Awal tahun 2013 publik sudah dikejutkan dengan dibongkarnya korupsi
pejabat mulai dari sekelas menteri, gubernur, bupati hingga anggota DPR.
Penyebab korupsi tak lain karena besarnya biaya untuk mendapatkan
sebuah jabatan politik tersebut. Hal inilah yang membuat sendi-sendi
kehidupan bangsa berantakan. Bahkan yang paling menyesakkan dada,
pengadaan kita suci Al-Quran pun dikorupsi.
Fenomena itu menjadi bulan-bulanan media massa mulai dari radio,
cetak dan tivi. Sehingga mulai dari bangun tidur hingga hendak tidur
pada malam hari pun media televisi yang kita lihat masih menayangkan
liputan korupsi pejabat. Tak heran jika Indeks Persepsi Korupsi
Indonesia yang disurvei Transparansi Internasional Indonesia (TII)
menampilkan hasil yang tidak memuaskan. Misalnya tahun 2003 mencakup 133
negara. Hasilnya menunjukan tujuh dari setiap sepuluh negara (dan
sembilan dari setiap sepuluh negara berkembang) memiliki indeks 5 poin
dari 10. Pada 2006 survei mencakup 163 negara. Indonesia berada pada
peringkat 130 dari 163 negara tersebut dengan nilai indeks 2,4.
Pada tahun 2010 survei mencakup 178 negara. Indonesia berada pada
peringkat 110 dengan nilai indeks 2,8, dan pada 2011 naik menjadi
peringkat 100 dari 182 negara dengan nilai index 3,0. Untuk tahun 2012
peringkat Indonesia merosot menjadi ke urutan 118 dari 176 negara yang
diukur. Rentang indeks 0-100 dengan 0 dipersepsikan paling korup dan 100
amat bersih, skor Indonesia adalah 32 (Vivanews 6/12/12).
Peringkat Indonesia sejajar dengan Republik Dominika, Ekuador, Mesir,
dan Madagaskar. Sedangkan di kawasan ASEAN, Indonesia di bawah
Singapura dengan skor IPK 87 (peringkat 5), Brunei Darussalam dengan
skor 55 (peringkat 46), Malaysia dengan skor 49 (peringkat 54), dan
Thailand dengan skor 37 (peringkat 88). Indonesia juga masih berada di
bawah Filipina dengan skor 34 (peringkat 108). Indonesia hanya mampu
berada di atas Vietnam dengan skor 31 (peringat 123) dan Myanmar dengan
skor 15 (peringkat 172).
Politik Uang
Besarnya biaya politik untuk mendapatkan jabatan memaksa orang yang
terpilih harus mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan. Bisa kita
bayangkan, untuk mendapatkan kursi kepala daerah misalnya gubernur,
setiap calon menggelontorkan dana dana kampanye antara Rp 175-350 miliar
untuk setiap pasangan. (Vivanews 12/2012).
Bandingkan dengan gaji seorang gubernur yang hanya Rp 8 juta per
bulan. Jika ditambah pendapatan insentif upah pungut pajak, maka
pendapatan gubernur tertinggi di Indonesia sekitar Rp 627 juta per
bulan. Demikian riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(FITRA).
Artinya, pendapatan gurbernur lainnya tidak sampai Rp 627 juta.
Apalagi bupati atau wali kota. Padahal biaya untuk mendapatkan kursi
panas pemimpin daerah itu dikeluarkan lebih dari Rp 100 miliar. Hal
inilah pertanyaan masyarakat awam, mengapa calon pemimpin itu
berlomba-lomba menghabiskan uang untuk mendapatkan jabatan wali kota
ataupun bupati. Jawabannya yang logis adalah, karena dengan menjadi
kepala daerah, pendapatan pasti bertambah. Bukan hanya dari gaji pokok
plus tunjangan, namun ada pendapatan yang tidak jelas yang nilainya
melebihi pendapatan yang jelas.
Contoh nyata yang baru terungkap bagaimana mantan Bupati Buol, Amran
Abdullah Batalipu divonis tujuh tahun enam bulan penjara dan denda Rp
300 juta subsider enam bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta. Sang bupati terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima
beberapa kali pemberian terkait jabatannya dari Hartati Murdaya melalui
menyangkut izin hak guna usaha perkebunan sawit.
Ia meminta bantuan dana senilai Rp 3 miliar kepada kepada anak buah
pengusaha papan atas Indonesia, Hartati, untuk meloloskan izin usaha
perkebunan PT CCM seluas 4.500 hektare. Belajar dari kasus tersebut,
merupakan fenomena gunung es yang baru tampak di permukaan. Namun di
bawahnya, sangat luas dan banyak. Hal yang sama juga kita lihat kasus
anggota DPRD Riau dan Gubernur Riau yang dijadikan tersangka dalam kasus
suap kepada DPRD Riau untuk menambah anggaran PON Riau. Bagaimana
permainan-permainan anggaran tanpa merasa bersalah dipraktikan politisi
dan pejabat daerah maupun pusat untuk mencapai tujuan memakmurkan
kepentingan pribadi, kelompok dan partai.
Usaha
Banyak pakar pemerintahan dan politisi sepakat penyebab banyaknya
kasus korupsi di negeri ini karena besarnya biaya politik untuk
mendapatkan kursi atau jabatan. Hal itulah menyebabkan MPR kini tengah
mencari formula yang tepat agar pilkada langsung terhindar dari beragam
ekses negatif, khususnya politik uang. Wacana yang sedang digaungkan
sementara untuk menekan masalah politik uang dalam pilkada ini di
antarannya memperketat aturan kampanye.
Contohnya, dilarang kampanye terbuka dilakukan calon kepala daerah.
Hanya dibolehkan kampanye dialogis saja untuk menghemat anggaran. Bahkan
ada juga yang mengusulkan biaya kampanye didanai dari APBN sehingga
kontrol anggaran bisa diketahui untuk apa saja dan besarnya alokasi
anggaran.
Selama ini yang terjadi di pilkada maupun pilpres, tidak ada calon
yang jujur mengakui besarnya dana kampanye yang dikeluarkan. Hal itu
juga terjadi di pemilu legislatif. Anggaran minimum untuk menjadi caleg
di pemilu legislatif Rp 150-200 juta. Dengan anggaran sebesar itu pun
belum tentu terpilih. Bahkan ada caleg yang menghabiskan anggaran hingga
Rp 1 miliar juta untuk membeli perlengkapan caleg sebagai media
sosialisasi. Biaya sebesar itu harus mereka kembalikan dalam waktu 5
tahun.
Pengamat Politik Gun Gun Heryanto mengatakan, budaya transaksional
sangat berpeluang besar bagi anggota dewan untuk melakukan tindak pidana
korupsi. Pasalnya, para anggota DPR harus mengembalikan uang yang sudah
digunakan untuk modal agar bisa duduk di gedung DPR
Hal inilah merupakan celah yang sangat besar membuat anggota dewan
korup. Saat mereka menjadi calon legislatif, biasanya mereka
mengeluarkan budget yang sangat besar untuk membeli suara dari pemilih.
Sehingga apa yang diinvestasikan harus dikembalikan dan mereka
mencarinya saat menjadi anggota dewan dengan bermain banyak proyek yang
terindikasi korupsi. (Okezone 10/6/2012). Kemudian, hal kedua yang
membuat anggota DPR korupsi adalah kekuatan DPR yang sangat dominan di
samping tugas pokok DPR sebagai lembaga legislasi, pengawasan dan
anggaran.
Jadi, menjelang pemilu legislatif 2014, masyarakat memang harus
memilih calon perwakilan rakyat yang benar-benar memiliki integritas
yang baik sudah teruji, memiliki akhlak yang mulia dan memiliki ilmu
pengetahuan. Sehingga ketika mereka berada di dalam gedung wakil
rakyat, aspirasi masyarakat yang sudah dititipkan bisa diperjuangkan.
Karena wakil rakyat merupakan perpanjangan tangan rakyat untuk
mendapatkan porsi pembangunan guna meraih cita-cita merasakan kemakmuran
dan keadilan. Tentu kita tidak boleh lagi melakukan kesalahan yang sama
dengan memilih wakil rakyat karena merasa berhutang budi. Namun pilihan
kita terhadap mereka karena kemampuan manajerial dan kapasitas sebagai
warga negara yang laik untuk dijadikan tameng perjuangan.
Demokrasi yang kita anut saat ini menjadi contoh negara lain karena
sukses melaksanakan pemilu presiden dan legislatif. Ya, Indonesia
termasuk tiga negara di dunia yang terbaik demokrasinya setelah Amerika
dan India. Hanya saja kita tidak menjadi contoh dalam hal tindakan
korupsi.*** Terbit di Batam Pos April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar