Senin, 06 Januari 2014

Demokrasi dan Korupsi

Awal  tahun 2013 publik sudah dikejutkan dengan dibongkarnya korupsi pejabat mulai dari sekelas menteri, gubernur, bupati hingga anggota DPR. Penyebab korupsi tak lain karena besarnya biaya untuk mendapatkan sebuah jabatan politik tersebut. Hal inilah yang membuat sendi-sendi kehidupan bangsa berantakan. Bahkan yang paling menyesakkan dada, pengadaan kita suci Al-Quran pun dikorupsi.

Dari dari Kementerian Dalam Negeri mencatat sedikitnya 173 kepala daerah, yang dipilih secara langsung dalam pilkada, tersangkut kasus korupsi. Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan selama tahun 2011 pelaku korupsi banyak yang berlatar belakang  banyak berasal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tersangka berlatar belakang pegawai negeri menempati urutan teratas dengan jumlah 239 orang diikuti oleh direktur atau pimpinan perusahaan swasta dengan 190 orang, serta anggota DPR/DPRD dengan jumlah 99 orang. Dan anggota DPR/DPRD 99.
Fenomena itu menjadi bulan-bulanan media massa mulai dari radio, cetak dan tivi. Sehingga mulai dari bangun tidur hingga hendak tidur pada malam hari pun media televisi yang kita lihat masih menayangkan liputan korupsi pejabat. Tak heran jika Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang disurvei Transparansi Internasional Indonesia (TII) menampilkan hasil yang tidak memuaskan. Misalnya tahun 2003 mencakup 133 negara. Hasilnya menunjukan tujuh dari setiap sepuluh negara (dan sembilan dari setiap sepuluh negara berkembang) memiliki indeks 5 poin dari 10. Pada 2006 survei mencakup 163 negara. Indonesia berada pada peringkat 130 dari 163 negara tersebut dengan nilai indeks 2,4.

Pada tahun 2010 survei mencakup 178 negara. Indonesia berada pada peringkat 110 dengan nilai indeks 2,8, dan pada 2011 naik menjadi peringkat 100 dari 182 negara dengan nilai index 3,0. Untuk tahun 2012 peringkat Indonesia merosot menjadi ke urutan 118 dari 176 negara yang diukur. Rentang indeks 0-100 dengan 0 dipersepsikan paling korup dan 100 amat bersih, skor Indonesia adalah 32 (Vivanews  6/12/12).
Peringkat Indonesia sejajar dengan Republik Dominika, Ekuador, Mesir, dan Madagaskar. Sedangkan di kawasan ASEAN, Indonesia di bawah Singapura dengan skor IPK 87 (peringkat 5), Brunei Darussalam dengan skor 55 (peringkat 46), Malaysia dengan skor 49 (peringkat 54), dan Thailand dengan skor 37 (peringkat 88).  Indonesia juga masih berada di bawah Filipina dengan skor 34 (peringkat 108). Indonesia hanya mampu berada di atas Vietnam dengan skor 31 (peringat 123) dan Myanmar dengan skor 15 (peringkat 172).

Politik Uang
Besarnya biaya politik untuk mendapatkan jabatan memaksa orang yang terpilih harus mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan. Bisa kita bayangkan, untuk mendapatkan kursi kepala daerah misalnya gubernur, setiap calon menggelontorkan dana dana kampanye antara Rp 175-350 miliar untuk setiap pasangan. (Vivanews 12/2012).

Bandingkan dengan gaji seorang gubernur yang hanya Rp 8 juta per bulan. Jika ditambah pendapatan insentif upah pungut pajak, maka pendapatan gubernur tertinggi di Indonesia sekitar Rp 627 juta per bulan. Demikian riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).

Artinya, pendapatan gurbernur lainnya tidak sampai Rp 627 juta. Apalagi bupati atau wali kota. Padahal biaya untuk mendapatkan kursi panas pemimpin daerah itu dikeluarkan lebih dari Rp 100 miliar.  Hal inilah pertanyaan masyarakat awam, mengapa calon pemimpin itu berlomba-lomba menghabiskan uang untuk mendapatkan jabatan wali kota ataupun bupati. Jawabannya yang logis adalah, karena dengan menjadi kepala daerah, pendapatan pasti bertambah. Bukan hanya dari gaji pokok plus tunjangan, namun ada pendapatan yang tidak jelas yang nilainya melebihi pendapatan yang jelas.
Contoh nyata yang baru terungkap  bagaimana mantan Bupati Buol, Amran Abdullah Batalipu divonis tujuh tahun enam bulan penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta. Sang bupati terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima beberapa kali pemberian terkait jabatannya dari Hartati Murdaya melalui menyangkut izin hak guna usaha perkebunan sawit.

Ia meminta bantuan dana senilai Rp 3 miliar kepada kepada anak buah pengusaha papan atas Indonesia, Hartati, untuk meloloskan izin usaha perkebunan PT CCM seluas 4.500 hektare. Belajar dari kasus tersebut, merupakan fenomena gunung es yang baru tampak di permukaan. Namun di bawahnya, sangat luas dan banyak. Hal yang sama juga kita lihat kasus anggota DPRD Riau dan Gubernur Riau yang dijadikan tersangka dalam kasus suap kepada DPRD Riau untuk menambah anggaran PON Riau. Bagaimana permainan-permainan anggaran tanpa merasa bersalah dipraktikan politisi dan pejabat daerah maupun pusat untuk mencapai tujuan memakmurkan kepentingan pribadi, kelompok dan partai.
Usaha
Banyak pakar pemerintahan dan politisi sepakat penyebab banyaknya kasus korupsi di negeri ini karena besarnya biaya politik untuk mendapatkan kursi atau jabatan. Hal itulah menyebabkan MPR kini tengah mencari formula yang tepat agar pilkada langsung terhindar dari beragam ekses negatif, khususnya politik uang. Wacana yang sedang digaungkan sementara untuk menekan masalah politik uang dalam pilkada ini di antarannya memperketat aturan kampanye.

Contohnya, dilarang kampanye terbuka dilakukan calon kepala daerah. Hanya dibolehkan kampanye dialogis saja untuk menghemat anggaran. Bahkan ada juga yang mengusulkan biaya kampanye didanai dari APBN sehingga kontrol anggaran bisa diketahui untuk apa saja dan besarnya alokasi anggaran.
Selama ini yang terjadi di pilkada maupun pilpres, tidak ada calon yang jujur mengakui besarnya dana kampanye yang dikeluarkan. Hal itu juga terjadi di pemilu legislatif. Anggaran minimum untuk menjadi caleg di pemilu legislatif Rp 150-200 juta. Dengan anggaran sebesar itu pun belum tentu terpilih. Bahkan ada caleg yang menghabiskan anggaran hingga Rp 1 miliar juta untuk membeli perlengkapan caleg sebagai media sosialisasi. Biaya sebesar itu harus mereka kembalikan dalam waktu 5 tahun.

Pengamat Politik Gun Gun Heryanto mengatakan, budaya transaksional sangat berpeluang besar bagi anggota dewan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Pasalnya, para anggota DPR harus mengembalikan uang yang sudah digunakan untuk modal agar bisa duduk di gedung DPR
Hal inilah  merupakan celah yang sangat besar membuat anggota dewan korup. Saat mereka menjadi calon legislatif, biasanya mereka mengeluarkan budget yang sangat besar untuk membeli suara dari pemilih. Sehingga apa yang diinvestasikan harus dikembalikan dan mereka mencarinya saat menjadi anggota dewan dengan bermain banyak proyek yang terindikasi korupsi. (Okezone 10/6/2012). Kemudian, hal kedua yang membuat anggota DPR korupsi adalah kekuatan DPR yang sangat dominan di samping tugas pokok DPR sebagai lembaga legislasi, pengawasan dan anggaran.

Jadi, menjelang pemilu legislatif  2014, masyarakat memang harus memilih calon perwakilan rakyat yang benar-benar memiliki integritas yang baik sudah teruji, memiliki akhlak yang mulia dan memiliki ilmu pengetahuan. Sehingga ketika  mereka berada di dalam gedung wakil rakyat, aspirasi masyarakat yang sudah dititipkan bisa diperjuangkan. Karena wakil rakyat merupakan perpanjangan tangan rakyat untuk mendapatkan porsi pembangunan guna meraih cita-cita merasakan kemakmuran dan keadilan. Tentu kita tidak boleh lagi melakukan kesalahan yang sama dengan memilih wakil rakyat karena merasa berhutang budi. Namun pilihan kita terhadap mereka karena kemampuan manajerial dan kapasitas sebagai warga negara yang laik untuk dijadikan tameng perjuangan.

Demokrasi yang kita anut saat ini menjadi contoh negara lain karena sukses melaksanakan pemilu presiden dan legislatif.  Ya, Indonesia termasuk tiga negara di dunia yang terbaik demokrasinya setelah Amerika dan India. Hanya saja kita tidak menjadi contoh dalam hal tindakan korupsi.*** Terbit di Batam Pos April 2013

Tidak ada komentar: