Kamis, 27 Juli 2017

Mengembalikan Pendidikan Pancasila


Pemerintah Pusat membentuk Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) beradasarkan Peraturan Presiden No 54 Tahun 2017 untuk menanamkan kembali pentingnya nilai nilai Pancasila kepada seluruh rakyat Indonesia. Terutama kepada generasi muda yang menjadi cikal bakal penerus pembangunan bangsa. Karena posisi lembaga tersebut di bawah langsung Presiden diharapkan memiliki kekuatan yang maksimum menanamkan idiologi Pancasila secara berkelanjutan.

Salah satu tugas misalnya merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan menyusun garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan roadmap pembinaan ideologi Pancasila. Dan juga UKP-PIP juga berfungsi sebagai pemantau, mengevaluasi, dan mengusulkan langkah strategi untuk memperlancar pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila serta melaksanakan kerja sama dan hubungan antar-lembaga dalam pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila. (Kompas).


Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy salah satu bentuk konkrit dari kerja lembaga baru ini adalah merancang penghayatan dan pengamalan nilai Pancasila untuk dilebur ke dalam kurikulum pendidikan. Jika sudah dimasukkan dalam kurikulum, bisa jadi pembelajaaran tentang Pancasila akan bertambah. Atau bahkan nilai nilai Pancasila dimasukkan ke dalam bagian setiap pembelajaran.

 Nilai nilai pancasila yang berjumlah 45 butir jika diamalkan dengan baik oleh anak didik,  diharapkan memberikan harapan besar bahwa anak anak bangsa yang menjadi perenus akan semakin mencintai perbedaan yang terjadi di Indonesia saat ini. Karena tidak mungkin ratusan suku, ratusan bahasa, perbedaan agama disatukan. Namun selama ini Indonesia bisa mempraktikkan perbedaan atau kebhenekaan tersebut berjalan dengan baik. Walaupun kondisi terkini, sedikit terkikis Kebhenekaan kita akibat masalah politik, dan keadilan sosial.

Banyak analis barat menyebutkan, persatuan Indonesia yang terjadi saat ini merupakan anugrah yang luar biasa atau seperti "mukzizat" karena Indonesia menjadi negara yang besar dalam keberagamaan.  Contoh negara seperti Uni Soviet yang sekarang sudah terpecah pecah menjadi 15 negara, adalah contoh mereka tidak bisa mempertahankan keberagamaan tersebut. Namun Indonesia sejak diproklamirkan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Sukarno-Hatta sampai sekarang alhamdulilllah masih tegak berdiri menuju negara maju.

Jika nanti Pancasila ditambah di dalam kurikulum, maka nilai-nilai tersebut menjadi idaman dan sungguh menjadi keunggulan yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, langkah pemerintah ini harus didukung semua stakeholder yang ada baik di universitas, SMA, SMK hingga jenjang SD.  Pancasila perlu untuk didukung dengan usaha-usaha oleh membangun satu keterikatan bersama yang bernama Persatuan Indonesia.


Pancasila Pemersatu

Thomas Hobbes seorang filosof Inggris mengklaim bahwa masyarakat chaos modelnya yang ditandai peperangan terus-menerus antar manusia, tidak sepenuhnya khayalan. Hal ini didasarkan pada sebagaimana ditegaskan oleh Hobbes bahwa masyarakat internasional pada masanya. Waktu itu tidak ada otoritas sentral hegemonik yang mampu memasukkan sebuah tatanan kepada bangsa-bangsa.  

Oleh karenanya kita sudah lama belajar dari sejarah di Indonesia maupun bangsa lain di dunia bahwa tanpa satu ikatan yang kuat, kita bisa cercerai berai.  Aristoteles dalam karya besarnya (Magnum Opus), Nicomachean Etichs (kebijakan dan karakter moral yang memainkan peranan penting dalam mendefinisikan etika) menyebutkan bahwa kebaikan bersama merupakan muara etika politik sebuah negara.

Dalam butir butir Pancasila sesungguhnya masalah tersebut sudah diatur dengan baik. Masalahnya sekarang, apakah kita semua bisa melaksanakan dengan baik nilai nilai penting dari Pancasila.

Francis Fukuyama juga mengingatkan bahaya meninggalkan etika dalam politik yang sebenarnya sudah tarangkum dalam Pancasila. Menurut  Francis Fukuyama, menyebutkan bahwa setiap perubahan merangsang terjadinya guncangan. Guncangan karena adanya distingsi (drajat perbedaan reaksi seseorang terhadap berbagai stimulus atau peristiwa yang berbeda) antara nilai baru dengan nilai lama dalam sebuah masyarakat.  Lantas dengan ketidaksiapan mereka akan guncangan politik, ahirnya mereka melakukan pengebirian dan pengesampingan etika dalam jagad perpolitikan, pada kenyataannya etika politik merupakan kristalisasi dari nalar (logika) politik warga bangsa itu sendiri.

Ia merupakan muara sintesis dari logika-logika yang berkembang pada ranah publik demi terbangunnya kohesi sosial. Pelanggaran terhadap
etika politik dengan sendirinya menandakan matinya nalar kebangsaan dan dapat mengancam integrasi sosial. Dan itu sekarang secara berlahan mulai dirasakan oleh bangsa ini. Berpolitik meninggalkan etika menjadikan bangsa ini riuh rendah dengan persoalan konflik antara agama, suku bangsa. Apalagi  konflik tersebut menjadi terang benderang ketika memasuki tahun politik yang terjadi di Pilkada 2017.

Dan tensi politik di Indonesia kembali akan memanas memasuki pilkada gelombang ketiga 2018 dan sampai Pilpres 2019 bersamaan dengan pemilu legilslatif. Tentu kita semua berharap kegiatan politik tetap berjalan, perdamaian, ketertiban umum, toleransi terus terjaga di Indonesia.

Tentu, semua itu akan dapat terlaksana jika kita semua menjunjung etika politik. Kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin spiritual sekaligus mengendalikan otoritas politik selama mengemban risalah kenabian, dapat dijadikan napak tilas bagaimana seharusnya negara-agama dibangun tanpa memunculkan ketegangan dengan komunitas sekitar. (Wisri & Moh. Asra).  Melihat beberapa kenyataan yang terjadi di negeri ini, seharusnya setiap momentum politik tidak hanya dijadikan sebagai arena untuk mengejar kekuasaan, akan tetapi harus dimaknai sebagai wadah uktuk memilih pemimpin yang berkualitas. Dengan demikian, pemimpin negara, kepala daerah harus menyiapkan beberapa jurus ampuh supaya bisa menghadirkan pemerintahan yang bersih dan ini merupakan amanah dari rakyat yang harus dijalankan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di atas kepentingan pribadi dan golongan. Hanya dengan cara itu Keadilan Sosial yang menjadi cita cita bersama bangsa Indonesia dapat terwujud.

Pemimpin yang menang dalam setiap pertandingan di pilkada hendaknya menjadikan kemenangan untuk kemenangan semua. Bukan kemenangan kelompok tim sukses, parpol maupun sanak saudara. Kemenangan itu harus sebagai jalan menuju negara kesejahteraan. ***


terbit di Tanjungpinang Pos Juni 2017

Tidak ada komentar: