Selasa, 20 Januari 2015

Ketika Menjangkau Pendidikan di Pulau Terpencil Laut China Selatan


Demi pendidikan, hidup terisolasi dengan pendapatan tinggi


Setelah 65 tahun merdeka, ternyata peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dan Kepri pada khususnya masih menyelesaikan masalah infrastruktur sekolah. Masih setapak demi setapak meningkatkan kualitas lulusan. Di daerah terpencil Mentebung, Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau misalnya, pemerintah daerah berjuang menjangkau daerah tersebut dari keterasingan pendidikan. Dengan fasilitas pendidikan masih minim, pengorbanan hidup guru, proses belajar di sana terus berlangsung sejak 25 tahun lalu.


Dengan membawa dua tas besar, wajahnya ceria ketika baru saja turun dari Batavia Airlines penerbangan dari Jakarta-Tanjungpinang Oktober 2011. Itulah rentetan perjalan panjang Sawir setelah pulang dari China karena mendapatkan hadiah perjalanan dari Pemerintah Indonesia bertepatan 17 Agustus 2011. Ya, Sawir salah satu contoh guru di daerah terpencil di Indonesia menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. Ia sudah 25 tahun mengabdikan diri di daerah paling terpencil di Kepulauan Riau dan terdepan di Indonesia.

Pilihan terhadap Sawir sebagai guru di daerah terpencil bukanlah pilihan yang salah. Guru SDN 007 Mentebung di Desa Pulau Mentebung, Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau ini harus bertahan dalam waktu yang lama berpisah dari keluarga demi pengabdian. Ia rela pulang sekali sebulan melihat istrinya yang ditinggal di Kelurahan Teluk Sekuni, Tambelan.

“Kita hargai pengorbanannya mengabdi 25 tahun di Mentebung. Daerah yang terpencil,” kata Yatim Mustafa, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kepri, menjawab pertanyaan alasan mengapa Sawir yang dipilih mewakili Kepri.

Jarak Pulau Mentebung dari Sekuni, Kecamatan Tambelan sekitar 5 jam perjalanan laut dengan menggunakan kapal ikan nelayan. Sedangkan jarak Tambelan dengan Kabupaten Bintan 210 mil. Atau 24 jam perjalanan menggunakan kapal laut. Tambelan yang berpenghuni sekitar 5.000 jiwa merupakan kecamatan tertinggal dari Kabupaten Bintan. 80 persen penduduk Tambelan nelayan dan petani. Sekitar 132 guru PNS dan 67 orang pegawai honor di sektor pendidikan.

Karena jaraknya jauh dari Pulau Bintan, kondisi Mentebung masih terisolasi dari hiruk-pikuk modernisasi. Itulah menyebkan Sawir tak mungkin membawa serta istri dan anaknya ke Mentebung. Daerah yang dihuni sekitar tidak lebih 180 KK. Mungkin saja ia tidak melihat ketiga anaknya belajar berjalan pertamakali. Maklum sebulan sekali terkadang lebih dari sebulan ia di Mentebung.

Bapak tiga anak itu harus hidup menyendiri di tempat tugasnya. Tanpa merasakan kebahagian bermain bersama anak-anak dan istri. “Inilah risiko jika bertugas di daerah terpencil,” kata Sawir kepada Koran Peduli, belum lama ini di Tanjungpinang.

Di Mentebung tak ada SMP maupun SMA. Di sana hanya ada SD. Tamat SD, warga di sana memilih melanjutkan pendidikan SMP ke Tambelan. Atau bagi yang malas tetap memilih menjadi nelayan tradisional. Inilah tugas berat Sawir memberikan pemahaman kepada masyarakat Mentebung yang masih tertinggal dari segi pendidikan agar terus menimba ilmu sampai ke jenjang SMA.

Di Mentebung, Sawir mendiami sebuah rumah dinas yang dibangun seadanya dengan satu kamar tidur. Perlengkapan di dalam rumah minim. Jangan ditanya mengenai internet. Karena tidak ada jaringan internet. Satu-satunya hiburan bagi warga dengan menonton telivisi. Itupun menggunakan parabola. Fasilitas terhubung dengan dunia luar masih tersumbat. Pernah dibangun radio komunikasi dari pemerintah, hanya saja program tersebut tidak bisa dinikmati masyarakat Mentebung. “Baru saja dibangun, cuma  belum bisa dipakai karena masih ada alat yang harus dilengkapi,” ujar Sari Wan Topan, warga Tambelan yang mengawasi pembangunan sarana komunikasi tersebut.

Sawir hanya bisa berkirim surat kepada istrinya untuk memenuhi kebutuhan selama di Mentebung. Misalnya beras, minyak tanah, air bersih, dan keperluan tubuh sehari-hari seperti sabun, sampo dan odol gigi.

Sekali balik ke Tambelan, perlengkapan untuk bertahan sebulan harus dipenuhi. Karena di Mentebung tak lengkap menjual keperluan sehari hari. “Semuanya harus dibawa dari Tambelan. Di sana hanya banyak ikan,” kata Sawir menjelaskan.

Rumah yang dihuni Sawir langsung berhadapan dengan laut. Sampingnya pohon kelapa yang menjulang. Kehidupan masyarakat di daerah itu memang mengandalkan sektor perikanan.  Tidak ada bisnis perdagangan. Yang ada mereka setiap hari ke laut dan sore pulang ke rumah membawa ikan segar.  Setiap hari, rutinitas seperti itulah yang selalu dihadapi oleh Sawir. Selesai mengajar, Sawir terkadang turun ke laut untuk mencari ikan sambil mengisi waktu kosong menunggu matahari terbenam di sebelah barat.

“Mancing salah satu cara mengisi waktu kosong. Kalau tidak mancing, paling istirahat saja,” ujarnya.

Masalah yang dihadapi ketika bertugas di Mentebung menurut Sawir, daerah itu minimnya transportasi ke Tambelan. Pemerintah belum menyediakan transportasi yang laik ke Tambelan. Sehingga dengan keterbatasan itu, Ia harus sebulan sekali jumpa dengan keluarga.

Pegawai pemerintah yang bertugas di daerah terpencil itu bukan hanya Sawir. Di SD 007, Sawir ada empat guru. Nasib mereka sama dengan Sawir. Di sana juga berdiri Puskesmas Pembantu yang dijaga oleh perawat dari Dinas Kesehatan. Itupun terkadang banyak keluhan warga perawat jarang ke Mentebung. Sehingga mereka kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan.

Saat ini memang sudah ada transportasi khusus yang disediakan Pemerintah Bintan. Kapal ikan  tersebut ke Mentebung sebulan sekali mengantar pegawai yang bertugas di Mentebung.

Di sekolah itu kini  ada 54 siswa  dan siswa kelas jauh di Pulau Pengikik sebanyak 17 siswa. Pulau Pengikik lebih jauh dari Mentebung.  Butuh waktu 9 jam dari Pulau Mentebung dengan menumpang kapal ikan milik warga.

Yang membuat Sawir bahagia, mengajar di daerah khusus terpencil menjadi pelajaran yang berharga baginya. Karena ia menjadi orang yang dicontoh oleh siswa. Ia bisa merasakan betapa pentingnya dunia pendidikan bagi anak-anak Suku Laut di Mentebung yang selama ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan anak di Tambelan. Apalagi anak-anak yang menikmati sekolah di perkotaan dengan didukung sarana yang lengkap.

“Semangat belajar mereka masih tinggi. Mereka sudah sadar, menjadi nelayan bukanlah pekerjaan yang bisa menjamin kesejahteraan. Sehingga banyak anak-anak di Mentebung sudah berpendidikan SMA,” kata Sawir. Memang sebagian besar warga Mentebung nelayan yang setiap harinya mencari ikan.

Tak banyak yang mau berkorban seperti Sarwir. Ia menjangkau daerah terpencil di Kepri bahkan Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Kami melihat Sawir mempunyai dedikasi yang tinggi terhadap dunia pendidikan di pulau terluar sehingga diundang untuk bertemu langsung Presiden SBY pada peringatan Hari Kemerdekaan," kata Yatim memberikan  apresiasi kepada Sawir. Selain Sawir, ada Erlin Suara (46) guru SD 001 di Pulau Laut, Kabupaten Natuna yang mewakili Kepri ke Istana pada 17 Agustus tahun lalu.
                                                                          ***

Di Tengah Laut China Selatan

Mendengar nama Pulau Mentebung, maka calon pegawai pasti berdoa supaya tak ditempatkan di daerah tersebut. Ketika KP sampai di pulau itu belum lama ini, memang tak ada perubahan besar yang terjadi. Sepertinya kue Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) belum merata sampai di daerah terpencil.
Bandingkan dengan Tambelan yang saat ini sudah dibilang ada peningkatan pembangunan. Mentebung masih minim fasilitas publik. Dahan pohon kelapa terus melambai menandakan daerah ini belum dijamah pembangunan.

Menuju Mentebung dari Tambelan harus menggunakan kapal ikan dengan panjang 17 meter, lebar empat meter. Jika gelombang tinggi, maka tak ada kapal ikan yang sudi mengantar ke penumpang ke Pulau Mentebung. Kondisi gelombang di sekitar pulau tergolong ganas. Apalagi di Desember, tinggi gelombang bisa lima meter.  Hal inilah menyebabkan guru dan tenaga medis yang bertugas di sana harus bertahan lama. Mereka tak berani keluar pulau. Jika nekad, siap-siap nyawa bisa melayang.

"Kami pernah membuat cemas warga Tambelan karena satu hari tak pulang ke Tambelan  karena gelombang tinggi," ujar Hida’at Yahya, Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pendidikan Tambelan kepada KP 16 Maret 2012. Warga Tambelan dibuat bimbang karena tak bisa dihubungi lebih kurang 24 jam. Hidaat dan rombongan belasan orang harus berhenti semalam karena feri puskesmas tak mampu melawan tingginya gelombang.

Hidaat bersama dengan Kepala Puskesmas Tambelan Muzamir Ahmad mengunjungi pulau-pulau terluar di Tambelan. Mereka meninjau menggunakan Puskemas Keliling. Selain Mentebung, ada pulau lain yang berpenghuni. Misalnya Pulau Pinang 300 KK. Di samping Pulau Pengikik dihuni 100 KK. Kemudian ada Pulau Kepayang, yang dihuni belasan KK. Gugusan pulau tersebut berada di kawasan Laut China Selatan.

Pulau-pulau yang ada lembaga pelayanan pendidikan dan kesehatan ada di Mentebung dan Pulau Pinang. Sedangkan Pengikik belum disediakan. Siswa yang berada di Pengikik digabung dengan Mentebung melalui kelas jauh.

Menurut Hidaat Yahya, Mentebung dan Pulau Pinang tetap diberikan perhatian karena jumlah penduduknya terbilang ramai dibandingkan dengan pulau lainnya.

"Saya selalu memantau guru-guru yang bertugas di Pulau Atas," ujar Hidaat. Sebutan lain Pulau Pinang dan Mentebung adalah Pulau Atas karena memang letak gugusan pulau tersebut di atas Tambelan. Jika dari Pulau Bintan, maka kapal akan melalui Mentebung dan gugusan pulau lainnya sebelum sampai di Tambelan. Di Tambelan ada 75 gugusan pulau. Yang dihuni tidak banyak. Karena 95 persen warga memilih bermukim di Pulau Tambelan.

Hidaat sering mengantar guru-guru yang bertugas di sana dengan menggunakan kapal ikan milik Sabarudin, nelayan di Tambelan. Kapal tersebut sengaja disewa membawa guru-guru kembali bertugas. Masalahnya, jika tidak dicari kapal ikan, maka guru-guru tersebut tak masuk. Lagi-lagi, masalah transportasi rutin jadi alasan mengapa mereka enggan ke tempat tugas.

"Sekalian biar tahu medan di Mentebung dan Pulau Pinang. Dengan demikian,  saya bisa melaporkan kepada atasan mengenai permasalahan yang dihadapi guru-guru di sana," kata ayah empat orang anak ini yang baru setahun lebih menjadi kepala UPT. Sebelumnya Hidaat guru SD dan kepala Sekolah SDN 004 Tambelan. Hidaat telah 32 tahun mengbadikan diri jadi guru di Tambelan. Ia lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Tanjungpinang tahun 1978. Jika masih di UPT, maka Ia akan pensiun 2 tahun lagi. Sedangkan jika kembali ke guru, maka masa pensiunnya 6 tahun. Karena guru pensiun di usia 60 tahun. Tamat SPG, Hidaat langsung ditugaskan di Tambelan hingga anaknya tiga orang jadi sarjana. Yang keempat masih kuliah di Akademi Kebidanan Anugrah Bintan, Tanjungpinang.

Hidaat paham betul dengan kondisi laut Tambelan yang ganas. Ia ke sana menunggu musim tak bergelombang. Jika musim utara, maka gelombang ganas. Tak jarang, penduduk mendapatkan barang hanyut yang dibawa gelombang. Barang-barang itu tak lain, sisa-sisa dari pecahnya kapal yang melalui perairan Mentebung. Letak Pulau Mentebung yang strategis berada di tengah-tengah jalur perairan internasional menjadi lintasan berbahaya. Tak jarang ada kapal yang tenggelam di sana.

Fasilitas bangunan dan kelengkapan sarana pendidikan, lanjut Hidaat, masih dinilai kurang dibandingkan dengan sarana SD di Tambelan. Memang ini jadi perhatian bersama supaya fasilitas pendidikan lebih baik. Apalagi Hidaat mendapatkan informasi bahwa tahun ini, Kementerian Pendidikan Nasional mengalokasikan anggaran rehab sekolah di seluruh Indonesia.

Anggota Komisi X DPR-RI  yang membidangi masalah pendidikan Asman Abnur membenarkan masalah rehab sekolah. Menurut Asman, ditargetkan dalam tahun ini sekolah yang kurang layak mendapatkan bantuan rehabilitasi dari Pemerintah Pusat. Asman menyatakan, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) telah meneken kontrak untuk memperbaiki 21.500 ruang kelas yang rusak dengan anggaran Rp2,8 triliun.

Kata politisi PAN ini,  Pemerintah meluncurkan program Gerakan Nasional Penuntasan Rehabilitasi Sekolah sejak 2011 ditargetkan perbaikan 18.000 ruang kelas SD dan 3.500 di SMP dapat diselesaikan dengan total anggaran Rp2,8 triliun. Sementara sisanya, 131.256 ruangan, masuk anggaran 2012.

“Kita alokasikan 2012 ini Rp15-20 triliun dulu untuk rehabilitasi sekolah. Jadi kalau ada sekolah yang tak layak laporkan segera. Karena dananya sudah  disiapkan,” kata Asman yang masa kecilnya sekolah di Tanjungpinang.  Asman menyebutkan mengenai anggaran rehab sekolah ketika membuka acara Kongres DPD PAN Tanjungpinang pada awal akhir Februari 2012 di Hotel Comfort Tanjungpinang.

***


Dihuni Suku Laut

Pulau Mentebung, Pengikik, dan Pulau Pinang dihuni dari Suku Laut Lingga, yang dulunya Pusat Kerajaan Riau Lingga. Semula hanya empat kepala keluarga yang mendiami pulau yang banyak ditanami pohon kelapa. Karena terus berkembang, kini jumlah penduduk di Mentebung mencapai 60 KK. Perilaku kebudayaan di tiga pulau ini baik itu di Pengikik, Mentebung dan Pulau Pinang hampir mirip.

Menurut Hamdi Atan, mantan kepala desa di Pulau Pinang, ajaran Islam masuk di Pulau Pinang dan Mentebung sekitar tahun 1972. Penyebaran Islam dibawa oleh warga Tambelan yang sebelumnya sudah mendiami Tambelan. Sebelum warga memeluk agama Islam, setiap perayaan Tahun Baru China, penduduk setempat turut merayakan. Bahkan ada juga yang percaya kepada kekuatan alam misalnya batu, pohon, dan kekuatan mistik lainnya yang dianggap bisa memberikan pertolongan di saat mereka sedang sakit. Maklum, di pulau itu dulunya tidak ada dokter dan perawat. Jika sakit, mereka akan menyembuhkan dengan bantuan tenaga gaip. Tetapi, entah kebetulan atau tidak, warga yang sakit bisa disembuhkan biasanya oleh orang pintar. Terkadang juga oleh kepala adat di sana.

Hamdi diangkat menjadi Kepala Desa di Pulau Pinang 2 Februari 1996. Hamdi merupakan salah satu keturunan warga Pulau Pinang. Kini dia sudah pindah ke Tambelan. Masih banyak saudaranya yang tinggal di pulau itu. Misalnya keponakan Hamdi, Syamsudi pernah menggantikan posisinya jadi kepala desa di sana.

Ada adat istiadat yang unik dari warga Pulau Pinang dan Mentebung. Saat melaksanakan pernikahan, mereka melakukan pesta adat selama tujuh hari tujuh malam tanpa henti. Untuk menghibur warga, ketua adat yang dipilih menggelar hiburan joget dan minum- minuman alkohol. Sang pengantin mengelilingi tarup. Pengantin menjadi raja selama tujuh hari. "Pesta pernikahan samalaman suntuk," kenang Hamdi, saat masih jadi kepala desa. Sekarang budaya seperti itu mulai ditinggal.

Lingkungan yang terbatas, menyebabkan pernikahan yang dilakukan masih ada hubungan saudara. "Dulu tak ada pendatang, sehingga mereka menikah masih terkait hubungan keluarga," kata Hamdi menjelaskan mengenai prilaku kehidupan warga. Jangan dibayangkan setelah menikah, sang pengantin mendapatkan buku nikah merah dan hijau seperti sekarang ini.

Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) tak ada di sana. Yang biasanya menikahkan kedua mempelai melalui ketua adat. Ketua adat memegang kendali masyarakat. Ia laksana raja yang menjalankan roda pemerintahan. Ketua adat juga mengatur tatakrama pergaulan sehari-hari. Untuk jadi ketua adat bukan sembarangan orang. Minimal ketua adat memiliki ilmu kanuragan agar bisa melindungi warganya dari tindak kejahatan pendatang.

"Dulu ada orang yang datang untuk merampok kelapa. Tetapi Batin atau ketua adat kita sakti, bajak laut itu langsung lari ketakutan dan pulang," kata Syafii, anak Batin, Sulaiman yang pernah disegani di Pulau Pinang kala itu.

Di Pulau Pinang juga tidak ada polisi. Karena kehidupan mereka selalu damai. Kalaupun ada pertengkaran, yang akan menyelesaikan ketua adat bersama dengan anggotanya. Seiring kemajuan peradaban kehidupan, sekarang pernikahan di kalangan warga Mentebung sekitarnya dilakukan di KUA di Tambelan. Pesta pernikahan juga sudah layaknya adat Melayu Tambelan.

“Mereka sudah banyak nikah di KUA Tambelan,” ujar Utha Cuandra, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Tambelan yang sudah menjadi KUA lebih dari 3 tahun di Tambelan.

Yang agak unik dari adat Pulau Atas, setiap ketua adat memiliki anak buah. Yang dipercaya ketua adat yakni Ulu Balang dengan jumlah anggota 20 orang. Mereka siap bekerja sesuai dengan keinginan ketua adat. Ketua adatlah orang yang paling dihargai di pulau.

Jika ada warga yang sakit, ketua adat melakukan pengobatan dengan menggunakan tenaga gaib. Mereka percaya dengan kekuatan gaib yang bisa menyembuhkan. Walaupun berbetuk pantun, tetapi obat megik sangat mujarap untuk menyembuhkan penyakit. Kini, dengan masuknya tenaga medis di sana, praktek pengobatan ala gaib ini mulai ditinggalkan.

Tingkat pendidikan di Pulau Pinang banyak tak tamat SD. Kebanyakan warga tidak bersekolah. Sejak kecil sudah dibawa orang tua mereka ke laut untuk memancing. Secara bertahap, di sana sudah dibangun sekolah dasar. Fasilitas sekolah terbilang baik. Setidaknya ada empat kelas, serta pustaka  sekolah dan ruangan kepala sekolah. Juga disediakan perumahan guru sebanyak empat unit tipe 21 terbuat dari semen.

Tamat SD, anak-anak melanjutkan pendidikan ke Tambelan. Sumber pendapatan warga mengandalkan hasil laut yang melimpah. Banyaknya hasil ikan, membuat nelayan asing dari Thailand dan Vietnam banyak yang mencuri ikan di sana. Nelayan Mentebung menjual hasil tangkapan mereka langsung ke Kalimantan Barat (Kalbar). Jarak Kalbar lebih dekat dibandingkan dengan ke Pulau Bintan. Waktu tempuh Mentebung ke Kalbar lebih kurang 5 jam. “Inilah menyebabkan banyak kebutuhan warga dipasok dari Pontianak,” ujar Bulhaji warga Tambelan kepada KP.

 Menurut Hamdi, dulunya nelayan di sana lebih maju dibandingkan di Nelayan Tambelan sendiri. Sebab, saat nelayan di Pulau Pinang sudah menggunakan perahu bermesin, nelayan di Tambelan masih menggunakan perahu layar. Karena melihat nelayan Mentebung dan Pengikik menggunakan perahu bermesin, secara berlahan nelayan di Tambelan menggunakan mesin diesel hingga saat ini.

Pejabat yang pernah singgah di Pulau Pinang dan Mentebung itu Bupati Bintan Ansar Ahmad. Itupun saat Ansar melakukan kampanye pemilihan kepala daerah 2005. Sejak 2005 hingga saat ini, belum pernah Ansar menginjakkan kaki lagi di sana.

Anggota DPRD Bintan Rahmi Komalawati juga sampai di Mentebung. "Warga di Pulau Mentebung membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah. Kasihan mereka masih tertinggal dari segi pendidikan dan fasilitas lainnya," kata politisi Partai Patriot Nasional yang sudah dua periode mewakili daerah pemilihan Tambelan. Mereka memuji Rahmi yang mau turun langsung menemui mereka. Sedangkan anggota Dewan yang lain hanya berjanji saja. Tapi tak pernah menemui mereka.

Tantangan hidup bermukim di sana lebih keras. Sumber air bersih sangat sulit. Warga membawa air bersih dari Tambelan. Kandungan kadar garam yang tinggi, membuat air minum terasa asin. Jangan coba memasak nasi menggunakan air sumur, rasa nasi akan bercampur garam. Lebih aman, memasak nasi dengan air hujan atau air yang dibawa dari Tambelan. Tapi karena sudah terbiasa, warga masih nyaman tinggal di Pulau Pinang dan Mentebung.

Warga memang mengharapkan pemerataan pembangunan infrastruktur laiknya desa-desa lain di Kabupaten Bintan. Misalnya pembangunan Puskesmas. Sekarang belum ada Puskesmas di sana. Yang ada hanya Puskesmas pembantu. Kalau sakitnya mulai kritis, baru di bawa ke Puskesmas Tambelan. Tenaga medis yang bertugas sulit untuk bertahan karena lingkungan yang kurang bersabahat. Apalagi, belum ada jaringan telekomunikasi. Salah satu tenaga kesehatan yang bertugas di Mentebung sempat menderita sakit. Dan akhirnya segera dipindah lagi ke Tambelan.

Bahkan, warga Tambelan yang hendak ke Pulau Pengikik harus ke Sei Durik, Kalimantan Barat. Transportasi dari Kalbar lebih banyak dibandingkan dari Tambelan. Pasalnya Desa Pengikik lebih dekat dengan Kalbar. Jarak dari Kalbar ke Pengikik cuma 4 jam dengan menggunakan kapal ikan nelayan. Sedangkan dari Tambelan, waktu yang dibutuhkan bisa 6 jam.

Mirda, salah satu warga Desa Hilir, Tambelan harus ke Sungai Durik, Kalbar. Dari Sungai Durik, baru Mirda melanjutkan perjalanan ke Pengikik.

Menurut Bulhaji, tokoh pemuda Tambelan, banyak masyarakat Mentebung, Pulau Pinang dan Pengikik hijrah ke Tambelan. Hal itu dilakukan karena mereka mulai sadar, ternyata kehidupan di Tambelan lebih nyaman dibandingkan hidup di pulau mereka dilahirkan. Di Tambelan mereka tinggal di Kelurahan Teluk Sekuni dengan menyewa rumah warga. Pendapatan sehari-hari tetap mencari ikan. Segala kebutuhan hidup bisa terpenuhi secara wajar. Tak seperti tinggal di pulau-pulau itu yang terbatas keperluan sehari-hari.


***


Kesejahteraan guru daerah khusus terjamin                         

Sepertinya menuntut ilmu membuka cakrawala masyarakat di daerah terpencil di Tambelan. Khususnya di Mentebung serta pulau lainnya. Minat masyarakat menyekolahkan anaknya ke SD kian tinggi. "Jumlah siswa setiap tahun bertambah, sehingga butuh ruang belajar baru," kata  Sawir.

Pemerintah Provinsi Kepri pun sadar pentingnya meningkatkan motivasi guru mengajar di daerah terpencil. Caranya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepri mengalokasikan anggaran sektor pendidikan sebesar 20 persen. Termasuk juga peningkatan dana insentif bagi seluruh guru di Kepri. Tahun 2012,  Rp90 miliar disiapkan dana insentif untuk guru di Kepri. Dana insentif tersebut bisa dinikmati guru swasta dan negeri.

“Memang tidak ada perbedaan. Yang penting guru dapat bantuan,”ujar Hanafi Ekra, anggota Komisi IV DPRD Kepri yang membidangi pendidikan kepada KP pertengahan Maret 2012. Yang membedakan hanya besar jumlah yang diterima. Bagi guru yang bertugas di daerah terpencil, maka pendapatan yang diterima lebih besar dibandingkan dengan guru di daerah perkotaan seperti di Tanjungpinang.

Menurut Hanafi, perbedaan besarnya tunjangan karena pemerintah memberikan apresisasi kepada guru yang berkorban mengajar di daerah terpencil seperti di Mentebung dan Tambelan. Begitu juga di daerah  Berhala, Kabupaten Lingga.

Bahkan, bukan hanya Pemprov Kepri yang memberikan bantuan, Pemerintah Kabupaten Bintan pun memberikan alokasi yang berbeda insentif guru di Tambelan dengan guru yang bertugas di Bintan.

Sehingga guru yang berada di Tambelan mendapatkan dua insentif. Pertama dari Provinsi Kepri dan kedua dari Kabupaten Bintan. Ditambah dengan insentif tunjangan khusus dari Kementerian Pendidikan Nasional melalui Keputusan Menteri No: 0039.3101/C5.6/K11/SK/2011 tentang Penerima Tunjangan Khusus Bagi Guru yang Bertugas di Daerah Khusus Pada Jenjang Pendidikan Dasar Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri. Keputusan tersebut diteken 15 Juli 2011 oleh Direktur Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasaar Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar,  Sumarna Surapranata. Dalam keputusan tersebut,  guru PNS dan non PNS mendapat tunjangan .

“Berdasarkan peraturan itu tak ada perbedaan antara PNS dan non PNS,” ujar Hidaat, Kepala UPT Pendidikan Tambelan menjelaskan.

Pelbagai jenis insentif ditambah dengan gaji pokok serta tunjangan sertifikasi, rata-rata guru di Tambelan berpenghasilan di atas Rp6 juta sebulan. Hanya saja tunjangan sertifikasi dibayar enam bulan sekali. Tunjangan khusus dibayar setahun dua kali. Yang rutin diterima per bulan gaji pokok. Contohnya Sawir dengan golongan IIId setiap bulan bisa menerima lebih dari Rp6 juta. Gaji pokoknya Rp2,8 juta, ditambah tunjangan khusus sebesar Rp2,8 juta, ditambah tunjangan profesi dari SBY Rp250 ribu, tunjangan provinsi Rp300, tunjangan kinerja Pemkab Bintan Rp1,5 juta.

“Memang pendapatan guru sudah tinggi. Makanya kita harapkan mereka serius dalam mengajar,” ujar Hidaat Yahya.

Haris Widodo, Kepala SMAN 6 Tambelan juga mengakui, banyak tunjangan diberikan pemerintah untuk daerah terpencil seperti di Tambelan. Tunjangan tersebut memberikan daya dorong agar mereka tetap bertugas di Tambelan.

“Tapi ada juga yang tidak tahan minta pindah ke kota walaupun sudah banyak tunjangan daerah terpencil,” kara Haris yang sudah 6 tahun bertugas di Tambelan. Haris sebenarnya berasal dari Yogyakarta. Lulusan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu tertarik mengajar di Tambelan dan mendapatkan istri keturunan Tambelan. Haris mengetahui Tambelan yang terpencil dari pamannya Sukiryono yang sudah 26 tahun jadi guru di SMPN Tambelan.

Endi Saputra, guru SMA di Tambelan juga membenarkan bahwa selama 8 tahun di Tambelan, ia merasa bantuan dari pemerintah sudah cukup. Apalagi ayah satu anak ini sudah mendapatkan sertifikasi guru baru 4 bulan lalu.

“Sebenarnya saya sudah ada rencana mau pindah. Cuma belum disetujui atasan,” ujar Endi yang diangkat jadi guru karena masuk melalui honor.

Menurut Endi, guru SMA tidak mendapatkan tunjangan khusus dari Kementerian Pendidikan. Kebijakan tersebut hanya untuk guru SD dan SMP. “Kita berharap Pemerintah Pusat memberikan tunjangan khusus juga kepada guru SMA supaya kami terus termotivasi,” kata alumnus Universitas Bung Hatta, Padang itu.

Iwan Muttaqin, guru di SMAN 6 Tambelan juga belum berencana pindah ke kota. Walaupun mantan Sekjen Himpunan Mahasiswa Islam (MHI) Pontianak ini sudah enam tahun bertugas di Tambelan.

Ia berkeyakinan, selama masih di Tambelan, bersama dengan istrinya Nuraini, Iwan berusaha maksimal memberikan ilmu yang mereka peroleh kepada anak didik. Bahkan di Tambelan Iwan bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat dengan menjadi khatib Jumat. Selain itu mengisi acara keagamaan lain. Iwan kini dipercaya ketua Panitia Hari Besar Islam (PHBI) di Tambelan.

Menurut Iwan, kahadirannya di Tambelan setidaknya memberikan manfaat bukan hanya untuk anak didik, tetapi juga untuk pembangunan masyarakat. Jika pindah ke kota, jelasnya, maka biaya hidup jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya hidup di Tambelan.

“Mungkin satu saat nanti bisa saja kami pindah,” ujar Iwan yang beristri guru MTS di Tambelan. Walaupun sudah memiliki rumah di Kijang Kencana 3, Tanjungpinang, Iwan masih bertahan di Tambelan karena ingin mengabdikan diri di tempat kelahirannya.

Di tempat terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Kepri, Yatim Mustafa menyebutkan, pihaknya sudah mempersiapkan pengembangan pendidikan di Kepri. Bahkan Dinas Pendidikan Kepri sudah memasang visi dan misi di dalam portal mereka. Misalnya mereka menyiapkan Renstra Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau disusun berdasarkan filsafat Pancasila serta Kebijakan Umum Anggaran Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau berlandaskan pada paradigma pendidikan dan pemberdayaan manusia seutuhnya, paradigma pendidikan sepanjang hayat yang berpusat pada peserta didik, paradigma pendidikan untuk semua yang inklusif, dan paradigma Pendidikan untuk Perkembangan, Pengembangan, dan/atau Pembangunan Berkelanjutan (PuP3B).

Rancangan Renstra Dinas Pendidikan Kepri disusun melalui berbagai tahapan, termasuk interaksi dengan para pemangku kepentingan pendidikan di daerah, partisipasi seluruh pejabat Dinas Pendidikan Kab/Kota, serta dengan memperhatikan arah reformasi perencanaan dan penganggaran yang telah ditentukan oleh Bappeda. Renstra ini juga disusun dengan semangat untuk menjaga kesinambungan pembangunan pendidikan daerah dan sebagai landasan bagi pemerintahan periode 2010--2014 dalam menentukan arah pembangunan pendidikan Kepri  ke depan.

Dalam dokumen Renstra Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2014 memuat enam strategi yaitu (1) Perluasan dan pemerataan akses pendidikan usia dini (PAUD) bermutu dan berkesetaraan gender; (2) Perluasan dan pemerataan akses pendidikan dasar universal bermutu dan berkesetaraan gender; (3) Perluasan dan Ppmerataan akses pendidikan menengah bermutu,berkesetaraan gender, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat; (4) Perluasan dan pemerataan akses pendidikan tinggi bermutu, berdaya saing internasional, berkesetaraan gender dan relevan dengan kebutuhan bangsa dan negara; (5) Perluasan dan pemerataan akses pendidikan orang dewasa berkelanjutan yang berkesetaraan gender dan relevan dengan kebutuhan masyarakat; dan (6) Penguatan tata kelola, sistem pengendalian manajemen, dan sistem pengawasan interen.

Bagi Yatim, Renstra ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi satuan kerja pendidikan, baik di provinsi maupun di kota dan kabupaten dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan pendidikan Kepulauan Riau serta mengevaluasi hasil kinerjanya.

Gubernur Kepri Muhammad Sani dalam beberapa kesempatan selalu mengingatkan pentingnya pendidikan bagi anak anak daaerah terpencil. Sani yang berasal dari kalangan tidak mampu di Kabupaten Karimun harus bersusah payah bersekolah hingga lulus APDN. Sani memulai karir dari tukang lipat amplop di Kecamatan Bintan Timur, Bintan hingga kini jadi Gubernur Kepri yang kedua.

“Hanya dengan pendidikan bisa mengubah strata ekonomi. Jika tidak sekolah maka sulit mengubah dari miskin menjadi kaya,” ujar Sani yang selalu mendorong guru di daerah terpencil diperhatikan pemerintah.

Pentingnya akan pendidikan, membuat Sani memproklamirkan pendidikan budi pekerti di Kepri yang bersumber dari Gurindam 12 Raja Ali Haji. “Pendidikan karakter itu yang harus dibentuk untuk anak-anak di Kepri supaya mereka memiliki ahklak yang baik,” kata mantan Bupati Karimun itu.

Pada saat meresmikan penegerian Universitas Maritim Raja Ali Haji(UMRAH) di Tanjungpinang akhir tahun lalu berdasarkan Peraturan Presiden No 53 tahun 2011, Menteri Pendidikan Nasional M Nuh menyatakan,  kebijakan pendidikan nasional tahun 2012 juga akan difokuskan untuk penguatan persoalan pendidikan di daerah perbatasan dan terpencil, daerah nelayan, hingga daerah yang tertinggal dalam kemajuan pendidikan secara nasional.

”Kawasan itu selama ini terabaikan. Selain itu, pemerintah juga berkonsentrasi untuk mempercepat pemenuhan standar pelayanan minimal di setiap jenjang pendidikan,” kata M Nuh.

Mendiknas mengatakan, pemerintah mulai mengembangkan sekolah terpadu, yakni sekolah yang dalam pembangunannya meliputi bangunan sekolah, asrama siswa, rumah guru, dan sarana lainnya, untuk pembangunan di wilayah perbatasan dan terpencil. ”Upaya ini untuk mengatasi masalah jarak tempuh siswa di daerah perbatasan dan terpencil ke sekolah,” kata Nuh. ”Persoalan ini juga menjadi salah satu penyebab tingginya kasus putus sekolah anak-anak usia wajib belajar.”

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, masih banyak SD dan SMP yang belum memenuhi standar pelayanan minimal (SPM). Saat ini sekolah di bawah SPM 41,31 persen atau 74.806 sekolah. Sementara yang berkategori SPM 50,39 persen atau 91.243 sekolah, standar sekolah nasional baru 8,03 persen atau 14.545 sekolah, sedangkan RSBI 0,33 persen atau 595 sekolah.  Masalah utama yang tetap selalu menjadi garis tebal di daerah terpencil adalah minimnya fasilitas, kurangnya tenaga pengajar, serta susahnya akses.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kepri Ing. Iskandarsyah mengatakan,   permasalahan utama pendidikan di Indonesia dan Kepri pada khususnya masih membenahi infrastruktur sekolah. Padahal, Indonesia sudah 65 tahun merdeka. Sudah saatnya, kata Iskandarsyah, sekolah di Indonesia melahirkan kualitas yang bisa bersaing dengan negara lain di dunia.

Untuk di Kepri, lulusan SMK dan atau SMA bisa diterima bekerja di Singapura dan Malaysia. Karena dua negara tetangga Kepri ini pendidikannya sudah maju dibandingkan dengan Indonesia.

“Bagaimana ke depan, pendidikan di SMK mengeluarkan lulusan SMK kita bisa tertampung di dunia kerja yang sesuai dengan kebutuhan di Kepri,” kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lulusan Rotterdam University of Applied Science, Belanda.

Untuk melahirkan lulusan yang siap pakai, jelasnya, tidak cara lain kecuali dengan membuat konsep pendidikan yang baik. Bukan hanya terjebak pada rutinitas meluluskan siswa.

Iskandarsyah mengambil contoh, harusnya pemerintah fokus menjadikan SMK menjadi basis pendidikan yang kuat. Misalnya di Tambelan sebagai daerah yang berpotensi di sektor perikanan dibuat SMK yang berbasis perikanan satu-satunya di Kepri. Bagi siswa yang ingin memperdalam masalah perikanan bisa sekolah di Tambelan karena sudah dibuat SMK Perikanan dengan fasilitas yang memadai.

Begitu juga di Batam sebagai kawasan industri di Kepri dibuat sekolah SMK yang memberikan nilai tambah di bidang las atau welding. Dengan demikian, lanjutnya, siswa memiliki pilihan menuntut ilmu. Mereka yang ingin bekerja di sektor industri bisa ke SMK Batam karena dijamin kualitasnya siap pakai. Sedangkan siswa yang ingin terjun ke sektor perikanan dan kelautan bisa memilih sekolah SMK Tambelan yang memiliki kelebihan di perikanan.

“Kedua sekolah tersebut harus disediakan fasilitas yang lengkap sehingga semua kebutuhan siswa terpenuhi,” tuturnya.

Dan paling penting, guru yang mengajar di sekolah unggulan tersebut harus memiliki kompetensi. Hal ini akan menyebabkan sekolah harus mendapat standar ISO sehingga lulusan siswanya dicari perusahaan.

“Saya kira pendidikan Kepri ke depan harus menggunakan konsep tersebut kalau ingin generasi muda di Kepri baik di pelosok dan kota bisa bersaing di era global,” katanya.

Dia menambahkan, banyak kasus yang terjadi di Kepri saat ini, pemerintah belum berpikir jauh ke depan. Contohnya, banyak kasus ada perusahaan asing yang akan membutuhkan tenaga kerja di bidang las sebanyak 1.000 orang, tetapi pemerintah daerah tidak menyiapkan SDM yang bisa mengisi kebutuhan tersebut.

Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan tenaga las, perusahaan asing harus mendatangkan tenaga kerja di luar Kepri. Harusnya jauh-jauh hari permasalahan tersebut harus diantisipasi dengan membuka sekolah SMK yang handal di bidang las. Bukan hanya mendirikan Balai Latihan Kerja.

“Sehingga saat pembukaan perusahaan baru, anak-anak daerah sudah siap untuk mengisi lowongan kerja itu,” ujarnya.

Ke depan, tambahnya, tantangan globalisasi menyebabkan  tenaga kerja asing bisa masuk dengan mudah mencari kerja di Kepri. Dan saat ini sudah banyak tenaga kerja asing yang mencari nafkah di sini karena disebabkan SDM lokal belum mampu mengisi permintaan perusahaan. Inilah yang harus dijawab oleh sistem pendidikan di Kepri. Jangan sampai dari tahun ke tahun, pemerintah masih terjebak pada masalah rehab sekolah.

“Itu pola pendidikan kuno. Malu kita sama Singapura dan Malaysia,” kata ayah satu anak itu.

Sebagai putra daerah, Iskandarsyah sedang menyusun konsep yang matang untuk pengembangan pendidikan sekolah di Kepri.

“Saya masih menyusun polanya yang pas. Saya melihat sistem yang dibuat pemerintah saat ini ada yang salah. Makanya kita tidak bisa berbicara mengenai masalah mutu pendidikan. Yang kita hadapi masih bagaimana siswa bisa lulus. Sedangkan mutu pendidikan belum tercapai,” kata dia.

Contoh nyata, lanjutnya, Dinas Pendidikan Provinsi Kepri membangun Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) di Pulau Dompak, Tanjungpinang. Anehnya, kata dia, sekolah tersebut belum ada siswanya dan tenaga pengajar. Bukannya lebih baik jika sekolah yang ada saat ini dan sudah memiliki siswa dijadikan RSBI. Sehingga prosesnya lebih mudah.

“Manajemen pemerintahan terkadang lucu. Sekolah yang belum ada mau dijadikan contoh, sedangkan sekolah yang sudah beroperasi belum dijadikan contoh.”

Menurut koordinator Komisi IV bidang Pendidikan di DPRD Kepri ini,  dari dulu sekolah di Kepri baru rintisan internasional. Inilah tantangan bagaimana sekolah di Kepri termasuk di daerah terpencil tersedia sekolah internasional yang kualitasnya sudah standar internasional. Untuk menjadi SBI, masih terkendala tenaga pengajar dan fasilitas.

“Saya kira yang harus dijawab pemerintah kita bagaimana sekolah di Kepri harus meningkatkan kualitas lulusan dengan standar internasional. Dengan demikian lulusan kita bisa bersaing secara global,” ujarnya.

                                                            ***

Pemerataan Pendidikan

Ruangan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bintan mendadak ramai. Ruangan tersebut dipakai pertamakali Senin (12/3/2012) sejak diresmikan penggunaanya oleh Gubernur Kepri Muhammad Sani belum lama ini.

Bupati Kabupaten Bintan Ansar Ahmad menyampaikan draf Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Penyelenggaraan Pendidikan. Ranperda tersebut dibuat berdasarkan Undang-Undang  No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Menurut Ansar, Ranperda Penyelenggaraan Pendidikan merupakan tanggungjawab pemerintah dalam rangka menjamin pemerataan kesempatan  pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, dan  peningkatan sumber daya manusia, guna mewujudkan  manusia yang berkualitas baik di perkotaan maupun di daerah terpencil.

Misalnya dalam Ranperda ini dibahas masalah prinsip penyelenggaraan pendidikan yang tertera di Bab III, pasal  4, ayat ((3) berbunnyi, pendidikan diselenggarakan untuk memberi keteladanan,  nilai-nilai kebenaran, membangun kemauan, menjunjung  tinggi hak  asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, lingkungan dan kemajemukan bangsa yang berlangsung sepanjang hayat.

Kemudian di ayat (4) pendidikan  diselenggarakan  dengan  mengembangkan  budaya  membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

Begitu juga di ayat ( 8) pemerintah daerah wajib menyusun dan melaksanakan Standar Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Standar  Pelayanan Minimal (SPM). 

Di bab X, pasal  34, ayat (1) disebutkan, pendidikan bertaraf  internasional  adalah  pendidikan  yang  diselenggarakan  dengan  menggunakan  Standar  Nasional  Pendidikan  yang  diperkaya  dengan  kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  agar  mampu  bersaing  serta  berkolaborasi  secara  global.

“Dengan adanya Perda Pendidikan nantinya diharapkan kualitas pendidikan di Bintan kian membaik terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,” ujar Ansar pada saat menyampaikan alasan mengapa daerah harus perlu membuat Perda Penyelenggaraan Pendidikan.

Menurut Ansar, dengan adanya Perda Penyelenggaraan Pendidikan, maka tidak ada perbedaan pendidikan di daerah terpencil dengan di perkotaan. Semua mendapatkan perlakuan yang sama dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.

Ketua Komisi I DPRD Bintan Manimpo Simamora mendukung usaha Pemerintah Bintan mengusulkan Ranperda Pendidikan yang akan dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) DPRD Bintan.

“Kita bahas lebih lanjut Ranperda itu dengan membentuk Pansus,” ujarnya.

Sebelumnya Manimpo yang juga anggota Fraksi Patriot Nasional mempertanyakan, upaya pemerintah melaksanakan pendidikan dengan jujur?

Menurut dia, Bintan sebagai daerah terbaik penyelenggaraan Ujian Nasional di Kepri dengan lulusan terbaik perlu dipertanyakan. Sejauh mana kejujuran pelaksanaan UN. Apakah UN di daerah terpencil sudah berlangsung dengan jujur seperti yang disyaratkan pemerintah?

“Jangan sampai UN di Kabupaten Bintan demi mengejar target lulus 100 persen, namun nilai-nilai kejujuran diabaikan,” kata Manimpo.

Di tempat terpisah, anggota DPR-RI dari daerah pemilihan Kepulauan Riau Harry Azhar Azis mengharapkan, pemerintah serius dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan mengedepankan azas kejujuran mendidik. Saat sekolah doktor di Amerika, Ia pernah mendapatkan kawannya yang ketahuan mencontoh. Oleh pihak kampus, temannya itu dikeluarkan dari kampus dan harus pulang ke Afrika.Pasalnya, seluruh kampus di negeri  Paman Sam menolak menerima mahasiswa yang bermasalah. “Di AS memang mengedepankan kejujuran,” kenang Harry.

Menurut Harry, geografis Kepri dengan jumlah jumlah pulau yang banyak harus memiliki pola pendidikan khusus. Misalnya pendidikan maritimnya diperkuat.

“Saat saya menjadi Ketua Badan Anggaran (Banggar), pos anggaran yang berhubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan tidak akan saya coret. Karena itu penting demi kemajuan Indonesia,” ujar doktor ekonomi lulusan Akhlohama University Amerika itu.

Kata Harry, dengan adanya UU Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan anggaran pendidikan harus 20 persen dari APBN sebenarnya sudah bagus. Itu sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dia menyebutkan, jika APBN 2012 sekitar hampir Rp1.500 triliun, maka alokasi untuk pendidikan mencapai Rp300 triliun. Itu nilai yang besar yang diamanahkan konstitusi.

Sebagai orang biasa, Harry mengatakan, ia merasakan manfaat pendidikan setelah ia mendapatkan gelar doktor. Pendidikan mengubah hidupnya sehingga bermanfaat untuk Kepri dan Indonesia.

“Tak bisa kita membuat negara ini jadi maju tanpa memajukan pendidikan. Itu sudah harga mati,” kata dia.

Sudah saatnya di pemerintah, kata lanjut Harry, memperhatikan pendidikan di daerah terpencil dan perbatasan seperti di Kepri. Sebagai daerah terdepan dari Indonesia, pendidikan di Kepri harus bergengsi. Apalagi, kata dia, di Kepri sudah memiliki Universitas Negeri Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).

Kampus itu diharapkan menjadi pabrik penghasil sumber daya manusia di Kepri dan Indonesia yang memiliki keahlian khusus misalnya di bidang kemaritiman.

Harry mengingatkan, untuk hidup sukses di dunia harus menguasai ilmu. Begitu juga hidup di akherat harus dengan ilmu. Bahkan, kata Harry, manusia yang berilmu Allah tinggikan derajatnya dari yang lain. Dan dia melihat, Pemerintah Kepri sudah berusaha untuk menjangkau daerah terpencil dalam upaya pemerataan pendidikan. Dan upaya tersebut harus dilanjutkan terus menerus hingga pendidikan di Kepri berkualitas.

Rektor UMRAH Prof Maswardi M Amin juga serius memperhatikan pendidikan di daerah terpencil. Ia membuat kebijakan jalan tol bagi anak pulau terpencil di Kepri yang tidak mampu bisa sekolah gratis di UMRAH sampai selesai.

Setiap kabupaten di Kepri diambil 10 orang sekolah gratis di UMRAH. Mereka bebas memilih kuliah di fakultas apapun yang ada di UMRAH.

“Kebijakan ini untuk membantu warga kita yang tidak mampu di daerah terpencil mendapatkan pendidikan tinggi,” kata Maswardi yang juga keturunan Tambelan.

Maswardi ingat betul betapa sulitnya sekolah di daerah terpencil. Ia harus keluar Tambelan ketika SMP. Namun tekadnya yang keras menuntut ilmu berhasil dan diganjar gelar profesor di Universitas Tanjungpura Pontianak.

“Anak pulau itu biasanya lebih pintar karena banyak makan ikan yang tinggi protein. Mereka bisa lebih hebat dari anak kota jika diberikan kesempatan,” ujar Maswardi.
 Buktinya, putra asal Tambelan yan notabene termasuk daerah terpencil di Kepri banyak menghasilkan sumber daya manusia hingga dapat profesor. Di antaranya Profesor Maswardi, Profesor M. Saad, kini Pembantu Rektor I UMRAH dan Profesor Azwar Abdullah yang sudah meninggal dunia.  

Harry Azhar yang kini menjadi Wakil Ketua Komisi XI DPR itu mengingatkan, untuk hidup sukses di dunia harus menguasai ilmu. Begitu juga hidup sukses di akherat harus  dengan ilmu. Bahkan, kata Harry, manusia yang berilmu Allah tinggikan derajatnya dari yang lain. Dan dia melihat, Pemerintah Kepri sudah berusaha untuk menjangkau daerah terpencil dalam upaya pemerataan pendidikan.Dan upaya tersebut harus dilanjutkan terus menerus hingga pendidikan di Kepri berkualitas. (***)

























1 komentar:

Zero mengatakan...

Pak Sawir, izinkan saya Anto ikut membantu Pak Sawir di SDN 007 Mentebung di Desa Pulau Mentebung. Saya merantau dari Lmapung kini tinggal di Batam. Saya hanya memiliki modal kurang dari 1 juta rupiah cukupkah untuk perjalanan ke Pulau Mentebung untuk membantu Bpak disana. Ini alamat email saya whinni.saptianto@gmail.com, mohon diinfokan alamat/ No. HP Pak Sawir ya. Insya Alloh saya tidak akan memberatkan Pak Sawir, saya bisa bertahan hidup ala kadarnya. Saya hanya ingin mengabdi di sisa umur saya ini. Terima kasih.

Mohon di Respon oleh pihak terkait yang bisa membantu saya dibuhungkan ke Pak Sawir, termauk anda ya Admin (robbypatria.blogspot.my)