Senin, 27 Oktober 2008

Bukan Kemerdekaan Individu yang Kami Cari


Aksi Putu Wijaya di BAF. foto Wijaya Satria Batam Pos.



Burung perkutut tak ingin terbang dan merdeka. Tapi daerah di Indonesia ingin merdeka dengan otonomi. Pusat jangan menjajah kemerdekaan yang sudah diberikan ke daerah. Setidaknya, inilah pesan yang disampaikan Putu Wijaya melalui aksi monolog saat
menjadi bintang tamu Bintan Art Festival (BAF) yang ke delapan.

BAF makin dewasa dengan hadirnya sastawan negeri ini Putu Wijaya. Gawean BAF kali ini juga berbeda dari biasanya. Acapkali BAF digelar di Gedung Kesenian Aisyah. Kini acara kesenian yang berlangsung dari 24-25 Oktober 2008 itu dapat disaksikan di lapangan
terbuka. Tepatnya, di depan Gedung Daerah Tanjungpinang. BAF terlihat lebih menarik dibandingkan pelaksanaan BAF tahun sebelumnya.

Husnizar Hood sebagai Ketua Dewan Kesenian Kepulauan Riau berusaha mendatangkan Putu Wijaya agar BAF kali ini istimewa. Walaupun sebelum Putu, tampil sastrawan muda seperti Fajar Riadi dari Solo, Hasan Aspahani, Ramon Damora, dan Ikranegara.Maknet Putu masih menarik sampai detik ini. Malam itu, Putu yang tampil dengan pakaian serba hitam kembali
menunjukkan dia sebagai penyair kelas wahid di Indonesia.

Mulai dari kopiah, baju, celana, sampai sepatu, peraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) ini menggunakan warna hitam. Warna hitam, sudah menjadi ciri khas dari penyair. Terkesan, hitam itu sudah miliknya penyair. Ya, penuh tanda tanya, misteri yang terselubung di balik warna hitam.

Penampilan pengarang lebih dari seribu cerpen ini memang ditunggu-tunggu warga Tanjungpinang. Panggung yang cukup luas, membuatnya lebih leluasa untuk mengeksplorasi diri. Bentuknya panggung agak bundar. Di tengah panggung, panitia BAF menyediakan papan untuk meletakkan sangkar burung, dan satu kursi warna coklat. Didikung sistem suara yang bagus, membuat susana BAF lebih romantis. Perlengkapan tersebut untuk mendukung aksi sastrawan yang pernah mengikuti International Writing
Programme, Iowa, AS.

Jarum jam menunjukkan pukul 22.00 Wib. Saat itulah, mantan redaktur di Majalah Tempo ini langsung meletakkan perlengkapan untuk menambah daya tarik aksinya. Tepung yang dibawa dalam kantong kresek pun dia masukkan dalam sangkar burung. Seolah- sang sastrawan memberi makan burung perkutut yang berada dalam sangkar. Padahal, burung tak pernah ada.

Malam ini, kata penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang ini, ada 200 juta lebih burung perkutut dalam sangkar yang dipelihara oleh seorang majikan tua. Sang majikan ingin memberikan hadiah kepada salah satu burung perkututnya untuk merdeka–terbang ke angkasa dan menghadapi hidup tidak dalam sangkar lagi, melainkan lewat langit.

Tetapi, perkutut burung takut dengan kemerdekaan itu. Burung kecil tak mau terbang menghirup udara segar. Sebab, kebiasan perkutut yang hidup di dalam sangkar lebih nyaman, ketimbang merdeka dan mencari makan sendiri. Belum lagi, banyak predator yang mengerikan di luar sana yang siap menerkam. Perkutut tetap tak mau terbang. Padahal sang majikan telah membuka pintu sangkar dengan selebar-lebarnya.

Dengan gayanya yang bisa mengubah suara, penulis novel "Tidak" memerankan tiga tokoh pada malam penutupan BAF. Pertama tokoh burung perkutut yang takut akan kebebasan. Kemudian tokoh pemilik burung pipit yang setiap hari memberikan burung makan.

Lalu Putu juga berperan sebagai dirinya sendiri. Tanpa teks, acara semacam drama yang berdurasi hampir satu jam lamanya. Dalam monolog, Putu sempat melakukan intraksi dengan ratusan penonton yang tak beranjak menyaksikan pertunjukkan.

"Tuuuut,, tuuuut, tuttt, mana perkutut Tanjungpinang," kata Putu memancing penonton untuk mengikuti perkataannya. Semua penonton yang masih malu dengan ajakan Putu terdiam.Hanya dikit yang mengikuti. Tetapi, ketika dia mengakatakan," Saya terbang lebih dari 1 jam ke Tanjungpinang untuk mencari perkutut."

Sepontan, pecinta seni di sana langsung bersuara seolah-olah terbius ajakan Putu. Tanpa dipandu, mereka langsung bersuara seolah-olah menyerupai perkutut yang bising pada pagi hari.Satu keberhasilan sastrawan di dalam pertunjukkan dicontohkan Putu.

Emosi Putu terkadang meledak-ledak. Suaranya berteriak, memecah keheningan malam tanpa kilauan bintang. Putu terkadang memekik. "Terbanglah kau burung. Cari kebebasan di langit sana," teriaknya.

Sambil memukul-mukul sangkar dengan kursi, Putu terus meraung. Membuat mata tak berkedip. Denyut jantung terkadang terhempas melihat aksi pria yang jarang melepaskan topi warna putih. Dia seolah-olah menangis, menyesal dengan sikap burung pipit yang
enggan pergi dari sangkar.

Sesekali tangannya mengambil tepung di sampingnya. Tepung itu diterbangkan ke atas. Tak ayal, pakaian hitam yang dikenakan pun jadi memutih kena tepung. Kopiah Putu berubah warna jadi putih. Tak ada keraguan untuk Putu melakukan hal itu. Dia juga merayap di atas pentas. Padahal umurnya sudah lebih dari setengah abad.Umur tidak membuuat Putu lemah. Suaranya tetap lantang menghayati tiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Berulangkali disebut Putu, sang perkutut dengan sebutan “bodoh!” Sang majikan berpendapat, perkututnya tak menghargai kemerdekaan padahal bangsa-bangsa di dunia sejak dulu kala bersimbahan darah demi kemerdekaan itu.

Berulangkali pula, sang majikan membentak perkutut, bahkan mengancam. “Jika tidak keluar, maka aku akan membunuhmu!” ucap sang majikan terhadap perkutut tersebut. Dengan menggunakan sapu lidi, Putu menikam burung dalam sangkar. Sehingga sapu lidi pun
menancap di sangkar.

Pekutut yang dipaksa suruh terbang akhirnya menabrak tembok. Dan terlihat pingsan.
Sang majikan terkejut, perkututnya jatuh ke tanah tak bergerak lagi.

"200 juta perkutut-perkutut lain pun miris melihat kematian perkutut tersebut," ucap Putu.

Sang majikan pun tak habis-habisnya menyatakan perkutut tersebut bodoh. Dan ia pun seakan menasihati perkutut-perkututnya yang lain agar meresapi arti kemerdekaan.
Namun tiba-tiba, perkutut-perkutut yang dimiliki oleh bapak tua tadi, lain mendobrak sangkar terbang jauh ke langit. Sang majikan pun kesalnya bukan main. Ratusan perkutut itu terbang ke sana-kemari. Burung itu pun membuang tahinya ke bumi. Dan mengenai kepala majikan.

Dalam pesannya perkutut, “Bukan kemerdekaan individu yang kami mau. Tetapi, kemerdekaan secara bersama yang kami inginkan.”

Embun malam mulai meresap ke dalam tulang.Malam mulai sepi. Tanjungpinang begitu istimewa dengan kehadiran Putu sebagai penampilan kunci BAF. Memang BAF tidak kehilangan arah tanpa Putu. Setelah Raja Haji Fisabillilah, kemudian Sutardji, siapa lagi yang akan menjadi lagendaris sastar dari bumi Melayu. Dua tokoh itu sudah diakui oleh seantero negeri ini kualitasnya. Akankan, Kepri melahirkan sastrawan baru setelah Raja Haji dan Sutardji. Hanya waktu yang bisa menjawab. (robby patria)

Tidak ada komentar: