Kamis, 24 November 2016

Serius atau Main-main dengan Pendidikan

Peringkat kualitas anak-anak Indonesia usia SMP dan SMA dalam Program for International Student Assessment (PISA) 2012 menempatkan Indonesia peringkat 64 dari 65 negara yang disurvei. Yaitu negara yang tergabung dalam Organization Economic Cooperation and Development (OECD). Kita tertinggal jauh dari Malaysia, Vietnam apalagi Singapura yang berada di peringkat 2 setelah Tiongkok di puncak di survey bidang ilmu pengetahuan, membaca dan matematika.

Dari data World Bank diketahui, lebih dari 50 juta siswa dan 2,6 juta guru di lebih dari 250.000 sekolah ada di Indonesia. Data ini menjadikan Kita sebagai negara terbesar ketiga di wilayah Asia dan bahkan terbesar keempat di dunia (berada di belakang China, India dan Amerika Serikat). 84 persen sekolah berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan sisa 16 persen berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Sekolah swasta pun memainkan peran penting. 

Berdasarkan data Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) (1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu: angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).

Masalah ini bukan persoalan main-main, tetapi menjadi persoalan serius bagaimana daya saing remaja Indonesia yang akan menjadi penerus pembangunan bangsa ke depan kalah saing dengan remaja-remaja negeri jiran. Tentu ini menjadi pertanda kurang baiknya kualitas Pendidikan Indonesia menyebabkan output manusianya tertinggal dari negara lain.
Tentu persoalan tersebut akan menjadi tantangan ke depan mengenai potensi remaja/pemuda kita untuk melanjutkan estafet pemerintahan maupun dunia usaha akan kalah bersaing dengan pemuda pemuda dari negara lain di dunia. Hal ini tentu akan mempengaruhi indeks IPM Indonesia.

Laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2015 yang dikeluarkan Badan PBB Urusan Program Pembangunan (UNDP) menyatakan Indonesia menempati peringkat ke 110 dari 187 negara, dengan nilai indeks 0,684. Jika dihitung dari sejak tahun 1980 hingga 2014, berarti IPM Indonesia mengalami kenaikan 44,3 persen.

Ada empat indikator yang digunakan untuk mengukur IPM Indonesia tahun 2014, yakni angka harapan hidup sebesar 68,9, harapan tahun bersekolah 13,0, rata-rata waktu sekolah yang sudah dijalani oleh orang berusia 25 tahun ke atas sebesar 7,6 dan pendapatan nasional bruto per kapita 9,788.(http://www.voaindonesia.com

Kita akan dihadapi masalah serius ketertinggalan sumber daya manusianya dibandingkan dengan negara lain. Padahal jika pengelolaan sumber daya manusianya dengan baik, bukan tak mungkin kita akan menjadi pemenang di semua level competition.
Harapan keunggulan bonus demografi diharapkan bisa jadi ancaman karena sumber daya manusia yang diharapkan lebih banyak dari usia tak produktif ternyata tak memiliki skill yang memadai, hanya mampu berkerja disektor non formal. Sehingga potensi keunggulan SDM di bidang formal tidak dapat dioptimalkan. 

Padahal jika usia tenaga kerja kita siap di semua lini baik sektor formal dan informal, maka prediksi Mc Kinsey, Indonesia menjadi 7 negara terkuat ekonominya 2030 bisa menjadi kenyataan. Namun tanpa didukung dengan kualitas SDM yang kalah saing dari SDM lain, maka kita seperti berada dalam ancaman yang luar biasa bahaya. Kita bisa menjadi negara terperangkap kelas menengah (a middle income trap), yaitu kondisi negara dengan ekonomi kelas menengah tidak lagi bisa bersaing dengan negara berpenghasilan rendah, yang buruk dalam hal sumber daya manusia, teknologi, dan infrastruktur sehingga sulit untuk mencapai status negara maju berpenghasilan tinggi.

Hal itu juga didukung indeks ketimpangan pendapatan saat ini cukup mengkhawatirkan. Kendati BPS merilis ada sedikit perbaikan sebesar 0,01 dari Maret 2015 (0,41) menjadi 0,40 (Desember 2015), ekonom UI Faisal Basri mengatakan kekayaan nasional sebesar 50% lebih hanya dikuasai oleh 1% penduduk kaya di negeri ini. Akibatnya, ketimpangan pendapatan (Gini Ratio) semakin melebar. (neraca.co.id 19/04/2016) 


Pendidikan Menentukan

Pokok persoalan lemahnya daya saing global SDM adalah bermula dengan sistem pendidikan. Apakah sistem Pendidikan negara kita sudah baik atau sedang menuju ke arah perbaikan? 
Mari Kita lihat data perbandingan 2015. Untuk mengelola sistem pembayaran tunjangan pegawai guru saja, Kemendikbud tidak bisa menyediakan data yang valid berapa banyak guru yang harus dibayarkan jumlah guru yang menerimanya.Sehingga akibatnya terjadi kesalahan perhitungan bantuan guru mencapai Rp23 triliun.

Bahkan hasil penelitian World Bank menemukan, tunjangan sertifikasi guru belum menunjukkan hubungan yang linier antara pendapatan guru dengan kualitas guru. 
Bahkan persoalan belum selesai di kualitas guru, dengan kebijakan pendidikan yang senantiasa berubah-ubah, terutama menyangkut system kurikulum yang masih menggunakan dua system yakni kurikulum KTSP dan Kurikulum 2013. 

Hal itu menambah kerumitan tersendiri bagi sekolah. Karena tak semua sekolah di Indonesia yang menggunakan kurikulum yang sama misalnya K13. Sehingga untuk menghasilkan standard kualitas SDM belum merata.

Dari segi infrastructure, kita masih banyak menemukan sekolah yang kualitas infrastructure masih menggenaskan. Pemerataan jumlah guru antara pedesaan dan perkotaan belum berjalan dengan baik. Ada wacana dari pemerintah akan mengambil alih guru guru di bawah kendali pemerintah pusat. Sehingga lebih mudah untuk penempatan guru ke daerah lain yang memerlukan guru yang berkualitas untuk pemerataan penempatan guru.
Belum lagi, jika kita lihat karakter anak didik kita yang terkadang banyak menampilkan rendahnya karakter. Pakar Pendidikan Amerika Thomas Lickona menyatakan, salah satu ciri negara akan mengalami kemunduran, jika remaja remaja negara tersebut mulai menampilkan akhlak yang tidak baik. Mulai banyak terlibat narkoba, seks bebas, maupun tauran.
Jika salah satu ciri tersebut mulai mudah untuk kita temui di lingkungan kita, baik melalui televisi maupun surat kabar bagaimana kenakalan remaja dalam tahap yang mencemaskan.

Dengan data tersebut, kita harus segera menanamkan pendidikan karakter baik untuk anak didik di nusantara. Tidak ada cara lain kecuali dengan menanamkan karakter unggul di sekolah melalui peran guru, orang tua di rumah, lingkungan sekolah dan masyarakat. Tanpa upaya pembentukan karakter yang baik, maka anak didik kita akan menjadi orang pintar yang tidak memiliki karakter. Hal ini akan berbahaya bagi penerus generasi bangsa. Pemerintah baik pusat maupun di daerah sebagai pelaksana sudah saatnya serius membenahi dunia pendidikan di Indonesia. Jangan main-main masalah pendidikan karena berdampak kepada kemunduran atau kemajuan suatu peradaban bangsa.

Kita harus kembali kepada ajaran pendidikan yang pernah diterapkan Ki Hajar Dewantara yang mengutamakan pendidikan karakter dalam mendidik siswa. ***

terbit di Tanjungpinang Pos 24/11/2016

Tidak ada komentar: