Rabu, 29 April 2009

Penantian Itu

Malam yang hening dengan hiasan kilauan gemerlap bintang jadi saksi bisu. Di bantal yang lusuh, kamar yang dingin oleh semilir angin malam, air mata mengalir deras. Aku galau. Badan Ku gemetar. Pikiranku kalut. Aku bimbang. Kenapa kehadirannya Aku tak ada di samping orang yang Aku cintai. Mengapa Aku membiarkan dia sendiri saat perjuangan pertaruhan hidup dan mati.

Tak ada perasaan apapun Minggu (5/4/09). Tanpa beban Aku meninggalkan rumah untuk kembali bekerja setelah menghabiskan libur akhir pekan di Tanjungpinang. Kembali ke Batam memang selalu diselimuti kesedihan. Tetapi itulah perjuangan kecil yang dilalui untuk sementara waktu. Dia sudah mengingatkan supaya jangan pulang hari itu.

Tetapi Aku merasa bersalah jika lari tanggung jawab sebagai karyawan yang harus memenuhi kewajiban setiap hari kerja. Sebagai suami Aku juga harus menjaga perasaan istriku agar selalu bahagia.

Dari rumah, Aku menggunakan angkutan umum pergi ke pelabuhan Sri Bintan Pura yang agak nyebelin karena tak jarang, penerangan di sana gelap. Istriku tak sampai di pintu mengantar seperti biasanya. Dia hanya di kamar menahan berat beban anak yang dikandungnya selama sembilan bulan. Dan tentunya rasa sedih yang hinggap di pikirannya. Setelah 20 menit menempuh perjalanan, sampailah di pelabuhan.

Waktu itu, aku menggunakan feri Mutiara Emas yang terkenal bagus. Sampai di kapal, ponselku berbunyi, tanda ada SMS. Ketika dibuka, dari istri." Bang, jangan balik. Pinggang adek sakit ni."

Aku tahu, kalau tulang belakang terasa sakit, salah satu pertanda wanita yang hamil akan melahirkan. Tetapi berharap semoga dia belum melahirkan saat Aku ada di Batam. Kapal pun berangkat. Sampai di Batam, ponselku kembali berdering. Ternyata SMS darinya. "Bang, pakaian anak kite sudah adek masukkan di tas. Tinggal dibawa ke tempat dokter. Nanti biar tak repot."

Aku hanya mengiyakan apa yang dia tulis. Sekali lagi, Aku tak yakin kalau itu tanda - tanda yang dialami seorang ibu dari sesoarang wanita yang mengandung buah cinta kami.

Pukul 23.00, baru Aku dikejutkan dengan telepon darinya. Di balik ponsel itu terdengar suara yang agak lemas," Bang, air ketuban adek sudah keluar.". "Adek ke Klinik Pamedan sekarang dengan Apak. Pakai mobil pak Edy."

Saat itu, aku langsung lemas. Air mataku menetes membasahi kelopak mata. Bagaimanapun, sebagai seorang suami aku harus mendampinginya saat dia berjuang melahirkan anak kami. Aku merasa bersalah seumur hidup jika waktu itu terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Aku langsung sholat dan berdoa kepada Allah semoga kedua orang yang aku cintai selamat. Ayahanda ku minta, ponsel ku tak usah dimatikan.

Apalagi, air ketuban istri sudah pecah. Dan dia harus diimpus supaya kuat. Malam itu Maryani ditemani ayahku, pamanku dan istrinya yang menjaga Maryani.Malam yang membuat aku termenung dan galau. Aku minta dia mengambil kamar VIP. Aku sudah menyiapkan anggaran khusus untuk dia melahirkan. Di ruangan yang ber AC itulah dia terbaring lemas menanti waktu melahirkan. Sekitar pukul 12.00 baru terjadi buka satu. Di Batam, aku gelisah.

Selesai shalat, aku ke warnet untuk menghilangkan kepanikan yang tiada tara. Belum aku alami kejadian seperti itu. Harry Azhar Azis waktu itu mengatakan berdoalah, permintaan yang tulus akan dikabulkan Tuhan.

Arah jarum pendek jam dinding di warnet di Green Land menunjukkan pukul 02.00. Akupun pulang ke rumah disertai perasaan harap harap cemas. Sampai di kos pun, kelopak mata ini sulit untuk dipejamkan. Aku selalu terbayang wajah istriku yang agak bulat itu. Di atas kasur yang tipis itulah lagi lagi air mataku kembali menetes. Malam itu aku merasa bersalah sebagai suami yang tidak menemani saat dia berjuang sendirian untuk melahirkan hasil buah cinta kami.

Aku tak sabar menunggu pagi untuk segera ke Tanjungpinang. Pukul 05.00, aku langsung mandi dan shalat subuh. Selesai itu, aku dapat telpon dari bapak, kalau dia sudah buka 7. Artinya tak lama lagi akan melahirkan.

Pajar yang masih bersembunyi itu, aku menghidupkan motor Thunder menuju Pelabuhan Telaga Punggur. Sampai di sana sekitar pukul 06.00. Sarana transportasi pertama cuma speed. Aku pun menggunakan speed. Satu jam waktu yang diperlukan untuk sampai di Tanjungpinang. Duduk di bagian paling belakang, kembali akan terbayang wajahnya. Diperkirakan pukul 07.30 baru aku sampai di Tanjungpinang. Setelah speed berjalan 30 menit dari Punggur, mendadak kaptennya menurunkan kecepatan.

Karena ada puluhan orang sedang berkumpul tengah laut mencari mayat yang hilang saat mancing.Setelah melewati rombongan suku laut tersebut, speed yang saya tumpangi kembali melaju dengan kecepatan normal. Ketika berada di laut Lobam, telepon dari ayah ku masuk ke ponsel.

 "Nak, Alhamdulillah Yani lah melahirkan. Keduanya selamat."

Alangkah bahagianya aku saat itu. Umurku yang baru memasuki 26 tahun sudah jadi ayah. Bapakku juga sudah jadi kakek.Rasanya tak sabar lagi untuk melihat wajahnya mirip siapa. Tak lama kemudian ibu ku dari Tambelan, Kabupaten Bintan menelpon. Selamat ya nak.
Sekarang jadi ayah. Bagitu juga dari adek ku di kampung. Sampai di Pelabuhan Sri Bintan Pura, saya berkegas mencari ojek menuju ke Poliklinik Pamedan yang merupakan klinik terbaik yang ada di Tanjungpinang.

Sampai di klinik, aku sempat salah ruangan. Mereka berada di lantai dasar. Sedangkan aku mencari di lantai dua. Setelah bertanya ke suster, baru aku tahu ruangan yang jadi sejarah lahirnya Addaruqutni Patria tepatnya pukul 07 tanggal 6 April, 2009, Senin.

Assamualaikum. Saat aku membuka pintu, terlihat di atas kotak kaca persegi empat itu, bayi laki laki yang diselimuti kain. Panjangnya 52 centimeter, beratnya 3.3 kg.

Senyum merekah dari kedua bibir istriku yang terbaring lemas di ranjang. Tangannya masih ada impus. Mataku tertuju wajah bayi yang ada di dalam kotak kaca yang diterangi dua lampu warna kuning. Lampu itu untuk memanaskan suhu agar bayi tak kedinginan. Tanpa basa basi- aku langsung mengendong anakku untuk pertama kalinya. Akupun langsung mengazankan di telingga bagian kanan.

Ya, satu jam paska kelahirannya aku baru datang. Dari keterangan tante Sri, Maryani melahirkan dengan mudah. Tak ditemukan kesulitan yang berarti. Selama dia hamil, lebih tiga kali dia khatam membaca Quran. Beberapa jam sebelum melahirkan Maryani tamat membaca Quran.

Sehari sebelum melahirkan, dia masih menyempatkan kuliah di STAI Tanjungpinang. Hampir tiga minggu kelahirannya, Qutni mulai berkembang. Berat badannya sudah naik. Mudah mudahan kamu jadi mutiara ayah dan ibu mu nak. Kau jadi harapan kami di masa yang akan datang. AMIN ya Allah. (robby patria)