Senin, 29 Oktober 2018
Menulis, Big Data dan Demokrasi
Jika tak ada mesin ketik
Aku menulis dengan tangan
Jika tak ada tinta hitam
Aku akan menulis dengan arang
Jika tak ada kertas
Maka aku akan menulis pada dinding
Jika aku menulis dilarang
Maka aku akan menulis dengan darah
Demikian puisi Wiji yang ditulis 19 Januari 1988. Begitulah semangat berapi-api dari seorang Wiji Thukul yang hilang hingga saat ini belum ditemukan.
Ia berjuang lewat kata kata agar negeri ini menjadi sekarang. Semangat menulisnya terus membara hingga selalu jadi kenangan. Ia lenyap tanpa diketahui di mana kuburnya. Atau dia senang melihat dari jauh proses bernegara kita.
Sesuai pesan Pramoedya Ananta Toer, menulis lah untuk kerja keabadian. Walaupun nyawa sudah melayang, namun karya tulisan itu masih dipelajari dikenang generasi hingga beberapa generasi.
Bayangkan jika Imam Nawawi tak menulis Riyadhush Shalihin atau Imam Al Ghazali tak menulis karya Ihya Ulumuddin. Kitab yang membahas tentang kaidah dan prinsip dalam menyucikan jiwa (Tazkiyatun Nafs) yang membahas perihal penyakit hati, pengobatannya dan mendidik hati.
Atau Machiavelli tak menulis kitab Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan Il Principe (Sang Pangeran) atau pemimpin mengendalikan negara atau kerajaan walaupun terkadang dengan kejam.
Mereka salah satu tokoh dalam peradaban dari sekian banyak tokoh lainnya yang menulis buku. Tentu manusia berada dalam kegelapan akan ilmu pengetahuan kalau tokoh besar di zamannya tak menulis.
Atau bagaimana nasib agama Islam jika para sahabat Nabi Muhammad yang dipimpin Utsman bin Affan tak memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam supaya memindahkan isi lembaran-lembaran tersebut ke dalam mushaf, hingga menjadi pedoman hingga 1400 tahun lebih. Bahkan hingga dunia berakhir.
Maka keilmuan seseorang begitu dihargai ketika mereka banyak menulis. ”Ilmu itu bagaikan hasil panen/buruan di dalam karung, menulis adalah ikatannya,” kata Imam Syafi’i.
”Ikatlah ilmu dengan menulis,” demikian Imam Ali ibn Abi Thalib mengingatkan penting menulis. Karena dengan menulis otak dan lisan menjadi teratur dalam berpikir.
Apa jadinya jika Tan Malaka atau Sukarno dan Hatta tak menulis saat masa masih Hindia Belanda. Mungkin tak banyak yang terpengaruh untuk berjuang merebut kemerdekaan. Adalah Tan Malaka mengenalkan nama Indonesia. Ia menuangkan ide gagasan Indonesia lebih dulu dibandingkan Hatta maupun Sukarno.
Tulisan Moh. Hatta ‘Indonesia Merdeka’ ditulis pada tahun 1928, serta tulisan Soekarno ‘Indonesia Menggugat’ ditulis pada tahun 1933. Tan Malaka telah lebih dahulu menulis buku ‘Menuju Republik Indonesia’ pada tahun 1925, tiga atau delapan tahun sebelum duo proklamator menuangkan pemikirannya tentang Indonesia.
Setelah 73 Tahun
73 tahun kita merdeka, tapi budaya membaca kita masih rendah. Inilah menjadi persoalan serius dalam negara demokrasi yang seharusnya diiringi dengan melek politik yang tinggi. Karena dalam sistem demokrasi suara seorang profesor pun sama dengan suara yang mereka tidak sekolah.
Wajar Amerika menjadi negara demokrasi yang maju dari kita. Mereka sudah lebih 260 tahun menjalankan demokrasi. Saat ini dari 10 penduduk Amerika, 5 di antaranya sarjana hukum. Dan kita, hampir 50 persen penduduknya dari 262 jutaan masih berpendidikan SD dan tak sekolah ( Luhut Panjaitan, TribunNews).
Sehingga suara mereka dalam menentukan pilihan masih mudah untuk dipengaruhi. Di Tanjungpinang saja dengan jumlah penduduk 207 ribu menurut data Kemendagri, hanya ada dua profesor dan doktor yang masih bisa dihitung dengan jari.
Dari 260 jutaan penduduk, jumlah profesor di Indonesia pun dari catatan Kementerian Ristek hanya Saat ini, profesor yang ada baru sebanyak 5.489 orang.
Padahal, dengan total perguruan tinggi yang mencapai 4.350 kampus, paling sedikit dibutuhkan sekitar 22.000 profesor. Artinya satu orang profesor menangani 1.000 mahasiswa. Rasio yang kurang ideal.
Dengan peta demografi Indonesia akan kelebihan jumlah penduduk usia produktif yang sekarang mulai dinikmati, akan menjadi ancaman jika tidak memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan teknologi maupun era revolusi industri 4.0. Apalagi kita sudah memasuki era teknologi Five G. Tentunya kebutuhan akan teknologi tak bisa dipisahkan dari kehidupan.
”Barang siapa yang dapat menggunakan Big Data dan mampu mengelola secara Algoritma dialah jagonya. Jago Apa saja : Bisnis, Politik, Intelijen, Pengelolaan Kesehatan sampai sistem penjualan bra dan celana dalam”. Seperti yang disampaikan mantan menteri BUMN dan pemiliki JPNN Dahlan Iskan dilaman website pribadinya disway.id. disway.id.
Jelang 8 bulan pemilihan presiden, sesama anak bangsa sudah mulai ribut soal pilihan. Padahal beda pilihan dalam negara demokrasi biasa saja. Amerika mencontohkan menangnya Obama menjadi dua kali pemimpin di sana dari warga keturunan kulit hitam bukan jadi masalah.
Kemudian terpilihnya politisi perempuan yang beragama Islam di Amerika sejak 1912 juga bukan hal yang aneh. Asalkan legislator tersebut berjuang untuk kesamaan hak sesama warga negara.
Tetapi di kita, masih meributkan apakah dia ulama, soal agama, soal istri, soal masa lalu, keturunan, Jawa atau luar Jawa, militer atau non militer. Padahal paling muda mengecek keberhasilan pemerintahan lihat saja tingkat pengangguran selama kepala negara atau kepala daerah memimpin.
Bagaimana pertumbuhan ekonomi, harapan hidup, IPM, dan indeks lainnya yang bisa dihitung secara ilmiah, penegakkan hukum, invetasi asing, pembangunan fisik dan faktor pendukung lainnya. Hasil tersebut dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Sistem kampanye presiden di Amerika menunjukkan kemajuan dari sebelumnya. Dengan kemajuan teknologi, melalui smartphone atau pun teknologi lain, massa bisa dipengaruhi untuk memilih calon tertentu.
Berita sampah atau berita palsu juga mempunyai kekuatan magis untuk meraih kemenangan. Kemenangan Trump melalui strategi memanfaat bigdata di luar prediksi analis politik. Dan kebocoran jutaan data Facebook membuat kasus ini terus diproses.
Tentunya untuk memisahkan dan menambah referensi terhadap calon, massa harus banyak membaca. Bukan hanya dari media kredibel sumbernya, tapi juga sejauh mana buku atau jurnal ilmiah yang dilahap. Kebiasaan minat baca orang Indonesi rendah.
Rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Berdasarka studi ‘Most Littered Nation In the World’, Indonesia No 60 dari 61 negara yang diteliti.
Jangan kita memilih berdasarkan karena kesukuan, yang nilainya tidak bisa dihitung secara rasional. Ketika negara lain sedang mempersiapkan ancaman krisis ekonomi dunia yang serius, kita malah sibuk dengan urusan ‘perang’ di medsos saling mem-bully lawan politik.
Jadilah Indonesia negara yang cukup ramai di medsos.Turki sedang berjuang menghadang sanksi ekonomi dari Amerika.Nilai mata uang negara itu terjun bebas. Investor melarikan modalnya dari Turki.
Negara itu sedang dalam kondisi goyang. Di Amerika Latin, Venezuela menjadi negara bangkrut dengan nilai inflasi ribuan persen. Dua juta warganya mengungsi.
Betul kata Mohtar Lubis dalam karyanya Manusia Indonesia tentang sifat orang Indonesia yang terkadang, enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, hipokrit, berjiwa feodal, suka terhadap tahayul, artistik, dan memiliki watak yang lemah.
Untuk menuju Indonesia yang berkemajuan ataupun Kepri yang maju, kita tidak hanya diam. Pendidikan adalah salah cara ampuh untuk menuju ke sana. Jangan harap generasi yang akan datang bisa bersaing jika kita tidak mempersiapkan sistem pendidikan yang baik untuk bekal mereka.
Selagi momen Kemerdekaan yang sedang kita peringati saat ini, maka pihak terkait dengan pendidikan harus betul betul memaksimalkan kemajuan sistem pendidikan, proses pembelajaran di kelas, sehingga kualitas sekolah di Tanjungpinang maupun Kepri bisa bersaing di level nasional.
Pemerintah harus bisa mewujudkan pendidikan yang adil di semua lini kehidupan antara sekolah di perkotaan dengan sekolah pedesaan. Bagaimana anak-anak di pesisir bisa menyamai kualitas pendidikan jika sekolah mereka saja tidak diperhatikan pemerintah.
Prinsip utama pendidikan bagaimana memberikan pencerahan kepada anak didik dalam menatap kehidupan yang akan datang untuk lebih baik. Bukan pendidikan yang mempersiapkan anak anak memasuki dunia kerja yang lebih cendrung seperti produk.
Pendidikanlah yang mampu mengangkat derajat manusia yang semula miskin menjadi kaya. seperti yang dititipkan tokoh pendidikan asal Brazil yang mampu membantu Brazil lebih cepat maju. Bagi Freire pendidikan sebagai praktik pembebasan dari penindasan.
Pendidikan yang ideal, seharusnya berorientasi kepada nilai-nilai humanisme. Humanisme pendidikan yang dimaksud Freire adalah mengembalikan kodrat manusia menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau objek. Freire berharap sistem pendidikan ini menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia dari kondisi ketertindasan.
Tetapi pendidikan yang hanya mengandalkan izajah juga akan jadi masalah.Karena si pemegang ijazah tidak mampu menerapkan ilmu yang seharusnya bermanfaat bagi orang ramai.
Dan akhirnya, kita berdemokrasi memilih pemimpin terbaik untuk mengurus rakyat guna menuju negara kesejahteraan. Referensi memilih siapa tentu kita peroleh dengan membaca dan kita tulis dalam lembar lembar sejarah baru.
Membaca tanpa menulis membuat ia seperti embun yang jatuh di atas daun keladi. Memilih lah dengan tanpa referensi yang jelas agar kita cepat sejahtera.***
Terbit di Tanjungpinang Pos 30 Agustus 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar