri dari pemimpin tertinggi partai oposisi. Itulah hakekat demokrasi di negara lain.Yang kalah menerima kekalahan.Yang menang berjanji berusaha mewujudkan perbaikan pemerintahan yang baik untuk ke depannya dengan mewujudkan janji politik.
Semua berlangsung gembira tanpa pertumpahan darah. Karena bagi partai yang kalah, masih ada pemilu lain waktu untuk merebut kemenangan. Bahkan Ini Eropa juga baru saja melangsungkan pemilu dengan damai. Bukankah banyak yang sepakat, kekalahan adalah kemenangan yang Tertunda. Presiden AS Abraham Lincoln sebelum jadi presiden beberapa kali kalah pemilu.

Ya, begitulah negara lain menghargai hasil pemilu di negara demokrasi. Walaupun yang terpilih tidak sesuai harapan sebagian warga yang kalah, tapi yang menang adalah pemimpin harapan dari mayoritas pemilih yang sudah memberikan pilihan.
Buku menarik yang ditulis Daniel Ziblatt, adalah mahaguru sistem pemerintahan di Universitas Harvard di Amerika, dengan judul“How Democracies Die” atau Mengapa Demokrasi Mati?

Ziblatt menyebut ciri-ciri  matinya demokrasi ketika pemimpin melancarkan serangan atas media, dan mengancam tidak akan menerima hasil pemilihan umum. Juga menuduh saingan politiknya sebagai penjahat dan mengancam akan menjebloskannya ke penjara, kalau ia menang, dan ia juga membiarkan terjadinya aksi-aksi kekerasan.(VoA)
Ziblatt mengisahkan kejadian di Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump, hasil pemilu 2016. Berkali kali Trump menyerang media massa dan membuat kebijakan di luar pakem presiden AS sebelumnya. Rakyat Paman Sam akan diuji pada pemilu 2020, apakah Trump akan menang kembali atau kalah?

Hancurnya demokrasi ketika hasil pemilihan umum yang Demokratis harus dikudeta. Seperti terjadi di pelbagai belahan dunia lain di era 90 an. Hasil pemilu yang kurang diakui di tahun 2018 maupun 2019 adalah pemilu di Venezuela. Presiden terpilih tidak diakui oleh kelompok oposisi dan banyak negara di dunia karena dianggap melakukan kecurangan pada saat pemilihan. Akibatnya Venezuela sampai saat ini mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan yang membuat negara itu jadi miskin. Jutaan rakyat mengungsi keluar dari negara itu.Inflasi 10 juta persen.

Penolakan hasil pemilu juga pernah terjadi pada tahun 2016, di Gambia, Afrika Barat. Calon presiden petahana Gambia, Yahya Jammeh menolak hasil pemilu yang dia anggap abnormal. Tetap saja dunia internasional mengakui presiden yang menang lewat pemilu.

Kasus yang sama di Zimbabwe, Afrika Selatan tahun 2018. Pemimpin Gerakan untuk Perubahan Demokratik (MDC) yang merupakan partai oposisi Zimbabwe, Nelson Chamisa menolak hasil pemilu presiden yang memenangkan calon petahana Emmerson Mnangagwa. Seperti dilansir Rueters, pemimpin MDC menyebut bahwa hasil pemilu dipalsukan untuk menipu rakyat. MDC pun melakukan gugatan kecurangan pemilu ke Pengadilan Tinggi. Dan Pengadilan menolak gugatan dari Nelson.

Yang terdekat dengan Indonesia adalah pemilu di Kamboja. Tahun 2013 oposisi Kamboja juga menolak hasil pemilu. Pihak oposisi dari Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP), Kem Sokha menilai ada pelanggaran serius pada pemilu tersebut. Setidaknya, hasil pemilu menunjukkan partai berkuasa pimpinan Perdana Menteri Hun Sen menang 68 kursi, sedangkan oposisi 55 kursi. Tapi akhirnya kasus ini, Kem ditangkap dan partainya dibubarkan dengan tuduhan akan melakukan revolusi.(detik.com).

Harus Bersatu

Indonesia hampir saja terkoyak- koyak. 8 orang dilaporkan meninggal dunia akibat rusuh 21-22 Mei karena menolak hasil pemilu. Tiba- tiba rakyat Indonesia marah dan diajak untuk turun ke jalan menolak hasil pemilu. Untungnya pihak keamanan baik TNI dan Polri serius menjaga keamanan negara ini.

Padahal, pihak yang mengajak rakyat menolak hasil pemilu tahu bahwa jika terjadi praktik curang dalam pemilu, maka keputusan KPU itu digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Inilah lembaga resmi yang diatur oleh konstitusi Indonesia untuk menyelesaikan hasil pemilu. Percayakan kepada hakim hakim MK yang sudah teruji menangani masalah hukum. Produk hasil reformasi itu berdirinya MK sebagai bagian kekuasaan yang bertugas menjadi pengadil hasil pemilu. Semua partai dan tokoh nasional sepakat tugas MK.

Tim presiden yang kalah, siapkan data data yang valid dengan menunjukan di mana kecurangan terjadi. Tampilkan di depan MK.Tentunya disaksikan oleh pihak tergugat dan rakyat Indonesia yang menonton siaran langsung sidang.

Apapun hasil keputusan MK nantinya, jangan ada lagi narasi bahwa pemilu curang. Bayangkan saja, gugatan pemilu tahun ini jauh di bawah gugatan pemilu 2014 yang menembus 900 gugatan. Jumlah gugatan hasil pemilu yang digugat partai peserta pemilu hanya 334. Artinya, partai partai tak banyak mempermasalahkan hasil pemilu yang melibatkan ribuan caleg yang berkompetisi. Lantas apakah jumlah 334 gugatan bisa dikatakan pemilu curang? Nanti kita lihat apa keputusan MK terkait gugatan partai partai tersebut. Rata rata gugatan soal perolehan suara partai maupun suara caleg yang tidak sesuai harapan partai.

Dengan keputusan MK yang bersifat final dan mengikat, semua pihak harus menghormati keputusan sembilan negarawan di miliki negeri ini. Karena tidak ada lagi banding setelah keputusan MK. Walaupun demo berhari hari menolak, MK tidak akan mengubah hasil.
Ajakan sejumlah tokoh nasional untuk mendamaikan negeri ini patut diapresiasi. Karena dengan ajakan damai dari tokoh- tokoh NU dan Muhammadiyah, cendekiawan serta pihak yang berkompetisi dianggap mampu meredakan tensi kemarahan masing masing pendukung. Hanya itu yang dapat meredakannya.

Sudahlah. Amerika dan China sedang perang dagang, kita jangan sampai perang saudara sesama anak bangsa. China dan Amerika sedang menunjuk kan kepada dunia, siapa penguasa teknologi 5G yang maha sempurna. Dan kita jangan pula menunjukan kepada dunia, bahwa kita belum matang berdemokrasi. Tunjukkan ke dunia, bahwa Indonesia negara demokratis terbesar di dunia setelah India, Amerika dan kita bisa menyelenggarakan pemilu yang paling rumit di dunia. Belum pernah ada yang membuatnya. Dan berhasil.
Terlalu banyak korban yang sudah terjadi baik materi dan nyawa manusia akibat akhir dari  pemilu. Mari kita jaga Indonesia dengan segenap jiwa dan raga. Karena keamanan negara salah satu anugrah Tuhan kepada rakyat Indonesia. Jangan ada lagi korban anak anak bangsa. Kita renungkan ayat Qur'an ini.

"Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya." (QS Al-Maaidah: 32).***

Tidak ada komentar: