Jumat, 17 Maret 2017

Dinamika Pilkada dan Rumah Pintar Pemilu



Pilkada DKI Jakarta dan Banten dan 99 daerah lainnya di gelombang kedua pada 15 Februari 2017 banyak memberikan pelajaran untuk pilkada gelombang ketiga insyallah Juni 2018. Yang sangat mencolok adalah kemampuan beberapa penyelenggara pemilu di lapisan bawah KPPS  belum memahami dengan baik aturan pada hari H.

Hal itulah menyebabkan dua Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Jakarta dan 15 TPS di Provinsi Banten harus dilakukan pemungutan suara ulang (PSU). Masalahnya yang menyebabkan dilakukan PSU; karena petugas KPPS bersama panitia pengawas sama sama menyetujui warga DKI yang berada di luar negeri untuk diwakilkan kepada keluarganya menggunakan hak suara di Jakarta atau menggunakan C6 milik orang lain. Kemudian petugas membuka kotak suara tanpa persetujuan pengawas pemilu dan saksi. Padahal dalam UU 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati sudah jelas melarang hal itu.


Kemudian, masalah yang dihadapi petugas ketika antrean panjang, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 sebagai batas terakhir warga memberikan hak suara. Jika petugas bijak, di dalam aturan pun diperbolehkan kalau antrean panjang, maka petugas KPPS memberikan waktu tambahan kepada warga yang sedang antre untuk memberikan haknya.
Akibat warga yang dilarang memberikan hak suara, padahal mereka sudah antre, maka hal itu bisa menyebabkan terjadinya keributan di TPS dan pemilih pun kehilangan hak suara yang dijamin konstitusi kita.

Lantas apakah petugas KPPS tersebut sudah diberikan bimbingan teknis? Secara umumnya petugas tersebut sudah diberikan bimbingan teknis, oleh petugas PPS. Lalu mengapa mereka beberapa KPPS tak memahaminya? Bisa jadi karena pemahaman ditambah dengan tekanan yang kuat dari warga menyebabkan mereka alpa akan aturan tersebut sehingga memberikan kesempatan kepada yang tidak berhak memilih untuk menggunakan hak suara. Atau petugas KPPS tidak memahami aturan yang ada.
Pelbagai kejadian tersebut setidaknya menjadi pengalaman bagi KPU dan Bawaslu dan pihak lainnya untuk lebih meningkatkan kualitas penyelenggaraan pilkada gelombang ketiga. Terutama petugas PPK dan PPS agar lebih serius melakukan bimbingan teknis di jenjang di bawahnya. Apalagi pilkada gelombang ketiga akan dimulai tahapannya diperkirakan September 2017 hingga September 2018. Penyelenggara harusnya belajar dari pengalaman serentak dua pilkada, sehingga penyelenggaraan pilkada gelombang ketiga harus lebih baik dari sebelumnya.

Kabar baik dari pilkada gelombang kedua di mana jumlah gugatan di Mahkamah Konstitusi terlihat lebih menurun dibandingkan dengan gugatan pilkada di gelombang pertama. Dari 101 daerah yang pilkada di gelombang kedua, diperkirakan 30 persen yang melakukan gugatan. Bandingkan dengan gugatan pilkada gelombang pertama yang mencapai 150 gugatan. Hal itu sebagai pertanda proses demokrasi mulai berlangsung baik.

Rumah Pintar Pemilu
Tak bisa dipungkiri bahwa, kualitas demokrasi dinilai dari tingginya partisipasi publik yang memberikan hak suara pada hari H. Semakin tinggi partisipasi publik memberikan hak suara pada hari pecoblosan maka kualitas demokrasi di daerah dan di negara tersebut dianggap baik. Walaupun faktor lainnya juga harus lebih baik seperti yang diukur dalam indeks global demokrasi. Artinya, partisipasi masyarakat lebih diutamakan daripada kompetisi dan kompromi elite. Ruang partisipasi masyarakat tidak hanya dalam bentuk partisipasi pemilu dan pemilukada saja, tetapi digeser ke arah yang lebih substansial, yaitu memperjuangkan hak politik, sosial, dan ekonomi
Sebagai pondasi awal pembentukan karakter individu maka budaya dan pendidikan politik itu mesti ditumbuhkan sejak dini di institusi paling rendah seperti keluarga dan sekolah harus dibiasakan dengan budaya demokrasi.

Misalnya dalam pemilihan lokasi liburan, bisa saja melalui kesepakatan sesama anggota keluarga. Jika tidak menekukan titik temu, maka dilakukan dengan system voting. Begitu juga dengan pemilihan ketua OSIS di sekolah melalui system terbuka melibatkan seluruh stakeholder di sekolah. Bahkan KPUD bisa melakukan pendampingan pada saat proses pemilihan Osis. Dan mulai banyak kita lihat pemilihan RT dan RW di tengah masyarakat dengan model pemilihan langsung ala seperti pilkada yang dibuat KPU walaupun dalam cakupan mini.

Hal ini merupakan sebagai langkah awal mengenalkan system demokrasi di tengah tengah masyarakat yang diharapkan akan menjadi budaya yang baik guna mendukung proses demokrasi Indonesia yang sesungguhnya baik substansial dan procedural. Kita juga harus bangga dengan demokasi di Indonesia yang pernah membuat rekor dunia yakni pemilih terbanyak dalam menggunakan hak suaranya dalam satu hari pada saat pilpres 2014. Mengalahkan AS.
Budaya politik inilah yang harus ditumbuhkembangkan sejak usia dini. Budaya politik, kata Almond(1989), merupakan sikap individu terhadap sistem politik dankomponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistempolitik (RonnyBasista).
Kalau kita melihat hasil pilkada gelombang kedua, data dari KPU RI, tingkat partisipasi pemilih yang mencapai 74,5 persen. Tingkat partisipasi pemilih di pemilihan wali kota menjadi yang tertinggi, yaitu di atas 75,2 persen. Menyusul pemilihan gubernur sekitar 72,1 persen dan terakhir pemilihan bupati 68,50 persen.

Tingkat partisipasi yang cukup tinggi ini, menurut anggota KPU Ida Budhiarti, tak lain karena ada usaha perbaikan dari penyelenggaraan pilkada pada 2015, terutama menjaga hak konstitusional calon pemilih.
Pemutakhiran data pemilih dengan mensyaratkan kartu tanda penduduk elektronik dan surat keterangan kependudukan dari dinas kependudukan dan catatan sipil membantu penyelenggaraan sekarang ini.
Dan upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih ini dilakukan KPU RI dengan salah satu strategi membuat Rumah Pintar Pemilu. Insya Allah Maret ini KPU RI akan meresmikan Rumah Pintar Pemilu di Tanjungpinang.

Konsep rumah pintar pemilu itu menjadi penting untuk menjawab kebutuhan pemilih dan masyarakat umum akan hadirnya sebuah sarana untuk melakukan edukasi nilai-nilai demokrasi dan kepemiluan. Rumah pintar pemilu diharapkan dapat membentuk generasi bangsa yang mampu menerjemahkan nilai demokrasi sesuai khittahnya.
Generasi inilah yang selain dapat menjadi pemilih cerdas, juga dapat menjadi pemimpin yang berkualitas dan melahirkan kebijakan yang memihak pada tujuan kesejahteraan masyarakat. Materi edukasi yang disajikan dalam rumah pintar pemilu harus memuat sarana untuk memperkenalkan, memahamkan, menanamkan kesadaran dan menginspirasi masyarakat terhadap pentingnya nilai nilai demokrasi. Sarana itu dapat berupa sejarah, proses kepemiluan, dan simulasi proses pemilihan. Rumah demokrasi juga harus dapat menjadi wadah bagi komunitas pegiat pemilu dalam melahirkan gagasan pembaruan dan perbaikan proses politik dan demokrasi.

Hadirnya Rumah Pintar Pemilu diharapkan menjadi dayang pendorong agar publik pemilih pemula mengenal tentang system kepemiluan di Indonesia. Karena tujuan utama dari Rumah Pintar Pemilu itu adalah untuk meningkatkan partisipasi pemilih, baik secara kualitas maupun kuantitas dalam seluruh proses penyelenggaraan pemilu, menjadi pusat informasi kepemiluan, mengedukasi masyarakat akan pentingnya pemilu, dan demokrasi dengan cara :memperkenalkan nilai-nilai dasar pemilu dan demokrasi (pra pemilih), meningkatkan pemahaman pentingnya demokrasi (seluruh segmen) dan menanamkan kesadaran nilai-nilai berdemokrasi.

Akhirnya harapan kita terhadap kualitas pilkada dari tahun ke tahun harus semakin membaik. Apalagi tahun 2019 KPU dan Bawaslu akan melaksanakan pemilu serentak pilpres dan pemilu legislative. Tentu diperlukan kemampuan penyelenggara pemilu yang paripurna untuk menyukseskan agenda tersebut guna melahirkan pemimpin pemimpin bangsa yang mampu mewujudkan mimpi pejuang kemederkaan untuk membawa Indonesia menjadi negara adil dan makmur.***













Tidak ada komentar: