Kamis, 23 Mei 2019

Berpolitik dengan Bahagia



Hasil kajian The Spectator Index menyimpulkan Indonesia tak masuk 20 besar negara yang paling bahagia. Kita kalah dibandingkan dengan Costa Rica dari Benua Afrika. Selebihnya memang negara yang penduduknya bahagia dari negara negara kategori maju.

Tidak masuknya Indonesia ke semoga saja bukan karena kita sedang masuk dalam tahun politik. Atau memang laman media sosial kita dipenuhi dengan caci maki sumpah serapah karena perbedaan pilihan siapa yang mau dipilih pada pilpres tahun depan.


Aristoteles pun sudah mengingatkan jauh ribuan tahun lalu tentang politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Tentu kebaikan akan menghasilkan bersama.
Apalagi dalam musim pemilu legislatif, ribuan caleg akan membagikan kebaikan dan kebahagian kepada pemilih mereka apakah lewat benda maupun janji politik jika terpilih. Tentu hal itu disebutkan dalam rasa yang sadar ketika mengucapkan.

Kita tidak akan memungkiri, akan banyak caleg yang memberi. Semoga pemberian tersebut tanpa mengharap balasan. Bukankah, sudah dijanjikan siapa yang banyak sedekah, akan banyak  pula mendapatkan balasan atas kebaikan yang ditaburkan. Asalkan pemberian tersebut diberikan dengan rasa ikhlas.Tak mengharap apapun dari yang diberi.
Inilah ujian berat bagi mereka yang memberi di tahun politik. Semoga rumus politik ini salah. Memberi ya memberi. Bukan memberi untuk mengharapkan suara di 2019. Kata Confusius, kita harus meluruskan hati kita dulu sebelum mengurus yang lain.

Jadi ketika memberi yang seharusnya memiliki rasa kebahagiaan tertinggi, akan berubah menjadi kekecewaan jika hati belum tertata dengan baik. Sehingga tidak mungkin ketika di dalamnya belum baik bisa memperbaiki orang lain.

Atau memang benar kata buku "Kalau Mau Bahagia Jangan Jadi Politisi" karya Arvan Pradiyansah. Dijelaskan di sana, bahwasanya politik itu akan berada dalam posisi senang lihat lawan politik susah, dan susah lihat lawan politik senang.
Sejak pendaftaran capres 10 Agustus lalu, warga netizen terbelah menjadi dua kubu. Dan ini memunculkan rasa yang tidak bahagia. Hingga salah satu partai ingin melaporkan salah satu elit parpol karena menulis di Twitter, dengan status kekecewaan karena kader partai itu tak dijadikan calon wakil presiden.

Bayangkan satu koalisi tapi masih ada rasa ingin melaporkan ke polisi termasuk sesuatu yang unik.
Inilah saat di mana ketika kita membuka media sosial, baik Facebook dan Twitter, group WA, maka akan muncul postingan yang tidak nyaman dibaca.Yang satu akan menyebarkan kebaikan idolanya. Sedangkan kubu yang lain  menyebarkan keburukan lawan politiknya yang tidak satu pilihan.

Tahun politik yang memicu adrenalin untuk terpancing atau sabar menghadapi godaan membalas postingan. Jika kita salah melangkah, maka bisa saja jadi bencana. Inilah masanya kita harus memperbanyak literasi politik dengan mempercayai bacaan dari sumber yang bisa dipercaya. Karena kalau hanya membaca dari sumber yang tidak jelas, maka isu isu hoaks dan berita falsu mudah untuk diserap dan kita akan tergoda kembali menyebarkannya. Jadilah dosa berjamaah karena menyebarkan kebencian atau isu sampah kepada yang lain.

Kita lihat catatan tokoh peraih Nobel Albert Einstein,
"Hidup yang tenang dan sederhana membawa lebih banyak kegembiraan daripada mengejar kesuksesan yang terikat dengan kegelisahan terus menerus," demikian Einstein mengingatkan.
Wacana saling menjatuhkan kemungkinan akan berakhir setelah pilpres berakhir. Artinya selama tujuh bulan ke depan baik di media cetak, media elektronik dan medsos, publik akan ditampakkan kebisingan ucapan dari pelbagai kalangan dari semua lapisan masyarakat.

Janji janji politik juga akan bertebaran di mana mana guna mendapatkan simpati pemilih. Karena tanpa janji, politisi sulit rasanya untuk menemui pemilih.
Padahal, janji politik harus diwujudkan agar tidak ada rasa benci dari pemilih kepada wakil rakyat atau presiden yang sudah mereka pilih. Ketika calon tersebut mewujudkan janjinya, maka itulah kebahagiaan yang diperoleh rakyat. Namun jika janji politik tidak dipenuhi, maka siap siaplah untuk menanti pembalasan dari pemilik kedaulatan atas negara ini.

Betul kata Abraham Lincoln," Sekali kau menghianati kepercayaan saudara saudara sebangsa mu, kau tak akan pernah lagi bisa mendapatkan rasa hormat dan rasa percaya mereka.
Mungkin kau bisa mendustakan semua orang sekali waktu, bahkan mungkin kau bisa mendustai beberapa orang setiap waktu, tapi kau tak bisa mendustai semua orang setiap waktu.

Dan politisi siapapun harus percaya itu. Berpolitik lah dengan santun dan penuh kebahagiaan. Berkampanyelah dengan senyuman. Kalaupun tidak terpilih, maka Anda sudah menunjukkan serius ingin berbakti kepada Ibu Pertiwi.***





Tidak ada komentar: