Kamis, 09 Oktober 2008

AS Terjepit, Batam Menjerit


Perekonomian Amerika Serikat (AS) sedang mengalami krisis keuangan. Dampaknya sudah mulai dirasakan secara global termasuk Indonesia. Aktivitas Bursa Efek Indonesia harus dihentikan sementara karena terjadi penurunan Indek Harga Saham Gabungan yang menembus angka di luar kewajaran. Dengan terjepitnya AS mungkinkan Batam akan menjerit?

Media massa di Batam dalam sepekan terakhir banyak memberi porsi pemberitaan mengenai dampak krisis AS terhadap Batam. Ada yang berpendapat Batam akan merasakan krisis tersebut 3-6 bulan yang akan datang. Sebab saat ini data ekspor dan impor belum diketahui sehingga jangka pendek belum berdampak ke Batam. Nilai kontrak dengan importir juga belum jelas. Ya, awal 2009, dampak krisis AS itu bisa di lihat oleh pelaku ekonomi di Batam.

Secara langsung, krisis di AS memberikan dampak negatif terhadap Batam. Sebab, AS bukanlah negara yang bersentuhan langsung dengan Kepulauan Riau, Batam pada khususnya. Apalagi, nilai ekspor Batam ke negara Paman Sam itu cuma 1 persen dari nilai total ekspor yang menembus 7 miliar dolar AS di tahun 2007. Tetapi, AS masih negara kedua setelah Jepang tujuan ekspor Indonesia yang nilainya 73,54 miliar dolar AS per tahun.

Memang bagi Batam AS terlalu jauh dibandingkan dengan Singapura. Nyawa Batam sangat tergantung Singapura. Bukanlah AS. Tetapi, Singapura mengandalkan AS sebagai negara tujuan Ekspor. Barang yang diimpor Singapura diekspor ke AS. Sebenarnya Batam, Singapura dan AS satu rangkaian yang saling membutuhkan.

Sehingga tak salah, jika Kepala Bank Indonesia Batam Irwan Lubis mengatakan jika Singapura flu, maka Batam pasti meriang. Karena hubungan kedua negara begitu dekat.

Secara umum, krisis AS akan memperlambat usaha pemerintah untuk mendatangkan investasi ke Kepri dan Batam. Karena perusahaan asal negara adikuasa itu kesulitan untuk melakukan pendanaan untuk ekspansi sektor riil. Krisis keuangan membuat perbankan di AS untuk sementara menahan pemberian krdit ke sektor usaha.

Hal yang sama juga dilakukan perbankan di Eropa. Untuk itu, Badan Pengusahaan Kawasan Batam yang dulunya Otorita Batam harus mencari alternatif negara lain untuk melakukan investasi di Batam. Ya, negara asal Timur Tengah, Jepang, Rusia, Spanyol berpontensi untuk menanamkan modalnya di Batam. Sayangnya, sejumlah negara masih memiliki ketergantungan dengan AS. Bank negara di dunia, masih memiliki hubungan dengan perbankan di AS. Ketika bank negara itu berjatuhan, bank di dunia kena imbasnya.

Industri di Batam, paling banyak berasal dari investor asal Singapura yang tak lain berasal negara di Eropa dan AS. Perusahaan asal AS yang melakukan ada di Kepri kebanyakan bergerak sektor migas seperti Conoco Philip, Exxonmobile, Mc Dermot. Lagi pula, perusahaan ini orientasi ekspornya bukan ke AS, tetapi negara maju di Eropa dan Timur Tengah. Sehingga tak berpengaruh terhadap bisnis utama perusahaan tersebut.

Terlalu jauh, efek domino krisis AS untuk membuat Batam menjerit. Batam tetap aman dari krisis untuk jangka pendek, belum aman untuk jangka panjang. Bagaimanapun, AS memegang perekonomian dunia yang kemudian disusul China. Negaranya Obama itu sedang menghadapi masalah yang serius. FTZ di Kepri bisa saja tidak memberikan dampak apapun dengan melemahnya perekonomian dunia. Bagaimana mau investasi, sementara kondisi keuangan negara perusahaan sedang mengalami masalah. Sumber pendanaan untuk ekspansi berasal dari pasar modal dan perbankan. Tetapi, kedua lembaga ini sedang mengalami masalah besar. Banyak diantaranya bangkrut.

FTZ yang didengungkan akan meraup investasi 15 miliar dolar selama 5 tahun tampaknya harus terkoreksi. Bukan tak mungkin, sampai dengan akhir tahun, tingkat investasi di Kepri stagnan. Walaupun, daerah ini menjadi kawasan pelabuhan bebas dan perdagangan bebas. Akibatnya, ribuan tenaga kerja yang masuk ke Batam, Bintan, Karimun harus gigit jari karena belum mendapatkan pekerjaan.

Untuk membangkitkan kembali perekonomian di Kepri, pemerintah harus cepat mencabut PP Nomor 63 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM. Dengan cara itu, krisis investasi di Kepri bisa diobati. Pertumbuhan ekonomi dari luar kawasan industri diharapkan bisa menggerakkan roda perekomian di saat kawasan industri sedang stagnan dan minim order.

Sebab, untuk kawasan industri di Batam sebenarnya sudah mendapatkan insentif bebas pajak sejak dulu. Sehingga FTZ kali ini sebenarnya hanya pemanis. PP 63 memang obat penawar yang dibutuhkan Batam untuk melawan krisis berkepanjangan yang melanda dunia.

Jika pemerintah tidak mencabut PP 63 karena takut kehilangan pajak, maka lambat laun, Batam akan kena impas dari krisis ekonomi.
Mana ada investasi yang masuk, tanpa ada sumber modal dari negara asal. Tak mungkin permintaan barang produksi meningkat ketika sang pembeli mengalami masalah. Yang ada, produksi menurun, jumlah tenaga kerjapun akan dipangkas. Pemutusan hubungan kerjapun tak dapat dielakkan. Untuk itu, jangan terlambat, PP 63 cepat dicabut. (robby patria)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kalau krisis financial di Amerika terjadi, tidak hanya Batam, Indonesia pun akan terkena imbasnya.