Kamis, 24 November 2016

Dari Keluarga untuk Indonesia

Jika kita lihat di berita televisi dan media cetak tentang tindak kriminal yang dilakukan anak-anak SD,SMP hingga SMA sudah di luar kewajaran. Kejadian seperti itu menyebabkan timbul pertanyaan, apakah bisa bangsa sebesar Indonesia ini nantinya dilanjutkan oleh generasi seperti itu?

Kejadian siswa SMP memperkosa rekannya, mencuri, terlibat narkoba, menjadi mucikari, membunuh, tawuran, mencuri, pergaulan bebas, mencontek, merupakan contoh nyata yang bisa kita lihat di koran maupun di televisi terjadi di banyak daerah. Tidak terkecuali di Kepulauan Riau. Dengan menyebarnya kejadian yang menampilkan buruknya akhlak generasi mendatang tentu menyebabkan kekhawatiran bagi guru, orang tua, pengamat pendidikan dan tak terkecuali Presiden Republik Indonesia dengan generasi muda ke depan.

Andaikan mereka yang berbuat kejahatan tersebut memiliki pikiran dan karakter baik dan mendapatkan contoh baik di dalam lingkungan rumah mereka, sekolah, dan tempat bermain, rasanya sangat tidak mungkin anak-anak itu nekat melakukan kejahatan.


Contoh dan bimbingan moral yang minim merupakan bagian aspek yang tidak dapat mereka tiru. Anak-anak itu kekeringan model perilaku yang baik. Madrasah pertama dalam hidupnya tidak ditemukan. Besar kemungkinan di dalam rumahnya sudah diajarkan kekerasan dalam mendidik. Ditambah dengan lingkungan permainan yang tak mencerminkan kebaikan.

Kerusakan moral dan akhlak terjadi di pelbagai negara sebenarnya sudah dirasakan oleh negara maju sehingga mereka memberlakukan pendidikan karakter yang kuat untuk siswa di sana. Karena dengan cara tersebut harapan anak anak bangsa bisa mampu bersaing dengan anak anak lainya dari negara lain. Amerika sejak tahun 1990 an melalui tokoh pendidikan Thomas Lickona yang menulis buku Educating for Character mendapat apresiasi dari banyak kalangan karena dianggap salah satu cara mengatasi kenakalan remaja. 

Di Tiongkok, kerisauan terhadap aspek karakter anak didik siswa menjadi penting. Sehingga pejabat tinggi pemerintahan mengatakan hal tersebut sebagai sesuatu yang ekstra untuk diperbaiki. Alias pendidikan karakter merupakan reformasi sistem pendidikan China secara menyeluruh. Hal yang sama juga terjadi di Kanada. Di mana negara itu serius memperhatikan remaja di sana agar memiliki karakter baik yang kuat.

Di Indonesia, pendidikan karakter mulai dimunculkan kembali ketika zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal tokoh pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara puluhan tahun lalu sudah mengingatkan pentingnya pendidikan karakter bagi anak didik. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan upaya menumbuhkan budi pekerti (karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Ketiganya tidak boleh dipisahkan agar anak tumbuh dengan sempurna.

Dan di dalam sistem pendidikan kita ketika masalah tersebut dianggap terakomodir di dalam mata pelajaran PKN dan Agama. Sehingga jika anak-anak bisa lulus di semua pelajaran, namun gagal di dua pelajaran, maka anak tersebut tak akan naik kelas. Sebenarnya sistem pendidikan kita sudah memberikan jalan untuk menuju siswa siswa di sekolah baik dari SD, SMP dan SMA dibekali dengan karakter. Hanya saja, hal tersebut belum maksimal. Sehingga pemerintah kembali memberikan penekanan kepada pendidikan karakter untuk di semua lini. Bukan saja tertuju kepada dua pelajaran agama dan PKn. 

Namun di sebalik itu, yang paling penting adalah peran orang tua di lingkungan paling dekat bagi si anak. Apa gunanya di sekolah siswa diajarkan tentang moral dan etika, namun setibanya di rumah, orang tua mengajarkan hal yang bertentangan dengan etika yang didapatkan anak ketika di sekolah. Semuanya akan sia-sia jika di lingkungan terdekat anak, tidak menerapkan pendidikan yang terbaik bagi si anak.

Yang ideal, sekolah dan keluarga atau orang tua di rumah sama sama memperaktikan pendidikan karakter. Sekolah tempat ia diajarkan mengenai nilai nilai untuk memperkuat karakter seperti jujur, mandiri, demokrasi, pantang menyerah, semangat, rasa hormat, tanggungjawab, peduli kesejahteraan orang lain, tolong menolong, dan taat kepada Tuhan. Nilai karakter yang diperoleh di sekolah tidak akan berarti jika ketika pulang ke rumah, orang tua tidak mengingatkan kepada si anak nilai penting tersebut. Sehingga, diperlukan kerjasama yang solid antara sekolah sebagai pilar pendidikan di luar rumah dengan orang tua di rumah sebagai tempat pendidikan pertama kali bagi anak anak.


Menanamkan Karakter Baik di Keluarga

Salah satu contoh menanamkan nilai pendidikan karakter kepada si anak misalnya dengan mengajarkan setiap pagi anak sebelum berangkat ke sekolah dengan mencium tangan orang tua dan mengucapkan salam. Budaya ini jika dilakukan setiap saat akan menjadi prilaku positif bagi si anak sebagai tanda sopan santun kepada orang tua. 

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila pada usia sepuluh tahun tidak mengerjakan shalat, serta pisahkanlah mereka di tempat tidurnya.”(Diriwayatkan oleh Abu Dawud). Inilah perintah Nabi Muhammad SAW menyuruh orang tua agar anak yang berusia 7 tahun disuruh salat. Jika usia 10 tahun tidak salat, maka dipikul. Islam mengajarkan untuk membiasakan perbuatan baik sejak dari kecil. Sudahkah setiap orang tua muslim melakukan perintah Nabi tersebut? 

Menurut Lickona, pendidikan karakter harus mempromosikan nilai nilai etik inti sebagai landasan bagi pembentukan karakter yang baik. Harus ada komunikasi timbal balik antara sekolah dengan orang tua di rumah baik melalui email, ataupun buku penghubung dalam rangka untuk mengetahui perkembangan anak setelah sampai di rumah. 

Contoh nyata yang banyak dialami anak anak SD,SMP dan SMA ketika mereka di sekolah diajarkan bagaimana menghargai diri sendiri dan menghormati orang lain, namun setelah mereka sampai di rumah, nilai nilai karakter baik tersebut harus hancur lebur. Karena orang tua yang kebetulan perokok memberikan contoh bagaimana menikmati rokok di dalam rumah tanpa menghargai orang yang tidak merokok yang kebetulan anaknya dan istrinya sendiri.

Pengalaman adalah guru yang paling baik. Hembusan asap rokok orang tua baik di depan meja makan, ruang tamu menyebabkan anak ingin merasakan bagaimana nikmatnya merokok seperti dicontohkan ayahnya di rumah. Bahkan tidak jarang, anak yang masih kecil pun diminta sang ayah membelikan rokok di warung. Inilah salah satu kasus gagalnya pendidikan di dalam keluarga. Pendidikan tersebut tidak sejalan dengan upaya pendidikan karakter di sekolah yang sedang digalakan pemerintah.

Memang morokok bukan satu-satunya faktor buruk bagi siswa. Namun kita tentu sepakat bahwa merokok merupakan merusak kesehatan. Banyak kasus pendidikan yang baik diajarkan di sekolah, namun dihancurkan oleh orang tua yang notabene seharusnya menjadi contoh tauladan yang baik bagi si anak. Bahkan Nabi Muhammad lebih dari 1400 tahun lalu sudah mengingatkan pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya.

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya? (Anaknya lahir dalam keadaan telinganya tidak cacat, namun pemiliknya lah yang kemudian memotong telinganya, orang tualah yang menjadikan anak itu menjadi majusi, nasrani, dan yahudi." 

Bagaimana kita mengajarkan anak-anak kita untuk takut dan taad kepada Allah yang menciptakan manusia dan seisinya seperti yang tertulis di teks teks buku yang diajarkan di sekolah. Namun ketika si anak pulang ke rumah, di saat azan berkumandang, orang tua lebih sibuk menonton berita atau membersihkan rumah. Seharusnya ayah yang baik ketika azan berkumandang, mengajak anak anaknya ke masjid maupun ke musala. Karena pendidikan akan berhasil jika dipahami secara konfrehensip termasuk dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Jika prilaku orang yang seharusnya menjadi tauladan tidak memberikan contoh yang baik untuk ditiru, anak yang polos tersebut susah untuk melaksanakan dan membekas pelajaran karakter yang diajarkan di sekolah.

Sarwono (1998), mengatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan primer pada setiap individu. Sebelum anak mengenal
lingkungan yang luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. karena itu sebelum anak-anak mengenal norma-norma dan nilai-nilai masyarakat, pertama kali anak akan menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya. Orang tua berperan penting dalam emosi remaja, baik yang memberi efek
positif maupun negatif. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua masih merupakan lingkungan yang sangat penting bagi remaja.

Untuk mengatasi kenakalan remaja yang dalam tahap mengkhawatirkan saat ini maka diperlukan langkah peranan keluarga seperti yang di Helpguide.org, yakni: 

1. Menerapkan aturan dan konsekuensi pada saat Anda dan anak. 
2.mengungkap ada apa di balik kenakalan remaja. 
Para orangtua cenderung akanmenghakimi anak remaja atas apa yang dilakukannya tanpa mengetahui ada masalah apa di baliknya. Bersikap seperti itu tidaklah adil bagi anak. Jadi, sebelum menghakimi anak yang berbuat nakal, tanya
baik-baik apa yang sebenarnya terjadi.

3. Temukan cara redakan marah Karena perubahan hormon, remaja akan
cenderung cepat marah. Karena itu, salah satu tugas orangtua adalah mengetahui bagaimana cara untuk meredakan marah pada anak tersebut. Banyak hal yang dapat dilakukan, misalnya membiasakan mereka dengan mendengarkan musik, menulis atau
bermain game. 

4. Ada bersama anak. Terkadang, orangtua sibuk sendiri. Mereka hanya memberikan uang pada anaknya tapi tidak memberikannya kasih sayang. Hal ini sangat memicu kenakalan remaja. Karena itu, luangkan waktu Anda untuk anak, entah mendengarkan ceritanya atau memberikan solusi atas masalah yang dialaminya. Kebiasaan ini harus dibangun sejak dini.

5. Temukan kesamaan. Para orangtua juga harus mampu temukan kesamaan dengan anak remaja mereka. Dengan menemukan kesamaan, orangtua dan anak remaja dapat melakukan kegiatan bersama sehingga dapat menghindari anak melakukan kegiatan negatif. Misalnya, para ayah dapat mengajak anak lelakinya untuk melihat pertandingan sepak bola, sedangkan ibu dan anak perempuannya dapat pergi belanja ke pusat perbelanjaan.

6. Mendengarkan tanpa memvonis. 
Ketika kita sedang berbicara dengan anak, hindarilah ucapan-ucapan yang sifatnya menghakimi, mengejek, menyela danmengkritik. Sebab, seorang remaja sangat mudah tersinggung, bahkan oleh hal hal yang sifatnya remeh. Dengan melakukan ini, maka anak remaja Anda akan merasa lebih dihargai.

Karena menurut Hirschi (dalam Mussen dkk, 1994) orangtua dari remaja nakal cenderung memiliki aspirasi yang
minim mengenai anak-anaknya, menghindari keterlibatan keluarga dan kurangnya bimbingan orangtua terhadap remaja. Sebaliknya, suasana keluarga yang menimbulkan rasa aman dan menyenangkan akan menumbuhkan kepribadian yang wajar dan begitu pula sebaliknya. 

Demikian juga dengan Hurlock (1973) menyatakan banyak penelitian yang dilakukan para ahli menemukan bahwa remaja
yang berasal dari keluarga yang penuh perhatian, hangat, dan harmonis mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan disekitarnya.

Selanjutnya Tallent (1978) menambahkan, anak yang mempunyai penyesuaian diri yang baik di sekolah, biasanya memiliki latar belakang keluarga yang harmonis, menghargai pendapat anak dan hangat. Hal ini disebabkan karena anak yang berasal dari keluarga yang harmonis akan mempersepsi rumah mereka sebagai suatu tempat yang membahagiakan karena semakin sedikit masalah antara orangtua, maka semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan begitu juga sebaliknya jika anak mempersepsi keluarganya berantakan atau kurang harmonis maka ia akan terbebani dengan masalah yang sedang dihadapi oleh
orangtuanya tersebut.

Dan akhirnya, peranan pendidikan orang tua dalam keluarga menentukan kehidupan generasi muda calon pemimpin Indonesia ke depannya. Di tangan mereka apakah Indonesia bisa menjadi negara maju atau kita tetap menjadi negara berkembang. Atau bahkan menjadi negara miskin. ***

Tidak ada komentar: