Kamis, 11 September 2014

Menanti Masa Depan Demokrasi

Perdebatan sengit menjelang penetapan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah yang dijadwalkan pada 25 September mendatang mendapat perhatian serius pelbagai elemen masyarakat. Intinya apakah kita harus kembali ke belakang dengan model lama, pemilihan kepala daerah secara tak langsung melalui oleh DPRD atau dipilih secara langsung oleh rakyat seperti saat ini?

Jika dilakukan pemilihan secara langsung, maka peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panwaslu di daerah yang selama 9 tahun ini menjalankan amanat undang-undang melaksanakan pemilu kepala daerah menjadi berkurang. Pasalnya, KPU tak lagi menjadi titik pusat perhelatan akbar pesta demokrasi yang selama ini sudah sukses dilaksanakan. Terlepas ada bebepa daerah yang menimbulkan gejolak akibat pilkada. Peran KPU di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E Ayat 5 (Amandemen III) yang disebutkan secara khusus menjadi penyelenggara pemilu kian berkurang, kecuali untuk pemilu presiden dan pemilu legislatif saja.

Pemilihan tak langsung menyebabkan sejumlah tahapan yang biasanya dilaksanakan KPU menjadi terpangkas. Misalnya proses tahapan pendataan pemilih, pencetakan surat suara, proses pemilihan, penerimaan badan adhok PPK, PPS dan KPPS, proses kampanye calon, dan sejumlah tahapan lainnya akan hilang dengan sendirinya. KPU tak lagi disibukkan dengan aktivitas tersebut. Karena proses di DPRD lebih sederhana tanpa melibatkan penggerahan massa untuk kampanye, tak memerlukan surat suara.

Mungkin KPU hanya melakukan verifikasi ijazah calon kepala daerah dan menetapkan calon saja bersama dengan panitia khusus yang disiapkan DPRD. Tentunya teknis masih mengacu kepada Undang-Undang pilkada baru jika betul-betul disahkan oleh DPR dengan menggunakan sistem tidak langsung. 

Kegiatan tahapan pemilu langsung yang memerlukan waktu 8 bulan inilah agaknya menjadi penyebab utama sejumlah fraksi di DPR akan mengubah model pilkada langsung menjadi tidak langsung yang mereka anggap boros anggaran. Sehingga jika dikembalikan ke DPRD, maka pemilihan kepala daerah akan menghemat anggaran. Kemudian masalah selanjutnya penyebab diarahkan model tidak langsung adalah besarnya money politics yang ditenggarai penyebab kepala daerah di sejumlah daerah terlibat korupsi karena harus mengembalikan modal kampanye. Bandingkan dengan pemilu tidak langsung, kepala daerah terpilih dianggap tidak terlalu banyak mengeluarkan modal kampanye. Sehingga hipotesa sementara biaya kampanye minim menyebabkan kepala daerah tidak perlu korupsi guna mengambalikan modal utama saat pilkada. Yang menjadi pertanyaan yang perlu direnungkan, apakah ada jaminan, jika pemilu kepala daerah secara tidak langsung akan memutuskan praktik suap merebut kursi kepala daerah. 

Apakah tidak lebih baik dengan sistem langsung, namun DPR bersama pemerintah membuat aturan yang jelas mengenai pembatasan dana kampanye. Atau bahkan elit politik di negeri ini tidak menghamburkan modal yang dimiliki guna membiayai oknum masyarakat agar menggunakan hak pilihnya. Karena yang memiliki modal untuk kampanye adalah elit politik di negeri ini. Mereka yang menggunakan kekuasaan dan memiliki modal seharusnya tak menggunakan modal tersebut untuk membiayai kegiatan kampanye. Sehingga proses berjalan dengan alamiah.

Inti dari proses demokrasi seperti yang dipraktekkan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln pada tahun 1863, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat artinya pemerintah suatu negara mendapat mandat dari rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi. Dan Indonesia mulai menerapkan proses pemilu langsung pilkada sejak disahkannya UU 32 tentang Pemerintahan Daerah pada tahun 2004. 

Tentu banyak yang sepakat proses paling demokratis antara pemilu langsung atau tidak langsung, adalah pemilu secara langsung. Di mana rakyat datang langsung memilih calon kepala daerah yang akan memimpin mereka ke bilik suara. Rakyat dengan sendirinya menyadari dan mengenali calon tersebut. Sedangkan pemilihan tidak langsung juga dianggap demokratis, hanya saja dipilih oleh para wakil rakyat. Belum tentu para wakil rakyat tersebut memiliki pemikiran yang sama dengan rakyat yang dia wakili. Dan kepala daerah nantinya tidak perlu kampanye menemui rakyat, karena cukup menemui wakilnya saja. Padahal sesungguhnya, dalam sistem demokrasi, kehendak rakyat merupakan dasar bagi keabsahan pemerintahan.

Inilah titik perdebatan serius apakah kita semua sepakat dengan pasal 18 UUD 1945 bahwa disebutkan "pemilihan kepala daerah melalui cara demokratis bisa dimaksudkan melalui cara langsung ataukah melalui cara tidak langsung. Selama hampir 10 tahun ini DPR sepakat demokratis itu melalui model langsung yang kita lakoni sejak 2004. Namun sekarang, sejumlah fraksi di DPR mulai terpikirkan, demokratis itu bisa tidak langsung melalui pemilihan DPRD untuk mengurangi masalah sosial dan besarnya dana kampanye yang dikeluarkan calon kepala daerah.

Dan akhirnya, jika DPR akan mengesahkan pilkada tidak langsung, maka KPU maupun Bawaslu akan membuat peraturan baru menyesuaikan Undang-Undang tentang Pilkada tersebut. Dan itu dimulai tahun 2015 di mana 240 kabupaten kota dan 13 provinsi akan menggelar pilkada. Di Kepri ada tiga pilkada tingkat kota dan satu pilkada provinsi yang digelar 2015. Namun jika DPR tidak jadi mengesahkan pasal pasal krusial tersebut dan tetap seperti sekarang, maka kita juga perlu menyadari pentingnya menggunakan hak pilih dengan sebaik baiknya. Karena itulah detik detik yang menentukan apakah sistem demokrasi pancasila di Indonesia mampu membawa negara ini sesuai keinginan pendiri bangsa menjadi  negara yang adil dan makmur. Dan patut kita renungkan kalimat “Bahwa setiap orang yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakannya merupakan kebenaran abadi! Mereka cenderung melakukannya sampai batas mengijinkan” (Montesquieu).***

10/9/14

Tidak ada komentar: