Jumat, 10 Juli 2020

Baju Gratis, Kualitas Pendidikan hingga Politik Pencitraan

Dalam hal pengembangan SDM, pendidikan memiliki nilai strategis dan mempunyai peran penting sebagai suatu investasi di masa depan. Karena secara teoritis, pendidikan adalah dasar dari pertumbuhan ekonomi, dasar dari perkembangan sains dan teknologi, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dalam pendapatan, dan peningkatan kualitas peradaban manusia pada umumnya (John Vaizey, 1980: 4).

Salah satu keberhasilan tingkat pendidikan suatu bangsa dapat  dilihat melalui angka human development  index (HDI). Berdasarkan data United Nation for Development Programme (UNDP), Indonesia berada pada posisi 108 dari 110 negara di dunia dan jauh tertinggal dari negara-negara tetangga di ASEAN (UNDP, 2010). Kemudian 2019 Indonesia memiliki peringkat kualitas hidup ke-111 dari 189 negara menurut laporan Indeks Pembangunan Manusia 2019 yang dikeluarkan PBB.
 Peringkat Indeks Pembangunan Manusia tahunan dihitung menggunakan tiga kategori: kesehatan, pendidikan dan pendapatan.  

Faktor-faktor  yang mempengaruhi hal tersebut, seperti: rendahnya angka partisipasi masyarakat Indonesia dalam pembangunan berkelas dunia, rendahnya kualitas lulusan sekolah, rendahnya jumlah lulusan yang mampu diterima di pasar global. 
Ke depan, pembangunan pendidikan nasional di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan serius, terutama dalam upaya meningkatkan kinerja yang mencakup (a) pemerataan dan perluasan akses; (b) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; (c) penataan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik; dan (d) peningkatan pembiayaaan di sektor pendidikan.

Upaya pemerintah daerah meningkatkan kulitas sumber daya harusnya menyentuh kebijakan penting yang dapat merangsang meningkatnya kualitas pendidikan di Kepri. Misalnya kebijakan yang dapat menyentuh langsung ke persoalan peningkatan kualitas pendidikan adalah peningkatan kualitas guru, dengan cara sekolahkan kepala sekolah ke jenjang pendidikan S2 atau S3. Atau misalnya lengkapi sekolah yang ada saat ini dengan fasiltas multi media. Artinya dengan 5 tahun ke depan, Pemda sudah akan mengubah wajah pendidikan di Kepri. 

Karena untuk mewujudkan misi besar meningkatkan kualitas sumber daya manusia, maka diperlukan adalah peningkatan hal yang terkait dengan kualitas.  Mulai dari input, proses dan output siswa. Faktor  pendukung ketiganya harus disiapkan dengan sebaik baiknya.
 Agak unik cara berpikir Dinas Pendidikan Kepri misalnya mengimbau anak anak SMA di Tanjungpinang pakai sepeda ke sekolah. Mengapa Dinas Pendikan tak mengimbau agar belajar baik baik agar bisa kuliah di kampus terbaik di Indonesia atau luar negeri.

Dalam dunia pendidikan, masalah pokok serta turunannya guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dibahas banyak penelitian baik di Indonesia maupun negara lain yang pendidikannya sudah maju adalah pertama soal infrastruktur sekolah, kedua sumber daya guru, ketiga lingkungan masyarakat hingga rumah dan keempat yang penting soal kurikulum pendidikan. Keempat masalah pokok ini harus sempurna. Tidak boleh main main. 

Menciptakan anak didik yang berkualitas tak cukup dengan pendidikan di sekolah dan guru yang baik. Karena pendidikan pertama anak berada di dalam rumah. Dan di bawah kontrol orang tua.  Bayangkan anak anak dilarang merokok, tapi sampai di rumah, orang tua menyuruh anak membeli rokok. Bahkan merokok di depan anak di dalam rumah. Hasil didikan guru di sekolah akan kontradiktif dengan kondisi di dalam lingkungan. Apalagi di satu kampung, semua orang tua merokok. Di sekolah diajarkan menjaga kebersihan, tapi di lingkungan, mudah ditemui warga membuang sampah di sembarang tempat.

Kemudian soal kurikulum. Penguasaan kurikulum dan sistem kurikulum nasional harus stabil. Di Finlandia juga kurikulum tidak gampang berubah. Bahkan 20 tahun pun tidak berubah. Menurut Yudi Latif, reformasi struktural pendidikan termasuk di rencana perubahan kurikulum seperti Ujian Nasional diganti dengan penilaian pribadi, cenderung mengurangi perhatian pada urusan “inputs” (uang, fasilitas, jumlah guru dan siswa, kurikulum, dan sumberdaya). Perhatian tertuju ke usaha memperbaiki pendidikan dengan memberi fokus pada “outcomes” (performa), dengan meredistribusikan otoritas. 
Asumsinya, bila pemerintah menggenggam sekolah secara ketat dalam hal akuntabilitas atas performa siswa, namun mengaturnya secara longgar untuk mendorong inovasi lokal (sekolah), maka pendidikan akan berkembang. 

Caranya, sekolah harus bertanggung jawab atas hasil bukan inputs. Untuk itu, pemerintah secara ketat mengatur performa sekolah, tetapi bukan sumberdaya dan proses. Sekolah harus dibuat akuntabel melalui sistem evaluasi berdasarkan ujian terstandard dan sistem insentif yang terpusat, bukan melalui kompetisi pasar.
Kita lihat Finlandia, negara kecil di era tahun 1950 an, negara ini banyak yang jadi tukang kayu dan penduduknya miskin. Tapi mereka bertekad ingin berubah. Caranya melalaui satu kunci meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidikan sangat diutamakan, mereka yakin inilah kunci utama menuju sejahtera. 

Di Finlandia, untuk jadi guru adalah profesi yang paling susah. Lulusan terbaik universitas dan harus melalui tes yang ketat. Kalau lulus bisa jadi guru. Gaji guru setara dengan gaji dokter. Lalu mereka diberikan pelatihan selama setahun di pusat pendidikan guru. Indonesia mulai menerapkan program pelatihan menjadi guru sehingga kampus kampus pencetak guru diberikan lembaga pelatihan guru. Tapi karena baru tentu belum optimal. Masih ada ketimpangan antarakampus akreditasi A dengan akreditasi B.
Finlandia dan rakyatnya menempatkan guru sebagai profesi terhormat dan mereka yang menyandang profesi guru merasa mendapat sebuah prestise dan kebanggaan tersendiri (Chatib, 2014). Di kita gaji guru masih di bawah UMK. Miris bukan.
Kompetensi guru merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Guru dengan kompetensi tinggi tentunya akan meningkatkan kualitas pembelajaran, dan akhirnya akan meningkatkan mutu sumber daya manusia yang dihasilkan oleh proses pembelajarannya. 

Masalah utama yang berkembang adalah rendahnya kompetensi desain pembelajaran, kompetensi penelitian dan kompetensi penguasaan bahasa Inggris. Masalah-masalah ini dapat diatasi dengan langkah-langkah misalnya: pendidikan dan pelatihan untuk para guru yang sesuai.
Pidato Miriam Kronish (Kepala Sekolah SD John Eliot 1988-2002, Needham, Massachusetts, Amerika Serikat- sekolah terbaik di Amerika: “masa depan pendidikan di Amerika ditentukan oleh sebuah kekuatan. Jika saja kami punya kekuatan, kekuatan tersebut adalah program utama di sekolah kami, yaitu pelatihan guru. Guru tidak hanya cukup membaca metode-metode belajar-mengajar terbaru. Guru harus dilatih, seperti halnya aktor atau penyair yang perlu berlatih. Setelah itu, guru baru dapat mengajarkannya kepada orang lain.”

Siapapun yang jadi  kepala daerah naikkan lah gaji guru lebih tinggi. Mereka yang mendidik anak anak bangsa harus diberikan gaji yang tinggi. Di atas UMK. Hal itu agar mereka menjadi berkompetensi dalam mengajar dan mendidik. Guru guru harus memahami betul metode pedagogi dengan sebaik baiknya. Karena inilah kunci perubahan besar agar tercipta sumber daya manusia yang handal. Tidak ada lagi guru diremehkan sebelah mata.  Guru harus menjadi profesi yang amat dihargai di negeri ini. Faktor penting ini harus betul betul diperhatikan oleh pemerintah.

Selain masalah peningkatan kualitas guru, yang harus diperhatikan infrastruktur sekolah. Pemerintah harus bisa pastikan belajar di sekolah anak anak dalam keadaan nyaman. Mereka merasa betah berada di sekolah. Artinya lingkungan sekolah harus nyaman, asri, tersedia kumputer, intenet yang memadai, AC, buku pelajaran dibagikan gratis, bersih, infokus, labor, perpustakaan dengan ketersediaan banyak buku bacaan lainya. Sarana pembelajaran pendidikan pendukung semua harus ada dan lengkap. Termasuk sarana olahraga sekolah. Guru  tidak boleh dalam satu kelas mengajar lebih dari 28 anak per kelas agar fokus dalam melakukan pengawasan.

Bahkan program full day school harus diterapkan semua sekolah termasuk sekolah Bintan. Namun kondisi sekarang tidak mungkin, pasalnya ruang kelas tidak cukup. Ada juga yang sampai memaksa dibuat kelas lagi sore. Anak anak SD dan SMP akibatnya tidak bisa belajar maksimal karena terbatas jumlah kelas dan guru serta waktu. Harusnya segera ditambah ruang kelas baru agar bisa merasakan full days school.
Full days school berdampak produktif bagi orang tua. Sehingga orang tua yang ingin bekerja tak terganggu. Produktivitas warga kota pun akan meningkat karena suami istri bekerja.

Dan harusnya hal mendasar ini harus dibenahi. Jangan ada lagi sekolah pakai shift. Terapkan full day school. Berikan makanan gratis di sekolah dengan didanai APBD. Guru harus membuat anak anak betah di sekolah. Karena itu rumah kedua mereka. Dan didanai melalui APBD. Minimal memberikan makanan pendukung atau susu kotak untuk anak anak kelas 1 SD.

Dan yang penting, gratiskan biaya pendidikan di Kepri di semua jenjang pendidikan SD dan SMP hingga SMA kalau perlu hingga bangku kuliah melalui beasiswa. Berikan beasiswa anak anak anak anak Kepri lainnya yang berprestasi dengan dana abadi pendidikan. Sehingga dapat dipastikan seluruh anak anak Kepri yang mampu secara akademik tak ada yang gagal melanjutkan pendidikan ke sarjana atau S2 diakibatkan biaya. 
Lalu jika anak anak kurang mampu secara akademik, pemerintah memberikan pendidikan vokasional. Tujuannya, lulus dari sekolah mereka bisa berkerja langsung dengan bekal skill yang diperoleh di pendidikan vokasi. Tak heran jika presiden Jokowi mengatakan tak penting izajah, yang penting skill. Karena mereka bisa kerja dan mendapat upah yang tinggi. Dengan upah tinggi, bisa menghidupi diri sendiri bahkan keluarga. Dan tentunya bisa lepas dari kemiskinan.

Asumsi dasar teori Human Capital adalah bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan pendidikan. Setiap tambahan satu tahun sekolah berarti, di satu pihak, meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang, tetapi, di pihak lain, menunda penerimaan penghasilan selama satu tahun dalam mengikuti sekolah tersebut. Di samping penundaan menerima penghasilan tersebut, orang yang melanjutkan sekolah harus membayar biaya secara langsung. 
Maka jumlah penghasilan yang diterimanya seumur hidupnya, dihitung dalam nilai sekarang atau Net Present Value. Present Value ini dibedakan dalam dua hal, yaitu apabila pendidikannya hanya sampai SMA atau melanjutkan kuliah di perguruan tinggi sebelum bekerja (Bruce E. Kaufmana dan Julie L. Hotchkiss, 1999).

Pemko Tanjungpinang, Pemkab Bintan hingga Pemprov Kepri harusnya membuat dana abadi pendidikan menyisihkan misalnya dari APBD di bank agar digunakan untuk dana abadi pendidikan. Atau melalaui dana CSR. Sekolah kan anak anak Tanjungpinang ke jenjang pendidikan tinggi setngginya. Lebih baik jika mereka dapat beasiswa LPDP yang juga dari dana abadi pendidikan Indonesia. Kalau ada dana abadi lokal, nantinya dengan dana ini dijadikan beasiswa untuk anak-anak Tanjungpinang kuliah.
Jika setiap tahun Pemko atau Pemkab Bintan atau Kepri minimal menyekolahkan anak anak Tanjungpinang ke negara maju di Eropa atau Amerika, lima orang saja, maka dalam lima tahun, akan ada 25 pemuda Tanjungpinang balik kampung dengan sumber daya manusia kualitas global. Dan mereka ini ke depan nya dengan jaringan internasional, pengetahuan global yang akan mengelola Tanjungpinang. Kalaupun nanti mereka jadi anggota DPRD atau jadi walikota, dengan reputasi dunia. Dan itu dimulai dari dana abadi pendidikan.

Baju Gratis Tak terkait Kualitas Pendidikan

Kembali lagi soal baju gratis yang dibagikan kepada siswa baik di Pemko Tanjungpinang dan Pemkab Bintan adalah kebijakan yang tidak menyentuh subtansi peningkatan kualitas pendidikan. Tetapi lebih kepada pencitraan kepala daerah sudah memerhatikan siswa dengan memberikan baju gratis. Nama kepala daerah bagus. 
Kualitas pendidikan akan baik jika guru diberikan pelatihan lebih maksimal kualitas ditambah, fasilitas belajar siswa di seluruh Bintan dan Tanjungpinang atau daerah lainnya sama baiknya. Baju gratis itu kebijakan pencitraan membantu orang tua tidak mengeluarkan biaya membeli baju.
 Tapi tidak mengubah peningkatan kualitas pendidikan. Baju akan habis pakai setiap tahun. Bayangkan jika dana Rp 8 miliar setiap tahun untuk menugaskan guru belajar atau melengkapi seluruh sekolah di Kepri dengan  multimedia lainya. Tentu akan lebih dirasakan dalam hasilnya ke depan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Tidak ada komentar: