Sabtu, 24 Desember 2011
Memutus politik dinasti
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merancang aturan agar politik dinasti di Indonesia tidak terjadi lagi seperti sekarang. Aturan itu dituangkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang menghasilkan RUU Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada).
Artinya jika Rancangan Undang-Undang tersebut disahkan, maka tak ada satupun keluarga penguasa yang melanjut politik dinasti. Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, keluarga inti kepala daerah tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon gubernur, maupun bupati atau wali kota. Keluarga inti yang dimaksud adalah suami atau istri, dan anak. Banyak daerah di Indonesia mencalonkan keluarga sendiri.Misalnya di Riau, istri Gubernur Riau Rusli Zainal mencalonkan diri jadi wali kota Pekanbaru. Di Kediri, dua istri bupatinya berebut kekuasaan menggantikan suami. Di Tanjungpinang, anak pertama dari wali kota juga ingin menggantikan ibunya yang sudah 13 tahun jadi wali kota.
Dalam draf RUU itu disebutkan, bila ada salah satu anggota keluarga masih menjabat kepala daerah, maka butuh satu periode lagi untuk bisa maju sebagai calon kepala daerah. Alasan yang dikemukakan untuk penghapusan dinasti politik agar sistem pemerintahan d tidak dikuasai kelompok atau keluarga tertentu. Nampaknya DPR besar kemungkinan menyetujui draf yang diusulkan pemerintah dengan pertimbangan yang cukup rasional yakni memutuskan politik dinasti.
Effek positif dari RUU itu pertama, menyebabkan pemutusan hubungan kepala daerah yang satu dengan pengganti. Dengan demikian, terciptalah harmonisasi pemerintahan dan mencegah kepala daerah berikutnya melindungi kepala daerah sebelumnya yang terlibat kasus hukum. Sehingga pejabat yang dipilih jadi kepala dinas memang figur yang berbobot. Bukan figur yang penjilat. Atau karena keluarga kepala daerah.
Yang kedua, tidak majunya keluarga incumbent diharapkan bisa mencegah penggunaan dana APBD untuk kampanye melalui bantuan sosial dan pos hibah bisa dikurangi. Kita lihat saat ini di Indonesia seakan tidak ada habisnya mempertontonkan dinamika politik yang menampilkan kekuatan status quo melalui familinya. Politik dinasti menujukan bahwa disentralisasi kekuasaan belum terdestribusi secara meratakepada semua pihak. Dengan kata lain harapan untuk menciptakan Indonesia yang demokrasi makin jauh di depan mata. Dalam keadaaan seperti ini politik dinasti semakin menegaskan bahwa sentralisasi kekuasaan pelan tapi pasti akan tetap menjamur. Dari pernyataan tersebut dapat kita simpulkan bahwa politik dinasti dapat mengacaukan sistim demokrasi di Indonesia.
Fatkhuri, seorang pemerhati politik, alumni Australia National University Canberra mengungkapkan bahwa sebuah politik dinasti mengandaikan kepemimpinan berada pada tangan segelintir orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan. Biasanya ini adalah cara agar sanak famili bisa dengan mudah meraih jabatan publik. Politik dinasti juga ditandai dengan adanya sanak saudara yang menduduki posisistrategis dalam dalam lembaga politik. Tujuannya adalah agar sanak saudaranya dengan mudah mendapatkan jabatan tinggi dalam organisasi politik. Namun, Fatkhuri juga mengungkapkan bahwa tidak semuapolitik dinasti didasari atas upaya untuk meleggangkan kekuasaan keluarga. Dalam beberapa hal politik dinasti dijalankan dalam rangka melanjutkan estafet kepengurusan sebelumnya, tanpa menggunakan label´keluarga.
Begitu suramnya politik dinasti, akankah kita masih memberikan kepercayaan kepada figur yang berasal dari pihak yang ingin membangun dinasti model kerajaan? Masihkah kita menerima apa saja yang diberikan pemimpin? Padahal yang ditawarkan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ingin cepat berubah.
Dari poin ini, pemerintah yang menelurkan regulasi saja sudah mafhum betapa bahayanya politik dinasti karena bisa menyebkan kemunduran demokrasi yang sedang dibangun setelah dibelenggu oleh sistem yang otoriter. Harusnya sebagai parpol yang sadar dan tentunya pemilih yang rasional tak memberikan dukungan kepada upaya sistematis untuk mendewakan politik dinasti.
Kita hanya berharap supaya DPR cepat mengesahkan RUU itu untuk dijadikan pedoman dalam pesta demokrasi yang sebenarnya tidak betul-betul demokrasi. Karena di saat uang masih menjadi mesin penggerak dan menentukan kemenangan, maka tidak ada demokrasi yang ideal.
terbit 24/12/2011 di KP
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
wahaii calon pemimpin
menjadi pemimpin adalah suatu amanah yang di emban dan dipercayakan rakyat kepadanya,dia harus mengabdi kepada masyarakat bukanlah hal yang mudah untuk itu, jangan khianati kepercayaan rakyat....
jadilah manusia bijak bila sudah menjadi pemimpin,
ingat, Tuhan selalu ada dan tahu semua apa yang akan dan telah engkau kerjakan....
berhati hatilah bila bertindak kelak....
Pak Abu saya kira demikian. Berat pertanggungjawaban jadi pemimpin
Posting Komentar