Kamis, 24 November 2016

Ketika Keluarga Menjadi "Urat Nadi" Pendidikan Karakter

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”( (QS. Al Ahzab : 21).  Ayat ini menegaskan bahwasanya telah ada pada diri Rasulullah suatu contoh yang paling baik untuk diikuti hingga hari kiamat.

Nabi Muhammad dibesarkan dengan kebiasaan kehidupan masyarakat desa dengan sikap yang baik dan akhlak mulia. Nilai-nilai murni seperti lembut tutur kata, timbang rasa, amanah dan sabar membentuk karakter Nabi Muhammad dari kecil hingga pemuda. Pengalaman inilah jadi bekal menghadapi kaum Arab yang jahil. 
Sesungguhnya pendidikan karakter yang dicontohkan keluarga Nabi membentuk beliau memiliki empat sifat utama yang pertama Shiddiq yang artinya benar. Bukan hanya perkataannya yang benar, tapi juga perbuatannya juga benar. Sejalan dengan ucapannya. 



Yang kedua, Amanah. Artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, maka orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Nabi Muhammad SAW juga dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al Amin” yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi Nabi. 
Saat Nabi Muhammad SAW ditawari kerajaan, harta, wanita oleh kaum Qurais agar meninggalkan tugas ilahinya menyiarkan agama Islam, Muhammad menjawab: ”Demi Allah, wahai paman, seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kanan ku dan bulan di tangan kiri ku agar aku meninggalkan tugas suci ku, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan (Islam) atau aku hancur karena-Nya”. Meski kaum kafir Quraisy mengancam membunuh Nabi, namun Nabi tidak gentar dan tetap menjalankan amanah yang dia terima. Begitulah seorang muslim hendaknya bersikap amanah seperti Nabi.

Ketiga sifat Tabligh. Dan Keempat Fathonah. Artinya Cerdas. Baginda menguasai 6.236 ayat Al Qur’an kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa. 
Tidak ada cara lain agar anak didik Indonesia ke depan memiliki karakter yang baik, maka peran keluarga baik itu ayah dan ibu yang mendidik anak di rumah harus menerapkan metode metode pendidikan karakter yang pernah dicontoh oleh Nabi. Bisa jadi model pendidikan kita sekarang masih galau sehingga melahirkan anak didik seperti robot mekanik yang minim karakter mulia. Mereka disibukkan menghadapi Ujian Nasional untuk mengetahui standar pendidikan. Mereka tumbuh menjadi anak yang pandai berhitung, pandai membaca, namun lemah dalam perhitungan sosial dan tak mampu membaca pesan sosial kehidupan. Sistem pendidikan kita tanpa disadari menuju orientasi pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). 

Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”). Inilah yang menjadi beban orang tua yang harus memahami bagaimana mendidik seorang anak sehingga melahirkan generasi yang handal untuk Indonesia mencapai generasi emas.  

Menurut Megawangi (2004), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci bisa berkembang optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka semua pihak - keluarga, sekolah, media massa, komunitas bisnis, dan sebagainya - turut andil dalam perkembangan karakter anak. Dengan kata lain, mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak.
Tentu saja hal ini tak mudah, oleh karena itu diperlukan kesadaran dari semua pihak bahwa pendidikan karakter merupakan ”PR” yang sangat penting untuk dilakukan segera. Terlebih melihat kondisi karakter bangsa saat ini yang memprihatinkan serta kenyataan bahwa manusia tidak secara alamiah (spontan) tumbuh menjadi manusia yang berkarakter baik, sebab menurut Aristoteles (dalam Megawangi, 2004), hal itu merupakan hasil dari usaha seumur hidup individu dan masyarakat.

Saat Socrates (470-399) SM mati dihukum dengan cara minum racun karena dianggap membahayakan pemerintahan, Socrates tak mau meminta ampun kepada Meletos, Anytos, dan Lycon yang menjadi lawan politiknya. Ia tetap mempertahankan prinsipnya karena memiliki karakter yang sudah terbentuk dengan menyampaikan pidato pembelaan. Tiga buah pidato Socrates ditulis ulang oleh Plato dan diabadikan dalam sebuah buku yang berjudul Apologia (Lavine, TZ. Petualangan Filsafat; Dari Socrates ke Sartre). 
Begitu juga dengan filsuf Cicero (43SM) salah satu tokoh politik Romawi kuno yang berjuang di bidang retorika mengantarkan dia menjadi seorang yang disegani di negaranya. Sehingga menjadi pembela bagi rakyat yang tertindas sebagai pengacara. Begitulah peran cendikiawan yang dianggap guru oleh masyarakat awam ketika itu.
Bagi Cicero, menjadi negarawan yang patriotis adalah segala-galanya, bahkan ganjarannya adalah surga. Tugas politik bagi Cicero adalah suci, yang dibebankan Tuhan kepada manusia.
Menurutnya, keabadian jiwa untuk memperkuat cita-citanya akan pengabdian patriotis, tidak perlu risau jika seseorang mati demi kepentingan negara, sebab yang mati hanya tubuh, sedangkan jiwanya tetap abadi. Itulah sekelumit kisah Cicero yang menjadi pejuang berkarakter kuat. 

Ia dibentuk dengan pendidikan yang mengutamakan pendirian yang kokoh terhadap kebenaran. Pendidikan zaman itu menempatkan Romawi kuno menjadi pusat peradaban dunia. walaupun akhirnya Cicero mati dihukum. Namun ia mati dalam prinsip yang dianggapnya benar.
Kematangan karakter yang utuh penting bagi insan -insan penerus bangsa. Jika kita melihat para pemimpin kita di era tahun 40-an adalah para pejuang dengan karakter terbaik yang tidak tergoyahkan. Bagaimana Tan Malaka yang tidak mau melakukan negosiasi dengan Belanda sehingga sampai akhir hayatnya. Tan Malaka pejuang heroik dengan prinsip kemerdekaan tanpa negosiasi. 

Tentu kita tahu kisah Syafrudin Prawiranegara yang pernah jadi Presiden di saat Indonesia darurat, hidup bersahaja. Dan Perdana Menteri Natsir yang tidak mau diantar pakai mobil dinas ketika pamit dengan Sukarno di akhir masa jabatannya. Dia pulang dari kantor dengan naik sepeda bersama supir. Natsir juga disebut hanya memiliki dua stel pakaian kerja tak bagus. Inilah menyebabkan anak buahnya di Departemen Penerangan mengumpulkan duit untuk membelikan Natsir kemeja agar terlihat sebagai menteri sebenarnya.
Namun, memasuki era reformasi, politisi kita mulai terlihat tidak memegang prinsip yang tegar dan karakter kuat. Mereka cepat goyang dengan buaian harta duniawi dan gelimang harta. Hal tersebut tak jarang menyebabkan politisi kita tersangkut kasus penyuapan, korupsi hanya demi untuk kepuasan duniawi. Itulah yang membedakan karakter pejuang yang lahir dari tempaan zaman dengan politisi yang dilahirkan dari proses instan.


Peran orang tua

Tak bisa dinapikan, jika kita melihat para pejuang bangsa kita yang menjadikan Indonesia merdeka adalah manusia yang dididik dan dibesarkan dengan kasih sayang sejak mereka masih kecil. Mereka dididik dengan benar oleh orang tuanya. Jika kita melihat mantan Presiden pertama Sukarno adalah sosok yang dibesarkan dengan kasih sayang oleh kedua orang tuanya. Bermula dari sebuah nama, sebagai doa orang tua terhadap anak anaknya. Dan harapan ketika kelak ia besar. Dan doa itu ternyata menjadi sebuah kenyataan. Bisa juga kita berkaca kepada Muhammad Al Fatih, seorang penakluk Konstatinovel. Panglima perang dalam usia yang relatif muda 21 tahun. Kedua contoh ini adalah manusia unggul yang lahir dari pendidikan yang luar biasa dari keluarga mereka. Al Fatih dididik oleh ulama besar di daerahnya sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter kuat dan taat kepada Allah.

Ialah pemimpin muda yang tidak pernah meninggalkan salat malam mulai baligh. Sehingga nilai-nilai kepribadiannya banyak dicontohi oleh prajuritnya. Di bawah pemimpin Al Fatih, benteng terkuat yang pernah ada di dunia ditaklukkan pasukan muslim. Indonesia dan Kepri khususnya saat ini merindukan anak anak muda seperti Al Fatih yang memiliki ketaatan yang luar biasa terhadap Sang Pencipta. 
Campbell dan R. Obligasi (1982) menyatakan ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang:
1) Faktor keturunan, 2) Pengalaman masa kanak-kanak, 3) Pemodelan oleh orang dewasa atau orang yang lebih tua
4) Pengaruh lingkungan sebaya,5) Lingkungan fisik dan sosial, dan 6) Subtansi materi di sekolah atau lembaga pendidikan lain.
Hasil penelitian Universitas Harvard (AS), 85% yang menentukan keberhasilan seseorang dalam kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-lain, adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15% disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimilikinya. Itulah pentingnya memiliki karakter yang baik untuk anak didik kita yang dimulai dibentuk dari sejak dini. 
Tentu kita tahu, bahwa karakter yang dimiliki seseorang tidak bisa diwariskan. Karakter tidak bisa dibeli dan ditukar dengan karakter orang lain  Karakter harus dibangun dan dikembangkan dengan proses yang tidak instan.


Menuju Kehancuran
Profesor pendidikan dari Cortland University, Thomas Lickona, mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah : (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2)penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas. (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Andai kita mau melihat remaja kita saat ini baik di perkotaan dan pedesaan, maka dengan mudah akan ditemukan tanda tanda tang disebutkan Thomas Lickona.

Pendidikan karakter ini hendaknya dilakukan sejak usia dini, karena usia dini merupakan masa emas perkembangan (golden age) yang keberhasilannya sangat menentukan kualitas anak di masa dewasanya. Tentunya pendidikan di usia ini tergantung oleh pendidikan karakter yang dibentuk di dalam keluarga. Di sinilah peran penting keluarga untuk mewarnai anak yang disebutkan seperti kertas putih. Apakah kita sebagai orang tua akan mewarnai dengan warna hijau, merah putih atau kuning. Dari Abu Hurairoh, ia berkata, Nabi Muhammad saw bersabda, “Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani dan Majusi.

Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Erikson, 1968).

Balitbang, Kementerian Pendidikan Nasional, bahwa ruang lingkup nilai moral dalam rangka pembentukan karakter yang harus dikembangkan di lingkungan keluarga adalah sebagai berikut: Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agamadianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orangselalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Sikap lainnya seperti, disiplin, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komuniktif. Selain itu juga ada rasa cinta damai, memar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung-jawab,(Balitbang Kemendiknas, 2010: 8).

Untuk mencapai karakter siswa sesuai dengan harapan Kemendikbud, maka diperlukan kerja kerasa semua pihak baik itu pendidikan keluarga, pemerintah, dan tentunya lingkungan. Karena tanpa kerjasama bahu membahu, karakter unggul anak Indonesia ke depan untuk membawa "Indonesia emas" menjadi negara maju sulit tercapai di usia 100 tahun Indonesia merdeka.

Tidak ada komentar: