Pemilu bukan hanya membuat masyarakat terpolarisasi mendukung si A dan si B, media massa yang dianggap guru publik dalam menentukan sikap pun mengalami sikap terbelah. Mengutamakan kepentingan redaksi jangka pendek atau kepentingan jangka panjang? Menjaga peradaban demokrasi tetap di rel atau menghilangkan rasionalitas akal pikiran?
Tertuju kepada politik identitas. Antara membenci berita hoaks, fakenews dan ujaran kebencian. Media dituntut berdiri di garis netral. Tantangan yang tak mudah di era liberalisasi ekonomi dan ketatnya persaingan media di era media cetak menuju senjakala. Bahkan Eric Thohir, penguasa koran harian Republika harus membuat tulisan di harian itu bagaimana posisi dia sebagai ketua tim sukses dan juga pemilik Republika yang agak bernuansa Islami.
Terbelahnya media massa di setiap pemilu bukan hanya terjadi di Indonesia. Kalau mau melihat perilaku media di Amerika Serikat atas partai
politik yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik pada pemilu AS tahun 1971. Karena media Indonesia dan demokrasi kita pun sedikit banyak mengacu kepada Amerika yang sudah 200 an tahun lebih mendahului kita.
politik yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik pada pemilu AS tahun 1971. Karena media Indonesia dan demokrasi kita pun sedikit banyak mengacu kepada Amerika yang sudah 200 an tahun lebih mendahului kita.
Untuk di Asia, pers Indonesia terbilang baik. Kebebasan pers Indonesia juga diakui dunia. Tak seburuk di Singapura ataupun di Timur Tengah.
Demokrasi akan timpang tanpa pers yang bebas dan independen. Inilah peninggalan berharga Presiden Habibie di era Reformasi. Adalah Menteri Penerangan Letjen TNI Muhammad Yunus Yosfiah sebagai Menteri Penerangan yang membidani UU Pers No 40 Tahun 1999. Dengan adanya UU Pers inilah, wajah baru pers Indonesia seperti dilahirkan kembali dengan sebebas bebasnya dalam pemberitaan.Lahir dari belenggu dan bredel jika tidak sejalan dengan istana di era Soeharto.
Kita kembali lagi ke AS. Masyarakat AS pada masa 1971 berpihak kepada Partai Republik dan
berimplikasi pada kemenangan Presiden Nixon dari Partai Republik atas lawannya George
McGovern dari Partai Demokrat pada Pemilu 1972 yang kemenangannya terjadi di 49 negara bagian atau mencapai angka 520 suara pemillih (electoral vote) yang menunjukan kemenangan 98% Nixon atas lawannya. Dan Presiden Nixon pun akhirnya jatuh dari kursi presiden akibat pemberitaan media AS pada saat itu.
berimplikasi pada kemenangan Presiden Nixon dari Partai Republik atas lawannya George
McGovern dari Partai Demokrat pada Pemilu 1972 yang kemenangannya terjadi di 49 negara bagian atau mencapai angka 520 suara pemillih (electoral vote) yang menunjukan kemenangan 98% Nixon atas lawannya. Dan Presiden Nixon pun akhirnya jatuh dari kursi presiden akibat pemberitaan media AS pada saat itu.
Dua wartawan surat kabar Washington Post Bob Woodward dan Carl Bernstein memainkan peranan penting dalam memusatkan perhatian kepada skandal itu, dibantu oleh informasi penting dari informan misterius mereka. Begitu pers AS yang bebas tidak dapat dikendalikan siapapun. Kecuali mereka sendiri yang mengendalikan dengan nurani.
Inilah kejayaan media massa Amerika mampu menjatuhkan seorang presiden yang menang mutlak dari hasil pemilu. Pers yang ideal mampu membongkar sebuah konspirasi politik merebut tahta Gedung Putih.
Juga kita lihat bagaimana media di Amerika ramai ramai tidak memberitakan kejadian demo akbar di Seattle, Washington DC di mana massa memprotes pertemuan organisasi perdagangan dunia (WTO), IMF dan World Bank. Bahkan liputan media saat itu lebih fokus kepada liputan kerusakan properti akibat demo tersebut.
Media mainstream AS juga dengan semangat mendukung ajakan perang melawan terorisme ketika WTC yang menjadi kebanggaan AS hancur oleh pesawat. Propaganda anti teroris dilancarkan semua media. Bagi yang tidak mendukung, maka dianggap bermasalah dan tak mendukung AS melawan terorisme. Terkadang media selalu di belakang kepentingan nasional dalam walaupun ada kesalahan media dalam beberapa kasus seperti Perang Irak.
Dan kasus Perang Teluk Babi yang dimenangkan Kuba. Andai pers AS memberitakan sebelum serangan itu, mungkin Kuba tidak menang saat itu.
CNN sebagai media ternama di Inggris pun tak berkutik ketika pihak Istana Inggris meminta agar CNN tak memberitakan keberadaan Pangeran Harry di Afghanistan. Demi keselamatan Sang Pengeran, CNN harus mengabaikan bagian penting dari sisi unsur berita.
Karena memberitakan Pangeran Harry di Afghanistan sama dengan membuka peluang ancaman bagi Sang Pangeran.
Ya, menjaga rasa nasionalisme lebih penting dari pada segalanya. Bahkan sumber anonim pun ketika berhubungan dengan kepentingan nasionalisme yang lebih besar bisa dibuka di pengadilan seperti yang pernah dialami wartawan kawakan di Amerika.
Dan kita lihat pemilu AS 2016, beberapa Media juga memberikan dukungan secara terang kepada salah satu capres baik Trump dan Hillary dan ada juga yang malu. Bahkan sebagian besar media AS menayangkan hasil survei di sana yang kebanyakan memenangkan Hillary. Karena kandidat Demokrat ini lebih diunggulkan dari banyak hal. Dan effeeknya, sampai usai pemilu Trump masih kecewa dengan beberapa media yang dianggapnya selalu mengecewakan dirinya.
Keberpihakan media terhadap salah satu capres merupakan tanggung jawab media itu sebagai bagian dan pencipta opini yang mereka harapkan lebih besar manfaatnya kemenangan capres tertentu dibandingkan dengan capres yang satu agar negara lebih mampu berjalan dengan baik.
Kasus Hillary dengan email pribadi yang diserang habis habisan oleh media pendukung Trump dan begitu sebaliknya kasus Trump yang dianggap merendahkan perempuan diserang media pendukung Hillary akhirnya membuat publik AS menentukan sikap.
Walaupun publik AS terkaget kaget ternyata hasil pemilu Trump menang. Kemenangan itu diduga ada faktor lain yang sampai saat ini masih diproses.
Jadi media pada dasarnya memiliki tanggung utama kepada publik demi menjaga kepentingan yang lebih besar.
Di era kebebasan pers yang diperjuangkan tahun 1998, sebagai syarat negara demokrasi harus ada pers yang bebas, maka kondisi saat ini setiap kebijakan redaksi suatu media merupakan bagian dan kebebasan itu sendiri. Pers Indonesia pernah ditekan sama pemerintah ketika dilarang member itakan peristiwa Malari yang terkenal itu. Ada yang memberitakan, maka siap siap ditutup. Kepentingan nasional Indonesia dijaga baik baik waktu itu.
Setiap berita yang akan diterbitkan pasti melalui proses yang panjang. Melalui liputan yang direncanakan dari dapur redaksi. Karena tak semua berita jatuh dari langit.Gempa bumi misalnya adalah berita dari langit yang tak perlu perencanaan dalam liputan.
Semua melalui tahapan rapat redaksi dan agenda setting mereka terhadap suatu isu mana yang lebih baik untuk publik dan mana yang tidak baik untuk demokrasi kita. Kalau media tak memberikan porsi yang lebih terhadap kejadian, maka itu punya pertimbangan sendiri demi kepentingan yang lebih besar bagi media itu. Baik kepentingan politik, ekonomi dan budaya demokrasi kita. Dan siapapun tak bisa mencampuri.Titik.
Bagi yang tidak setuju dengan kebijakan editorial maupun kebijakan redaksi mereka, maka pilihan ke media lain masih terbuka yang dianggap netral. Apalagi dengan jutaan informasi yang membanjiri pembaca, maka media pun sudah berpikir panjang lebar dalam debat panas di rapat redaksi mengapa suatu kejadian tidak diberikan porsi lebih.
Risiko dimaki oleh pembaca atau ditinggal langganan pun diterima.Itulah risiko terburuk.Namun media mainstream di negeri ini sangat pengalaman dalam mengelola isu isu tersebut. Sehingga mereka masih bisa bertahan hingga detik ini tanpa mengurangi Pers sebagai pilar keempat yang melakukan kontrol terhadap eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Seorang wartawan senior dan juga pendiri Kompas, media terbesar di Indonesia itu, Jakob Oetama pernah mengemukakan, agar tetap selamat, pers Indonesia harus berlaku seperti kepiting bebelok jika terhalang batu (Luwarso, 1998:26).
Karena jika harus menabrak batu yang keras, hancurlah tubuh si media itu. Memilih maju selangkah dan mundur selangkah jika ada hambatan di depan lebih baik daripada maju tapi lenyap dari permukaan.
Seperti kata Chairil Anwar, Sekali berarti setelah itu mati.
Jadi, Pers yang bebas dan independen merupakan sebuah keniscayaan. Mempersiapkan media untuk hidup dalam jangka panjang dan menjaga demokrasi Indonesia berlangsung dengan jujur, aman dan demokratis juga kewajiban media massa.
Dan akhirnya kita renungkan kata Mark Twain," There are only two things that can be lightening the world. The sun light in the sky and the press in the earth- Hanya ada dua hal yang membuat terang di bumi ini yaitu sinar matahari di langit dan pers yang berkembang di bumi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar