Selasa, 24 Januari 2012

Tanjungpinang Ibu Kota yang Mengecewakan



Terus terang, kami tercengang membaca tulisan anak SMA di kota ini yang mengikuti lomba menulis digelar oleh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orda Tanjungpinang pada beberapa hari yang lalu. Judul tulisan tersebut " Tanjungpinang, Pusat Pemerintahan yang Mengecewakan.  Tiara nama anak itu. Siswa SMKN 3.  



Melihat judul yang memiliki kekuatan kata-kata, isinya lebih menyoroti pelayanan publik yang ada di Tanjungpinang. Bagi penulis yang masih belia itu, kota ini belum memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Tiara memang masih SMA, namun daya kritisnya sepertinya mendahului jenjang pendidikannya. Ia bagaikan aktivis di bangku kuliah. Tak ada perdebatan bagi kami yang jadi juri saat itu memilih naskah tersebut jadi juara dua.

Seolah-olah, apa yang menjadi buah pikir Tiara bagaikan gunung es yang tersembunyi di luas samudera. Tiara menampakkan kekecewaan dengan kondisi Tanjungpinang saat ini sepertinya mewakili hampir 200 ribu jumlah penduduk Kota Gurindam yang sudah berusia 228 tahun.

Bagi masyarakat yang menikmati hidup di Kota Gurindam, julukan diberi, mereka mulai merasakan kota ini terasa tua. Kota yang terkenal karena melahirkan sastrawan hebat itu terasa tak bisa mengikuti cepatnya perubahan zaman yang memerlukan pemimpin kreatif, inovatif, visionir dan transparan dalam melaksanakan pemerintahan. Masalah-masalah sosial yang nyata di depan mata lamban diatasi pemerintah. Contohnya, pertama persoalan banjir.

Problem banjir di Jalan Pemuda berlangsung lama. Namun selama itu juga tidak bisa tuntas diselesaikan oleh pemerintah. Padahal, Jalan Pemuda terbilang dekat dengan laut, seharusnya dengan kebijakan yang tepat sasaran, masyarakat di Perumnas tak menggurutu ketika hujan lebat karena rumah mereka digenangi air.

Kedua, masalah kemiskinan. Di 2011 jumlah kepala keluarga tercatat masih miskin sebanyak 9.365 KK. Artinya ada 9 ribu lebih keluarga miskin. Mereka yang tergolong miskin menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Riau dengan pendapatan per bulan tak lebih Rp 353 ribu. Artinya dengan pendapatan per bulan sebesar angka tersebut, maka sehari maksimal menghabiskan uang tidak lebih dari Rp11.766.
Ternyata di Tanjungpinang sebagai pusat pemerintahan, dengan jumlah APBD Tanjungpinang mencapai Rp700 miliar di tahun 2011, dan jumlah APBD kota yang menembus lebih dari Rp2 triliun selama menjadi kota otonom belum mampu menekan signifikan angka kemiskinan di kota ini.

Kebijakan wali kota, dan DPRD lebih cendrung membangun menumen Raja Haji yang tidak bersentuhan langsung dengan pengentasan kemiskinan. Pemko juga lebih suka membangun rumah dinas wali kota, Ketua DPRD yang menelan dana belasan miliar. Membeli mobil mewah untuk kendaraan dinas.

Masalah ketiga yang akan menghantui daerah ini adalah lambatnya pembangunan infrastruktur. Sejak pindahnya pusat pemerintahan Provinsi Kepri, mulai terasa ruas jalan dari Km  1-15 terasa kecil. Apalagi di saat waktu pagi, siang dan sore. Ketika pegawai pulang kantor. Dari catatan kepolisian, nyawa melayang akibat tabrakan selama 2010 mencapai 28 orang. 2011 puluhan orang mati sia-sia di jalan raya. Dan yang lebih parah, setiap bulan terjadi pertumbuhan 800-1000 kendaraan, per tahun 10.000 kendaraan, tanpa diikuti dengan pembangunan jalan baru. Bisa dipastikan, 5-10 tahun yang akan datang, mungkin akan terjadi kemacetan yang luar biasa hebat karena terbatasnya infrastruktur jalan raya.

Kalaupun pemerintah melakukan perluasan jalan,  masalah yang dihadapi, menjamurnya rumah toko yang jaraknya terlalu dekat dengan bibir jalan. Akibatnya pemerintah akan kesulitan melakukan pelebaran jalan. Izin mendirikan ruko yang mudah diberikan pemerintah menyebabkan Tanjungpinang menjadi 'hutan ruko'.

Selanjutnya persoalan keempat yang lambat diatasi pemerintah tingkat pengangguran dan ketersedian lapangan kerja bagi masyarakat. Menurut data Dinas Tenaga Kerja Tanjungpinang, jumlah pengangguran sampai Agustus 2011 tercatat sebanyak 7.352 orang.  Jumlah angkatan kerja yang tercacat mulai dari umur 15 sampai 59 tahun sebanyak 166.387 orang. Jumlah tersebut dirilis Disnaker berdasarkan laporan masyarakat yang mencari kerja menggunakan kartu kuning. Padahal jumlah pengangguran bisa saja lebih besar dari jumlah itu karena banyak tenaga kerja produktif yang tidak bisa berkerja karena minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Pemuda menyalurkan bakat mereka melalui pegawai tidak tetap di pemda dengan gaji yang tak seberapa.

Status Tanjungpinang sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (FTZ) sampai saat ini tidak bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menarik investor menanamkan modal. Soal investasi, kota Raja Haji memang harus belajar keras dengan Kabupaten Bintan yang lebih sukses menggait investasi asing masuk daerah.

Tumbuhnya perekonomian Tanjungpinang 7,08  persen lebih banyak digerakkan sektor properti, perdagangan serta belanja pemerintah daerah. Maklum saja, daerah ini pusat Pemerintahan Provinsi Kepri dengan jumlah APBD mencapai Rp2 triliun selama 2011. Belum lagi APBD Bintan Rp700 miliar, dan APBD Tanjungpinang Rp700 miliar lebih. Bahkan dana APBN untuk instansi vertikal yang ada di kota ini Rp5,8 triliun selama 2011. Jika ditotal, hampir Rp9  triliun anggaran yang berputar di Tanjungpinang. Wajar saja, jika ekonomi lebih bergeliat. Sebenarnya jika melihat besarnya jumlah APBN, dan APBD yang beredar di sini, maka pemerintah tidak perlu kerja keras. Karena tanpa intervensi pemerintah, roda perekonomian akan berputar sedemikian rupa. Dan itu yang terjadi saat ini.

Andaikan kepala daerah dan pejabat yang berwenang di Pemko sedikit lebih kreatif memoles roda perekonomian, maka anggaran sebesar itu bisa saja membuat daerah ini lebih bergairah.

Yang kelima menjadi catatan penting, adalah tidak berpihaknya Pemko untuk menjaga kelestarian lingkungan. Demi kepentingan pertambangan bauksit, maka perizinan perusahaan bauksit bebas mengeruk lahan yang menyebabkan Tanjungpinang yang dulunya hijau kini menjadi gersang dan gundul. Mulai dari dekat kantor pemerintahan sampai ke areal pemukiman warga pun izin bauksit tetap diberikan dengan berdalih mengejar pendapatan retribusi daerah. Kebijakan tersebut tidak sesuai dengan visi pemerintah pusat yang mengedepankan pembangunan yang berkelanjutan dengan menjaga kelestarian alam. Mudah mudahan Tanjungpinang masuk dalam 6000 perizinan pertambangan yang diminta Presiden untuk dibatalkan.

Kelima catatan ini merupakan bahan masalah kita bersama yang harus dicarikan solusi. Sehingga ke depan Pemko pro lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, prolingkungan dan stabilitas daerah. Semoga lima tahun ke depan, Tanjungpinang diberikan pemimpin yang mampu membawa daerah ini nyaman bagi penghuninya. Pemimpin yang memiliki visi dan misi mengembalikan daerah ini pusat perdagangan di Selat Malaka. Di kala Kejayaan Riau Lingga. Insya Allah.







































































































































































































































































































2 komentar:

Anonim mengatakan...

Investasi tak perlu dicari, karena Bintan dekat dengan investor dunia, Singapura.

Persoalannya apakah peraturan yang ada, fasilitas yang ada (jalan, PLN, air dsb) itu mampu atau tidak memberikan kenyamanan para investor

patria mengatakan...

Saya kira prlu dikejar juga pak. Kalau menunggu investor,,maka BINTAN dan Pinang akan kalah saing dibandingkan BATAM, Johor , vietnam maupun Cina