Pemilihan kepala daerah 2020 yang terkesan dipaksakan. Ibarat berjalan di ruang gelap. Tertatih tatih mencari cahaya agar tidak tersungkur. Kita pernah punya pengalaman buruk soal pemilu 2019. Ratusan korban meninggal dunia selama mereka bertugas di KPPS karena kelelahan menjaga bilik suara.
Itulah tragedi kemanusiaan selama pemilu sejak 1955 yang paling besar angka kematiannya. Kemudian satu tahun setelah tragedi itu, pemerintah bersama KPU, Bawaslu didorong DPR RI hendak melakukan pilkada di 270 daerah di Indonesia. Padahal ancaman serius jelas lebih bahaya dari pemilu 2019. Ancamannya semua kita tahu bekerja di tengah pandemi Covid-19. Yang bertugas maupun yang memilih haru menjaga kesehatan sebaik baiknya. Padahal angka positif Covid-19 di Indonesia semakin naik.
Pada Selasa (09/6), positif baru sudah menembus 1.043 orang. Dengan jumlah kematian pun 1.923 orang. Itu bukan jumlah yang sedikit. Ada 1923 orang yang kehilangan nyawa, kehilangan keluarganya, kehilangan orang tercinta, kehilangan kekasih, kehilangan tempat menggantung pencarian kehidupan, kehilangan masa depan.
Mereka bukan hanya sebatas angka angka statistik. Memang ada namanya Korea Selatan yang berhasil melaksanakan pemilu pada Mei lalu. Dan berhasil. Negara itu pemilu dengan penggunaan teknologi yang baik disertai memilih dengan surat pos. Di Amerika juga pada November 2020 akan ada pemilihan presiden.
Sebanyak 40 juta pemilih bisa memilih melalui surat dan e-vote. Dua negara itu mulai menggunakan teknologi informasi untuk menghilangkan proses ruwet pemilu. Sementara di Indonesia, penggunaan teknologi hanya untuk merekam melalui scanner hasil perhitungan suara saja. Itupun tak memiliki kekuatan hukum. Yang dianggap memiliki kekuatan hukum proses manual yang berjenjang. Dari TPS, PPS, PPK hingga KPU kabupaten kota hingga KPU provinsi.
Ketika rekapitulasi manual ini, tidak bisa dihindarkan pertemuan manusia atau pendukung masing calon. Walaupun pilkada tak memerlukan waktu yang lama untuk proses penghitungan di TPS. Proses rekapitulasi di TPS salah satu tahapan yang akan diperhatikan sebaik baiknya taat dengan protokol kesehatan. Kemudian, proses coklit petugas pemutahiran data pemilih.
Dalam proses ini petugas pemutahiran data pemilih harus melakukan kunjungan ke rumah rumah pemilih untuk memastikan data yang diperoleh KPU dari Kemendagri itu masih sesuai dengan keadaan di lapangan. Misalnya apakah masih hidup atau mati. Lalu, apakah sudah pindah ke daerah lain atau masih tetap alamat lama. Anak anak yang tahun lalu 16 tahun, bertambah jadi pemilih 17 tahun. Kebanyakan yang dicek petugas PPDP adalah mereka masih tetap atau sudah pindah. Untuk kasus data pemilih ini bisa saja KPU memberikan kemudahan misalnya tak perlu tatap muka.
Menyerahkan sepenuhnya kepada RT setempat yang dianggap paham soal kondisi warganya. Kemudian proses pemilihan yang harus memaksa petugas bertemu pemilih adalah proses verifikasi faktual calon independen. Di Batam misalnya ada calon independen harus dicek dokumen dukungannya. Dipastikan yang memberi dukungan masih ada. Jumlah yang perlu dicek mencapai puluhan ribu berkas. KPU dan Bawaslu harus memastikan dokumen itu tidak salah atau fiktif. Maka mereka harus cek ke faktual ke rumah penduduk. Jika sangat kesulitan, terakhir dengan menggunakan vidoe call. Atau dikumpulkan di kantor KPU.
Lagi lagi ini melibatkan proses pengumpulan massa. Tahapan selanjutnya yang tentu menjadi faktor penentu suksesnya pilkada bagi peserta atau penyelenggara adalah partisipasi pemilih di tanggal 9 Desember, kemudian masa kampanye. Jika masa kampanye tatap muka ditiadakan, hingga rapat umum, apakah visi misi calon cukup disampaikan melalui media sosial atau tivi maupun radio itu sudah cukup untuk mengirim pesan kepada pemilih? Di draf Peraturan KPU, kampanye hanya boleh dihadiri 20 orang.
Kalaupun masih ada kampanye atau sosialisasi kepada warga, apakah nanti tidak berisiko menyebarkan virus. Apalagi tes Covid19 di Indonesia masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Di worldometer Indonesia tercatat baru mengetes 394 ribu orang. Atau rata rata 1400 per 1 juta penduduk. Bandingkan dengan Filipina kita ketinggalan soal tes massal. Bandingkan dengan Rusia bisa mengetes 84 ribu per 1 juta penduduk. Keseluruhan warga Rusia yang dites 12,3 juta. Dengan kasus positif 400 ribu lebih.
Kualitas pilkada
Kualitas demokrasi lokal tergantung pada tiga aspek utama. Pemilih yang bisa menggunakan hak pilihnya. Peserta pemilihan yang mendapatkan ruang politiknya. Serta, penyelenggara pemilihan yang menjamin teknis tahapan dan hasil sesuai dengan landasan pemilihan yang demokratis. Indikator pertama, pemilih yang terdaftar tanpa terkecuali adalah syarat utama. Kemudian, pemilih yang mendapatkan informasi terbaik. Lalu, pemilih yang menggunakan hak pilihnya dan suaranya dihitung penuh tanpa ada suara yang tidak sah. Itu adalah mimpi berat yang harus diusahakan oleh peserta dan penyelenggara. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pilkada adalah besarnya partisipasi pemilih. Jika nantinya partisipasi di bawah 50 persen, tentu ukurannya KPU kurang berhasil menaikkan partisipasi. Warga belum tentu datang ke TPS ketika situasi wabah belum berakhir. Ketakutan akan keselamatan nyawa harus diutamakan daripada sekedar memberikan hak suara.
Kasus pilkada di Kota Medan ketika pilkada 2015 tercatat di bawah 30 persen. Saat itu belum ada wabah. Betul alasan Komite 1 DPD RI meminta pemerintah menunda pilkada dengan alasan kemanusiaan. Nyawa manusia lebih berharga daripada agenda rutin yang kegiatannya bisa ditunda 2021. Bukankah di Undang Undang Dasar 1945, negara ini hadir untuk melindungi segenap tumpah darah warga negara. Untuk apa jika kita membuat pilkada ternyata malah menambah jumlah yang sengsara karena bisa berpotensi terpapar Covid19. Faktor berikutnya, banyak kegiatan kegiatan tahapan pilkada yang keluar dari perintah undang undang pilkada.
KPU berisiko melakukan lompatan dengan PKPU. Misalnya diwacanakan mengubah proses coklit tak harus tatap muka. Melengkapi TPS dengan alat pelindung diri masker, sabun, dan lain lain. Di undang undang pilkada semua keperluan pilkada sudah disebutkan. Kemudian misalnya KPU meniadakan kampanye rapat umum, debat publik terbuka yang nantinya hanya disiarkan melalui Tv. Tidak ada pendukung dalam jumlah yang besar. UU No10 tentang pilkada tak sesuai digunakan di masa pandemi. Apalagi Perppu No 2 soal Pilkada itu tak memberikan kewenangan kepada KPU menyusun aturan yang melebihi dari UU Pilkada.
Dan yang paling penting adalah, proses pilkada diwarnai dengan banyaknya bantuan sosial covid19. Bantuan ini berpotensi disalah gunakan kepala daerah yang akan bertarung kembali di pilkada 2020. Karena dana bansos itu sangat efektif menaikkan pencitraan petahana. Banyak kepala daerah mulai memasang foto mereka, bahkan menulis surat kepada penerima bansos.
Dan bisa jadi, praktik money politics akan marak. Ketika warga kesulitan ekonomi dalam situasi berdiam di rumah, inilah kesempatan bagi calon yang memiliki banyak dana untuk merayu dan membujuk dengan dengan money politics. Terserah dibungkus model uang transportasi ataupun uang makan. Keterbatasan jumlah petugas akan sulit melakukan pengawasan money politics. Inilah membuat pilkada tidak sempurna dilakukan dalam kondisi warga sedang ketakutan. Menyelamatkan nyawa itu lebih berharga dibandingkan dengan sekedar rutinitas.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar