Sabtu, 06 Agustus 2011

Ironi Pusat Pemerintahan Dompak

“Harusnya kita sudah pindah kantor baru di Dompak. Pemerintah Provinsi Kepri jelas dirugikan akibat tidak selesainya pusat pemerintahan ini.”


Kalimat itu muncul dari Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kepri Iskandarsyah. Ia belum genap dua tahun menjadi wakil rakyat yang duduk di Dewan Kepri. Dalam Perda Tahun Jamak yang disahkan DPRD Kepri periode 2004-2009, proyek multy years di Dompak yang menelan dana Rp1,9 triliun itu dikerjakan selama tiga tahun dari 2007 hingga Juni 2010. Sesuai dengan habisnya masa jabatan kepala daerah Ismeth-Sani. Namun, sampai dengan Agustus 2011, proyek mewah tersebut tak kunjung rampung walaupun sudah diperpanjang sampai terjadi pergantian tongkat kepemimpinan dari Ismeth ke Sani.



Akibat molornya proyek tersebut, uang rakyat yang harusnya bisa dipakai untuk keperluan berobat gratis, beasiswa, bantuan sosial kepada duafa harus digunakan biaya sewa kantor DPRD, sewa ruko di Bintan Centre, dan kawasan lainnya untuk perkantoran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Kepri yang tersebar di Tanjungpinang.

Sebagai contoh saja, biaya sewa kantor DPRD Kepri kepada kepada pihak ketika per tahun menembus Rp3,7 miliar. Dari 2006 akhir, sudah hampir belasan miliar uang rakyat hanya untuk biaya sewa. Andaikan dulu DPRD mau membeli Gedung Day Club yang dijadikan kantor sementara itu, maka bangunan yang sudah direnovasi tersebut menjadi aset daerah. Tapi, yang terjadi, kini gedung tersebut tetap milik pihak ketiga jika Pemprov Kepri tidak mau menyewa kembali. Bahkan, di samping kantor DPRD Kepri itu berdiri sebuah hotel bintang empat. Bukan hanya kantor DPRD saja, lebih dari 20 kantor di jajaran pemerintahan masih menyewa. Dan itu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Bayangkan, berapa miliar setiap tahun uang rakyat tersebut bisa dihemat andai saja pengambil kebijakan di “Bumi Melayu” ini bisa bersikap tegas kepada pelaksana proyek Dompak peninggalan mantan Gubernur Ismeth Abdullah.

Kerugian yang menyedot anggaran daerah tak cukup sampai biaya sewa kantor. Uang APBD juga tak jarang dikuras untuk biaya makan, hotel, perjalanan dinas. Hal ini terjadi karena tak jarang DPRD dan aparatur pemerintah membahas APBD, dan rapat-rapat lainnya di luar Tanjungpinang. Tak heran, dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2009, biaya perjalanan dinas mencapai Rp84,3 miliar, biaya makan dan minum Rp51,7miliar. Tentu setiap tahun biaya tersebut setiap tahun akan bertambah berbanding lurus dengan kenaikan APBD Kepri. Alasannya yang dikemukakan dari tahun ke tahun tetap sama. Kantor DPRD Kepri tidak representatif jika digunakan untuk rapat-rapat yang diikuti puluhan orang.

“Bagaimana kami bisa berpikir jika suasana di ruangan panas. Dan peserta duduk berhimpitan.” Kalimat itu seolah-olah menjadi alasan pembenaran mereka melakukan rapat di Batam.

Apalagi rapat di Batam tidak menyewa hotel. Karena sudah menggunakan kantor Dispenda Kepri di Batam Centre. Padahal tetap saja, jika rapat tersebut diikuti pejabat eselon dan staf, maka mereka akan meminta biaya perjalanan dinas ke Batam. Belum lagi biaya hiburan, dan makan-makan. Semua itu adalah biaya.

Apalagi dikaitkan dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Pasalnya, dengan kondisi duduk di ruang kantor yang kurang memenuhi syarat untuk suasana kantor, pasti ada tekanan batin yang dirasakan pegawai yang tak lain pelayan masyarakat. Tentu bukan aneh lagi, jika mulai pukul 09.00 WIB, ada pegawai Provinsi Kepri yang keluyuran di kedai kopi hingga pusat perbelanjaan. Mereka keluar kantor tanpa ada rasa bersalah. Bisa saja keluar kantor karena iklim kerja di kantor tidak kondusif. Mulai dari tidak tersedianya kursi untuk duduk, hingga terbatasnya fasilitas kantor mulai dari kumputer yang masih minim.Sedangkan jumlah honor yang tidak jelas cara seleksinya masuk hampir setiap saat masuk.

Dari pada pegawai honorer, dan pegawai golongan rendah ini bengong di kantor, lebih baik mereka keluar. Toh, tiap awal bulan mereka tetap menerima gaji sama besarnya tiap bulan. Tak cukup sampai di situ, lebih dari 5.000 mahasiswa UMRAH sampai saat ini harus rela menumpang sementara di Politeknik Senggarang, dan SMAN 4 karena kampus mereka belum siap dibangun.

***
Tentulah besar harapan kita, pengorbanan uang rakyat selama hampir empat tahun jangan disia-siakan. Andai saja, Rp1,9 triliun tidak dipakai untuk pembangunan Dompak, mungkin, tidak ada lagi siswa yang putus sekolah, gizi guruk, angka kemiskinan yang mencapai 129 ribu jiwa bisa berkurang, tak ada lagi sekolah yang roboh, pelabuhan yang kurang laik, dan tak ada lagi jalan raya di Kepri yang berlubang. Memang itu bukanlah jaminan. Ya, semua sudah terjadi. Triliunan uang rakyat itu sudah dikucurkan untuk proyek kebanggaan pemimpin. Kini tinggal kita menunggu proyek tersebut dinikmati. Hanya saja, masyarakat harus bersabar karena proyek-proyek pusat pemerintahan senilai 1,9 triliun rupiah di Pulau Dompak yang belum siap. Lihat saja seperti pembangunan jembatan menghubungkan Jalan Wiratno dengan Pulau Dompak yang menelan dana Rp236,637 miliar, pembangunan jalan utama dikerjakan oleh senilai Rp187,099 miliar, pembangunan jalan penghubung Pulau Dompak senilai Rp48,388 miliar rupiah, pembangunan jalan lokal di Dompak senilai Rp54,706 miliar.

Selain itu, kantor gubernur dan dinas, nilai proyek R258,380 miliar rupiah, pembangunan gedung DPRD senilai Rp64,144 miliar, kampus Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) sebesar Rp45,165 miliar, pembangunan masjid raya dan Islamic Centre menelan Rp102,030 miliar.

Proyek yang sudah hampir selesai baru kantor gubernur, masjid, jalan lingkar, RSUD, dan jembatan dua dan tiga. Sedangkan bangunan LAM, kantor DPRD, serta kampus UMRAH belum mencapai 90 persen. Artinya Pemprov Kepri harus mengeluarkan biaya lagi untuk menyelesaikan pembangunan gedung-gedung megah tersebut. Padahal, dari awal, anggaran yang sudah diplot sebesar Rp1,9 triliun mencukupi untuk penyelesaian pembangunan fisik.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur, maka tidak ada pilihan lain. Proyek Dompak akan dilanjutkan pada APBD 2012. “Kita tak ingin pusat pemerintahan yang hampir selesai terbengkalai begitu saja," begitulah kata Ketua DPRD Kepri Nur Syafriadi, selesai buka puasa awal Agustus lalu. Memang ada dua faksi di DPRD Kepri. Faksi yang satu menolak dianggarkan pembangunan Dompak jika Pemerintah tidak menjelaskan secara rinci penyebab keterlambatan yang disertai audit investigasi lembaga yang independen.

Faksi ini beranggapan, segala keterlambatan pengerjaan proyek tersebut harus ada yang bertanggungjawab. Apakah itu kontraktor ataupun pihak lain. Lazimnya dalam sistem proyek pemerintah, maka keterlambatan bisa dikenakan sanksi denda, pemutusan kontrak dan yang paling berat pihak yang terlibat diadili di pengadilan. Sedangkan faksi yang kedua, menilai keterlambatan tersebut disebabkan masalah alam. Misalnya banyaknya tenaga kerja yang terkena wabah malaria. Sehingga kekurangan tenaga kerja. Namun tidak semua kalangan menerima alasan menyalahkan alam tersebut.

Dari sisi politis, bisa saja ada yang beranggapan, biarkan saja Dompak tetap seperti sekarang. Biarlah nanti gubernur yang baru, DPRD yang baru yang akan menyelesaikan kantor baru. Sehingga terkesan membawa suasana baru. Biarlah pemimpin yang lama hanya menjadi peletak pembangunan. Bukan penikmat pembangunan? Dan itu akan menjadi jualan politik pada pemilukada Kepri 2015?

* Mahasiswa Pascasarjana Universitas Kanjuruhan Malang (UKM)

Tidak ada komentar: