Mendengar nama Pulau Tujuh, maka mereka akan tahu bahwa nama tersebut bukanlah aneh. Bahkan anak-anak Pulau Tujuh sejak 1950 sudah memegang kekuasaan di Provinsi Riau yang kini menjadi Provinsi Riau dan Kepulauan Riau.
Berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Tengah tanggal 18 Mei 1956, Kepulauan Riau diberi status Daerah Otonomi Tingkat II yang dikepalai bupati sebagai kepala daerah yang membawahi 4 kewedanaan sebagai berikut, Kewedanaan Tanjungpinang, meliputi Kecamatan Bintan Selatan (termasuk Bintan Timur, Galang, Tanjungpinang Barat dan Tanjungpinang Timur).
Lalu kewedanaan Karimun, meliputi wilayah Kecamatan Karimun, Kundur dan Moro. Kewedanaan Lingga, meliputi wilayah Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang. Kewedanaan Pulau Tujuh, meliputi wilayah Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tembelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.
Kewedanaan Pulau Tujuh yang membawahi Kecamatan Tambelan, Siantan, Midai, Serasan, Jemaja, Bunguran Barat dan Bunguran Timur beserta kewedanaan laiannya dihapus berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau tanggal 9 Agustus 1964 No. UP/247/5/1965. Berdasarkan ketetapan tersebut, terhitung 1 Januari 1966 semua daerah administrative kewedanaan dalam Kabupaten Kepulauan Riau dihapus, (terungkapsudah.blogspot.com).
Tentu kita ingat, yang pernah menjadi Bupati Kepulauan Riau pada 1960-an adalah putra Tambelan yang juga bagian dari Pulau Tujuh yakni Adnan Kasim. Artinya jika kita lihat dari sejarah Kepulauan Riau, Pulau Tujuh sudah memberikan kontribusi sumber daya manusia untuk pembangunan Indonesia dan Kepri sejak zaman dahalu. Lihat saja jumlah profesor yang paling banyak dari Kepri disumbangkan oleh Tambelan dan Anambas. Lihat saja yang pernah menjadi pejabat tinggi di kementerian dan Provinsi Riau yang paling menonjol dari putra-putri yang berasal dari Pulau Tujuh. Jadi, secara sumber daya manusia, wacana Pembentukan Provinsi Pulau Tujuh sepertinya tidak ada masalah.
Bahkan, sejarah juga mencatat, sembilan tokoh perumus pemekaran Kepri dari Riau yang pilih dari hasil musyawarah besar (Mubes) Rakyat Kepulauan Riau, tiga orang berasal dari Tambelan dan Anambas yakni Prof Saad, Gempur Adnan dan Rusli Silin.
Tentu untuk menjadi provinsi baru, masalah yang dipikirkan bukan hanya masalah SDM, namun, adalah potensi kekayaan daerah tersebut guna menghidupi daerah pemekaran. Dua kabupaten Anambas dan Natuna masih mengandalkan potensi kekayaan migas sebagai potensial pendapatan untuk mensejahtrerakan masyarakat. Selain itu potensi pariwisata dan perikanan. Potensi ini harus dikaji secara matang oleh tim khusus untuk menjadikan hal tersebut sebagai kekuatan.
Bahkan terkait dengan peta politik Laut China Selatan yang belum menemukan titik temu antara Tiongkok dengan negara tetangga, secara politik akan mempengaruhi iklim geopolitik Indonesia.
Kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah Presiden Trump yang tidak ingin Tiongkok mengusik wilayah Laut China Selatan menambah peta kekuatan di sana menjadi tambah sulit menemukan titik damai. Artinya, Indonesia juga harus serius melihat potensi konflik antara negara di Laut China Selatan. Oleh karena itu, dengan dijadikannya Provinsi Pulau Tujuh bisa dianggap sebagai langkah strategis memperkuat kekuatan pertahanan di sebelah utara Indonesia.
Dan sekarang Presiden serius memperhatikan Kepri sebagai wilayah perbatasan, dengan menaikan status Polda Kepri menjadi tipe A. Bukan tidak mungkin, Natuna yang menjadi “idola” Presiden saat ini di bidang kemaritiman dan pertahanan, dijadikan sebagai kawasan pertahanan. Sehingga di Kepri dijadikan penebalan kekuatan pertahanan dengan kebijakan menjadikan Korem menjadi Pangdam baru di Indonesia.
Persiapan Pemekaran
Memasuki era reformasi pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru semakin marak sejak disahkanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pemekaran wilayah ini jelas mempunyai dampak pada pelayanan public.
Tuntutan dari pemekaran wilayah yang terjadi selama ini pada umumnya didasari oleh ketidakterjangkauan pemerintah dalam menjalankan fungsi pelayanan yang maksimal sebagai akibat dari luasnya wilayah dan perkembangan jumlah penduduk disamping sarana dan prasarana penunjang lainnya. Hal itu mengakibatkan terjadinya kesenjangan dalam masyarakat, dimana masyarakat yang posisinya relative dekat dengan pusat pemerintahan dengan masyarakat yang relative jauh dari pusat pemerintahan.
Seiring dengan era reformasi tersebut pelayanan public juga perlu dilakukan reformasi, baik dari segi paradigma, visi, misi, kebijakan/strategi, hingga konsep pelayanan publik yang prima dan implementasinya.
Fungsi utama pemerintah daerah menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yakni sebagai pelayan masyarakat. Berdasarkan peradigma tersebut aparat pemerintah daerah termasuk aparat pemerintah kecamatan dituntut untuk dapat memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat.
Namun berbagai isu yang muncul di kalangan masyarakat, ternyata hak pelayanan yang diterima oleh masyarakat atau perorangan terasa belum memenuhi harapan semua pihak baik dari kalangan masyarakat umum maupun dari kalangan pemerintah sendiri. Pelayanan masyarakat yang diberikan oleh aparatur pemerintah seringkali cenderung rumit dan memiliki masalah seperti : Tata cara pelayanan, rendahnya pendidikan aparat, kurangnya sarana dan prasarana, dan disiplin kerja. Hal tersebut jelas sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan umum di daerah termasuk di wilayah Natuna dan Anambas yang jauh tertinggal dibandingkan wilayah kabupaten lainnya di Kepri.
Menjadikan wacana Provinsi Pulau Tujuh lebih serius tentu dengan langkah kongkrit yakni dengan menganalisa semua potensi baik itu keunggulan, kelemahan, daya saing hingga ancaman. Tim pemekaran harus segera dibentuk untuk mewujudkan cita cita kemakmuran bersama untuk kesejahteraan. Jika hanya berwacana, maka keinginan untuk memperpendek rentang kendali pembangunan akan terasa lama.
Oleh karena itu, sudah saatnya kedua bupati yakni Natuna dan Anambas mempersiakan segalanya. Apalagi saat ini pola pikir pengambil kebijakan pembangunan di Kepulauan Riau masih mengandalkan main land (daerah darat). Padahal 96 persen wilayah Kepri terdiri dari lautan. Sehingga wilayah kepulauan seperti Natuna dan Anambas akan tetap tertinggal dibandingkan dengan wilayah daratan dari segi pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur. Lihat saja dari Rp3,2 triliun APBD 2017, berapa persen dialokasikan program yang menyentuh wilayah kepulauan Natuna dan Anambas.
Langkah pasti yang musti cepat dilakukan adalah ke depan dengan melakukan pemekaran kecamatan dan wilayah. Dan mengembalikan Kecamatan Tambelan yang kini berada di Kabupaten Bintan ke bagian wilayah Provinsi Pulau Tujuh, bukan hal yang mustahil. Dengan demikian, secara luas wilayah laut, provinsi baru ini akan menjadi provinsi dengan wilayah laut terluas dibandingkan dengan provinsi induk. Provinsi Pulau Tujuh juga akan berbatasan langsung dengan negara tetangga.
Beberapa tahun ke depan, dua kabupaten tersebut segara melakukan pemekaran desa, kecamatan hingga menjadi kabupaten. Sehingga jika pusat merestui, 2024 Provinsi Pulau Tujuh bisa mengikuti pilkada serentak di seluruh tingkatan baik bupati dan gubernur. Namun jika hanya dalam wacana pemikiran tanpa rencana aksi, Pulau Tujuh yang dulunya menyatu, sulit untuk disatukan kembali. Dan kue-kue pembangunan akan lambat dinikmati oleh masyarakat di kawasan kepulauan.
Liang Gie (2003), mengemukakan beberapa alasan mengapa kebijakan pemekaran wilayah harus diberlakukan, yaitu :
1. Dilihat dari sudut politik, pembentukan suatu daerah/wilayah yang baru dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang bisa menimbulkan tirani.
2. Dalam bidang politik sebagai tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
3. Dari sudut teknik organisasi pemekaran daerah/wilayah adalah untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien.
4. Dari sudut kultur diharapkan perhatian dapat sepenuhnya dilimpahkan pada kekhususan suatu daerah seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakan sejarahnya.
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih bnyak dan secara langsung membantu pembangunan.
Kemudian berdasarkan PP No. 17 Tahun 2008 tentang pembentukan suatu daerah otonom, disebutkan bahwa pembentukan daerah otonom yang baru dimungkinkan dan harus memenuhi faktor-faktor antara lain : kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah disamping factor lain yaitu keamanan dan ketertiban, sarana dan prasarana, rentang kendali yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah seperti yang diharapkan. (http://ejournal.unsrat.ac.id/)
Jika melihat syarat tersebut sepertinya Provinsi Pulau Tujuh bukan hal yang mustahil terwujud. Dan akhirnya, seperti yang diungkapkan oleh Maarif (2003) bahwasanya pemekaran wilayah secara formal/konstitusional adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan pemerintahan di daerah terutama dalam peningkatan pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat serta meningkatkan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.
Sekarang tinggal tergantung dari masyarakat di wilayah Pulau Tujuh. Apakah serius atau hanya sebatas wacana. Kita jangan skeptis dahulu dengan pemikiran bahwa pemekaran kekuasaan untuk bagi-bagi kekuasaan. Tapi yang utama adalah mempercepat pemerataan kesejahteraan bersama. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar