Kamis, 11 September 2008
Jejak Camp Vietnam, Tragedi Kemanusiaan yang Tersisa
Banyak diantara mereka yang tidak pernah mencapai tujuannya. Mereka yang kehilangan segala-galanya di tanah air mereka karena perang Vietnam, menjual harta terakhir agar bisa menaiki kapal kayu kecil terkadang bersama lebih seratus orang sekaligus, bertaruh pada kemungkinan terkecil yang ada.
Mereka dirompak, diperkosa, dan dibunuh bajak laut di Laut Cina Selatan. Sebagian lainnya terombang-ambing karena badai, kehabisan bahan bakar dan karam begitu saja. Mereka yang berhasil selamat pun menghabiskan waktu hingga beberapa bulan di laut lepas, bertahan sementara ada rekan seperjalanan yang sakit atau meninggal kelaparan.
Inilah sepenggal cerita yang tak mungkin sirna dimakan jaman.Nama Pulau Galang sepertinya tak begitu populer di bandingkan dengan mendunianya Batam. Tetapi, Galang menyimpan kenangan sejarah 250 ribu lebih pengungsi Vietnam. Tentunya Galang juga akan menjadi pulau yang tak akan terlupakan bagi mereka yang pernah tinggal di pulau yang tandus itu. Bagaimana kondisi Galang saat ini? Akankan menjadi tempat wisata budaya bagi Batam?
Ketika saya mengunjungi lokasi bekas kamp Vietnam pekan Selasa 13 November 2007, sisa-sisa kamp pengungsi itu tetap berada pada tempatnya, sebagian diperbaiki untuk menjadi monumen untuk mengenang masa lalu para pengungsi Vietnam.
Perjalanan ke pulau Galang dimulai ditengah panas triknya matahari.Dengan menggunakan bus, kami bersama dengan mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kabinet Megawati, melihat-lihat objek wisata di Kepualauan Riau. Salah satunya kamp Vietnam di Pulau Galang.
Pulau Galang kini bersama Pulau Batam dan Pulau Rempang menjadi satu kesatuan otorita yang disebut Barelang (Batam-Rempang-Galang). Sebelum sampai di lokasi Vietnam, warga yang ingin sampai di kamp itu akan melewati daerah Muka Kuning di mana terdapat kawasan industri elektronika terbesar di Batam.
Setelah 20 menit dari Mukakuning, dari kejauhan sudah terlihat tiang jembatan pertama. Keseluruhan kawasan Barelang dihubungkan oleh 5 jembatan antar pulau dan yang pertama inilah yang memiliki rentang terpanjang. Dibangun pada jaman Habibie menjadi Ketua Otorita Batam, jembatan ini memang sungguh membentang megah antara Pulau Batam dan Pulau Tonton, sebuah pulau kecil sebelum mencapai Pulau Rempang. Berhenti sejenak, pemandangannya memang indah. Langit biru cerah, laut yang juga biru dengan deretan kepulauan Riau di kejauhan jadi pemandangan yang menyenangkan.
Perjalanan kembali berlanjut dengan menyeberang ke Pulau Rempang dan kemudian Pulau Galang. Kondisi jalan yang sempurna membuat perjalanan hampir 70 km ditempuh dengan cepat, hanya sekitar 45 menit tibalah di sebuah simpang tiga yang diberi papan penunjuk menuju arah Galang Refugee Camp Memorial.
Kami memasuki arah jalan ditunjuk, lebih kecil dan beraspal lepas dan diawali dengan pos retribusi. Memasuki beberapa ratus meter ke dalam, kami disambut sebuah papan penunjuk menunjukkan kata pagoda.
Semakin memasuki wilayah pengungsi, suasana begitu sejuk. Tiba-tiba terlihat sebuah tugu kecil dengan nama Humanity Statue. Dari penjelasan di dekat patung, tertulis bahwa patung itu didirikan oleh para pengungsi untuk mengingat musibah yang menimpa seorang wanita bernama Tinh Nhan yang diperkosa oleh sesama pengungsi di lokasi di mana patung itu berada kini. Tinh Nhan bunuh diri tidak lama sesudahnya.
Tidak jauh dari patung kemanusiaan itu di sebelah kiri terdapat areal pemakaman Ngha Trang. Terdapat 503 makam yang diperuntukkan baik untuk yang Buddhis dan Kristen. Di pintu gerbang terdapat sebuah tugu bertuliskan ”dedicated to the people who died in the sea on the way to freedom.
Yang menarik ketika memasuki wilayah itu, ada peninggalan beberapa bekas perahu pengungsi yang diangkat ke darat sebagai kenangan perjuangan untuk hidup yang lebih baik.
Sebagian besar kamp pengungsi ini memang direstorasi kembali seperti bekas penjara, rumah sakit milik UNHCR dan perahu, bahkan bekas kantor UNHCR dijadikan museum kecil, tapi sayangnya barak-barak para pengungsi ini dibiarkan rusak terbelit ilalang dan tanaman merambat seperti yang saya lihat di kamp Galang 2.
Ada sebuah papan petunjuk yang bertuliskan Gereja Protestan, tetapi gereja itu juga hanya menjadi reruntuhan. Dahulunya, ada dua bagian besar kamp pengungsi yang dinamakan Galang 1 dan Galang 2. Secara bercanda para pengungsi menyebut pekuburan Ngha Trang sebagai Galang 3. Kamp pengungsi ini dilengkapi dengan sarana rumah sakit dan sekolah dan youth center, atas bantuan UNHCR dan Pemerintah Indonesia. Para pengungsi Vietnam yang terdampar di pulau-pulau lain disatukan di Pulau Galang ini sambil menunggu proses repatriasi mereka ke negara-negara lain yang bersedia menerima mereka sebagai warga negaranya.
Dari banyak litaratur, pengalaman pahit getir kehidupan mereka pula selama di penampungan Pulau Galang. Ada banyak anak-anak yang kehilangan orangtuanya harus hidup seorang diri di kamp ini hanya tergantung pada kemurahan hati orang lain. Kebanyakan dari mereka harus bekerja mengolah tanah Pulau Galang untuk berkebun dan bertanam. Beberapa tangan-tangan kreatif membuat kerajinan dan suvenir yang dapat digunakan untuk mendapatkan penghasilan.
Dari catatan yang terbaca di museum, kamp pengungsi ini pernah menampung hingga 200 ribu orang. Dinding museum dipenuhi deretan pasfoto hitam putih yang bergambar para pengungsi yang memegang papan tulis kecil dengan nama mereka dituliskan dengan kapur tulis. Pada bulan Maret 2005 para mantan penghuni kamp pengungsi Galang dari seluruh dunia berkumpul kembali untuk melakukan napak tilas hidup mereka, mengenang sahabat dan kerabat yang tidak berhasil mencapai kehidupan dan kemerdekaan sebagai manusia.
Dari penjelasan Mursidi, penjaga museum itu, kunjungan hanya ramai pada hari libur. "Bisa mencapai 1.000 orang.Sedangkan pada hari biasa masih sepi," ujarnya.
Melanjutkan perjalanan mengelilingi kamp Galang 2. Sebuah papan menunjuk pada kata ’Catholic Church’.Kamipun berjalan menuju arah yang ditunjuk, menyeberangi sebuah jembatan kayu. Di kejauhan, seusai jembatan ada gerbang dengan tulisan yang terkelupas ’Nha To Duc Ne Vo Nhiem’ dengan tambahan Bahasa Inggris di bawahnya ’Immaculate Conception Mary Church’.
Gereja Maria Dikandung Tanpa Noda ini masih sangat terawat, walaupun seperti halnya semua bangunan di kamp pengungsi ini, dibangun dengan struktur kayu. Di halaman ada patung perahu dengan Bunda Maria di atasnya.
Kenangan Tragedi Kemanusian yang Masih Tersisa
Ketika Indonesia dihujat dunia internasional dengan pelanggaran hak azazi manusia di Timur Leste dan Aceh, seakan dunia lupa peran Indonesia dalam menyelamatkan 250 ribu pengungsi Vietnam. Sejarah pengungsi Vietnam di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau masih terekam jelas melalui peninggalan sejarah di Kamp Vietnam.
Pulau Galang mencuat namanya sekitar tahun 1970-an. Tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia internasional.Adalah UNHCR (United Nation High Commission for Refugees,) atas persetujuan pemerintah pusat, saat itu masa pemerintahan Seoharto membangun perkampungan sementara untuk ribuan orang pengungsi Vietnam.
Para pengungsi Vietnam itu dikenal pada waktu itu sebagai "manusia perahu". Karena mereka meninggalkan Vietnam dengan menggunakan perahu, hingga sampai di Galang, dan beberapa bagian negara di kawasan Asia.
Dari keterangan petugas disana, dan foto-foto yang masih terpampang di musium Vietnam, setiap perahu itu ada yang berpenumpang sekira 40-100 orang.Mereka terdampar di sekitar pantai Tanjung Uban, Kepulauan Natuna, Pulau Galang dan di sekitar pulau-pulau kecil lainnya yang tidak berpenghuni. Pada waktu itu mereka ditemukan dan ditolong oleh patroli Angkatan Laut Indonesia dan para nelayan setempat.
Peristiwa sejarah itu terjadi pertengahan tahun 1970-an setelah berakhirnya perang Vietnam yang ternyata menghadapkan dunia internasional pada masalah serius para pengungsi. Kondisi politik di Vietnam yang membuat ratusan ribu warga Vietnam harus mencari perlindungan. Pemicu utamanya adalah jatuhnya Vietnam Selatan ke tangan kekuasaan Vietnam Utara atau Vietkong, selain situasi kaostis di Kamboja.
Peran Indonesia ketika itu, satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memberikan respons yang muncul terhadap masalah kemanusian berskala internasional.
"Karena letak Galang sebagai daerah strategis, maka dipilih sebagai tempat transit para pengungsi Vietnam. Sambil menunggu mereka secara administratif diproses untuk dikirim ke negara ketiga," tutur Mursidi, kepada wartawan di museum, saat mendampingi,mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika, Selasa (13/1).
Batam Pos, yang pertama kali ke lokasi itu, tak sabar membidikkan kamera Canon, untuk mengabadikan momen tersebut.Sayang, memory kecil, jadi banyak juga yang dihapus. Hanya foto sedikit bagus yang disimpan di kamera, he he he...
Dalam hati bekata ketika itu,"Jika tak sekarang saya memotret, kapan lagi bisa ketempat bersejarah ini. Karena tempatnya terlalu jauh dari Batam".
Teman-teman wartawan media cetak di Jakarta pun tak lupa berfoto di lokasi itu. Bahkan ada yang mengabadikan masuk dalam penjara untuk pengungsi Vietnam yang sudah tak terawat.
Penjara itu berfungsi untuk mengamankan warga Vietnam yang membuat ulah. Terdapat tiga pintu di penjara yang terbuat dari besi tersebut.
Untuk lebih jauh,berdasarkan litaratur dan cerita cerita Mursidi, UNHCR membangun kota baru di Galang untuk warga Vietnam. Semua sarana dan prasarana lengkap dan sangat memadai, seperti jalan yang teratur dan kualitas sangat baik yang menghubungkan dengan pelabuhan kecil yang digunakan sebagai lalu lintas suplai kebutuhan hidup para pengungsi itu. "Tempat ini dikenal dengan nama Pelabuhan Karyapura," katanya.
Dari pantaua Batam Pos, di sana juga terdapat restoran makanan laut, gedung pertemuan, sekolah, gereja, perumahan untuk pegawai lokal UNHCR, pagoda, rest area, camping ground, "Galang Memorial Hall".
Selain itu, jelas terlihat kubur pemakaman 500 orang meninggal di kampung Vietnam.
Ternyata, warga Vietnam bukan hanya menganut komunis, ada juga yang bergama Kriten.
Hal itu terlihat dari lambang kubur, di areal pemakaman yang teratur dan terawat baik.
Sedangkan untuk perumahan pengungsi dan sarana gedung lainnya yang sekarang ada tampak mulai roboh. Atap-atapnya hilang entah kemana.Sedangkan dinding rumah pun sudah lepas dari bingkai rumah, yang diselimuti ilalang.
"Wah pantasan dijadikan lokasi shoting uka-uka. Situasinya seram," celetuk Sari, wartawati Rakyat Merdeka Jakarta, melihat kondisi bekas perumahan Vietnam.
Peninggalan yang masih terawat, yakni tempat suci umat Budha (pagoda). Karena tempat ini dirawat orang-orang Budha. Bangunan itu masih terlihat berdiri megah.
"Biasanya juga digunakan tempat mengadu nasib. Bisa minta kaya," kata gait dari travel, yang membawa kami ke sana.
Kondisi iklim yang sejuk, dan hutan yang masih hijau sangat cocok untuk tampat kamping pramuka. Tak heran walaupun jauh dari Batam, wisata budaya Vietnam masih banyak dikunjungi. Jika anda pernah kesana, pasti akan kagum dengan kampung Vietnam ini. Nilai-nilai yang terkandung di balik pembangunan perkampungan tersebut, sangat menyentuh jiwa. Banyak pelajaran yang ada dibalik kampung tua, untuk masa depan kehidupan umat manusia.
Dari cerita, pengungsi Vietnam banyak membawa emas dari kampung halamannya. Benda itu lah ditukarkan dengan penduduk seempat untuk biaya hidup selama berada di Galang.
Banyak yang beranggapan, para pengungsi itu, banyak orang yang tergolong berada.
Setelah masa tragis itu, hilang dan berganti waktu, perkampungan para pengungsi Vietnam itu telah menjadi wilayah terbuka untuk dikunjungi masyarakat karena telah ditinggalkan para pengungsi.
Selama 18 tahun, mereka tingal di Galang. Dan akhirnya UNHCR/ badan PBB yang berurusan dengan masalah-masalah pengungsi dan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Angkatan Laut pada waktu itu, para pengungsi Vietnam yang dilindungi di Pulau Galang telah berhasil dipulangkan. Sekitar 5.000 orang pengungsi kembali ke Vietnam.Sedangkan ribuan orang tersebar di negara-negara ketiga, di antaranya ada yang menuju Australia dan Amerika Serikat. Kanada menjadi negara peling banyak menampung warga Vietnam sebanyak 13 ribu orang. Kemudian disusul Australia sebanyak 7 ribu orang.
Ada kejadian yang tragis karena disebkan, banyak di antara mereka yang takut untuk dikembalikan ke Vietnam. Cara yang dipilih melakukan bunuh diri sebagai tanda protes pada keputusan UNHCR untuk menutup kamp pengungsi pada tahun 1996 dan mengembalikan kereka yang tersisa ke Vietnam.
Kini, di dinding museum dipenuhi deretan pasfoto hitam putih yang bergambar para pengungsi yang memegang papan tulis kecil dengan nama mereka dituliskan dengan kapur tulis.
Pada bulan Maret 2005 para mantan penghuni kamp pengungsi Galang dari seluruh dunia berkumpul kembali untuk melakukan napak tilas hidup mereka, mengenang sahabat dan kerabat yang tidak berhasil mencapai kehidupan dan kemerdekaan sebagai manusia.
"Sudah tiga kali mereka reuni.Yang terakhir tahun 2006. Yang datang cuma 10 orang," ujar Mursidi, penjaga museum yang sudah memutih kepalanya itu.
Perkampungan Vietnam yang sejuk dan indah serta jauh dari keramaian itu, bagi mereka hanya tinggal kenangan yang tentu sulit untuk mereka lupakan.
Areal permukiman Vietnam kini menjadi wilayah konservasi sebagai museum terbuka utuk umum. Tempat ini juga jadi bukti kepada dunia bahwa Indonesia memiliki komitmen tinggi dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang penting dalam sejarah peradaban modern di Asia Tenggara. (robby patria)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar